Sarjana-sarjana Barat (western scholars) sangat curiga terhadap kepalsuan riwayat yang menceritakan tentang kemunculan Al-Mahdi dari Khurasan beserta bendera Hitam.
عن ثوبان ، قال : قال رسول الله (ص) : إذا رأيتم الرايات السود قد جاءت من خراسان فأتوها فإن فيها خليفة الله المهدي.
Dari Tsauban berkata, Rasulullah bersabda: Jika kalian melihat bendera hitam yang datang dari Khurasan, maka datangilah, sebab di sanalah Al-Mahdi berada
Mereka (western scholars) termasuk Goldziher beranggapan bahwa hadis itu dibuat untuk mendukung propaganda kekaisaran Abbasyiah. Sebab memang bendera kerajaan tersebut berwarna hitam, dan pusat kebesarannya juga berada di Khurasan. Pemahaman tersebut berangkat dari ketidakpercayaan mereka terhadap pengetahuan Nabi atas masa depan (seperti peramal).
Skeptis-skeptis orang Barat tidak berdiri begitu saja. Jonathan Brown dalam artikelnya “Blinds Spots: The Origins of the Western Method of Critiquing Hadith” memaparkan sejarah asal usul skeptisme tersebut. Hal itu dimulai sejak orang Barat melakukan lima proyek besarnya.
- Perancis melakukan pendalaman terhadap hukum dan kultur Islam di Afrika Utara
- Belanda juga melakukan hal yang sama di Asia Tenggara
- Inggris mendalami corak Islam Persia di India
- Diplomat eropa mulai tertarik terhadap dinasti Ottoman/Turki Usmani
- Studi terhadap orang-orang penutur bahasa Semit (semitic studies) yang dimulai dari kritik kepada Injil/Bibel.
Yang terakhir itulah yang menjadi akar ketertarikan orang Barat terhadap kemunculan-kemunculan metode kritik hadis. Seperti tesis salah satu sejarawan Lord Acton (1902), bahwasannya laporan sejarah itu harus dicurigai. Sehingga para sarjana Barat menyuguhkan pendekatan Historical Critical Method (HCM).
Secara sederhana kritik historis adalah sebuah bentuk tidak serta merta penerimaan sumber sejarah tanpa mempertanyakannya. Lebih tepatnya introgasi terhadap sumber sejarah agar mengetahui keutuhan realita. Salah seorang sejarawan Jerman Leopold von Ranke (1886) mendeklarasikan bahwa sejarah itu tentang mencari tahu “apa yang sebenarnya terjadi”.
Pada abad ke 14-16 kritik historis digunakan oleh para sarjana Perancis-Italia untuk menyusun ulang warisan Roma-Yunani kuno melalui manuskrip yang dibawa umat Islam dan Bizantium. Sehingga kebangkitan beberapa manuskrip Roma-Yunani mendobrak kepercayaan umat saat itu. Misal surat bahasa Latin milik Cicero (43 SM) yang mengungkap kekonyolan gereja Roma yang masih mendapat kepercayaan oleh publik.
Kemudian telaah-telaah manuskrip itu mengalami perkembangan, hingga memunculkan ilmu linguistik (filologi). Salah satu dokumen yang berhasil terkuak kepalsuannya adalah The Donation of Costantine. Merupakan sebuah dekrit yang disusun untuk melanggengkan kuasa politik Kepausan. Lorenzo Valla (1457) menyatakan bahwa dekrit tersebut mengandung anakronisme (ketidaksesuaian sebuah karya terhadap kronologis). Sehingga besar kemungkinan bahwa manuskrip itu sengaja dipalsukan.
Selanjutnya, skeptisme sejarah itu merambat kepada doktrin teologis umat Kristiani yang ada di Bibel. Salah seorang tokoh reformasi Protestan Perancis Isaac de la Peyrere (1676) membuat argumen kontroversial bahwa “Bibel harus dipahami secara lokal, tidak global”. Seperti, banjir masa Nabi Nuh itu tidak global, hanya hukuman terhadap orang-orang Kanaan.
Reformasi Protestan memang membuka mindset kebanyakan orang bahwa Kristiani itu harus kembali kepada inti ajaran Bibel, bukan kepada kebijakan-kebijakan Paus Gereja. Karena reformasi protestan menganggap ajaran Kristen yang dikawal oleh Gereja Kepausan telah dirusak oleh tahayul-tahayul Romawi.
Lama kelamaan, Bibel tak lagi memegang tempat terpenting dari hirarki kepercayaan. Kebenaran Bibel hanya pada taraf spiritual, bukan historis atau fakta saintifik. Fakta-fakta yang diungkap itu semakin berkembang sehingga memunculkan agumen sosiologis yang digawangi Max Weber (1920). Ia mendeskripsikan bahwa ortodoksi/kepatuhan terhadap doktrin “keagamaan” akan melahirkan pelembagaan tokoh berkarisma. Hal ini berbeda dengan kepercayaan Sunni, bahwa tokoh karismatik akan melahirkan ortodoksi/kepatuhan religius.
Max Weber: ortodoksi religious -> intitutional charismatic
Sunni: institutional charismatic -> ortodoksi religious
Secara singkat Historical Critical Method mempunyai ide pokok berikut:
- Asas praduga keraguan terhadap keotentikan dan keaslian teks sejarah atau laporan sejarah
- Asas kecurigaan terhadap narasi-narasi ortodoks/tekstual yang terdapar pada teks sejarah
- Melakukan klaim setelah melalui kritik historis, sehingga menjadikan teks yang dianggap asli berubah menjadi sebuah teks palsu
Jadi fungsi utama kritik historis adalah mengungkap anakronime-anakronisme pada teks-teks sejarah. Dan hadis dianggap sebagai bagian dari teks kesejarahan Islam. Sehingga hadis tidak luput dari kritikan orang-orang Barat. Sebagaimana contoh hadis tentang celaan terhadap kelompok Qadariyah.
عن أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «مَجُوسُ الْعَرَبِ وَإِنْ صَلُّوا وَصَامُوا» يَعْنِي الْقَدَرِيَّةَ
Dari Anas ibn Malik, dari Nabi ia bersabda: “Majusi orang Arab, meski ia shalat dan puasa” yakni Qadariyyah
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ قَالَ: ذَكَرَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ الْقَدَرِيَّةَ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: لُعِنَتِ الْقَدَرِيَّةُ عَلَى لِسَانِ سَبْعِينَ نَبِيًّا، مِنْهُمْ مُحَمَّدٌ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامُ، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، وَجَمَعَ اللهُ الْخَلْقَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ، نَادَى مُنَادٍ يُسْمِعُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ: أَيْنَ خُصَمَاءُ اللهِ؟ فَتَقُومُ الْقَدَرِيَّةُ
Dari Muhammad ibn Kaab al-Qurthubi, Abdullah ibn Umar bicara tentang Qadariyyah, bahwa Qadariyyah itu dilaknat oleh tujuh puluh lisan para nabi, termasuk Muhammad SAW. Ketika hari kiamat, dan Allah mengumpulkan semua makhluk dalam satu tempat, maka ada yang bertanya “Mana musuh-musuh Allah?” seraya itu kaum Qadariyyah berdiri. Riwayat tersebut dijumpai dalam kitab Hilyat al-Awliya’.
Sarjana Barat menilai riwayat itu mengandung anakronisme. Sebab pada masa-masa setelah kenabian, tidak ada lembaga keagamaan atau sekte yang bernama Qadariyyah. Sehingga mereka menganggap riwayat tersebut sengaja dipalsukan.
Kritik hadis orang Barat dengan kritik hadis kepunyaan umat Islam sendiri memang ada perbedaan yang signifikan. Sarjana Barat tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW itu mengetahui masa yang akan datamg. Sementara umat Islam mempercayai bahwa Nabi tahu tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang. Seperti tanda-tanda kiamat.
Itulah beberapa peristiwa penting yang memulai kesarjanaan Barat melakukan kritik hadis. Mulai dari Renasains, Revolusi Protestan, dan lainnya. Meski ada beberapa hal yang berbeda dengan kritik hadis Sunni, kritik hadis sarjana Barat juga patut diapresiasi. Karena umat Islam menjadi lebih keras mendalami keilmuan Islam secara komprehensif. Namun, yang perlu diwaspadai adalah adanya kemungkinan-kemungkinan pengaruh kritik tersebut terhadap “keimanan” umat Islam itu sendiri.
Penulis merupakan Mahasantri M2 semester 1