• Kontributor
  • Daftar
  • Login
Upgrade
Nuskha
Advertisement
  • Home
  • Artikel
    • Kajian Hadis
      • ulumul hadits
      • Sejarah Hadis
    • Artikel Ringan
    • Kajian Fikih
    • Review Literatur
    • biografi
    • tafsir dan ulum al-qur’an
    • Tekno
  • Agenda
  • download
    • Skripsi
    • powerpoint
No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Kajian Hadis
      • ulumul hadits
      • Sejarah Hadis
    • Artikel Ringan
    • Kajian Fikih
    • Review Literatur
    • biografi
    • tafsir dan ulum al-qur’an
    • Tekno
  • Agenda
  • download
    • Skripsi
    • powerpoint
No Result
View All Result
Nuskha
No Result
View All Result
Home Artikel

Dari Aborsi sampai Childfree; Mubadalah Membaca, Redaksi Hadis Dikaca

Abdul Mugni alysiri by Abdul Mugni alysiri
Desember 1, 2024
in Artikel, Artikel Ringan, Kajian Fikih, Kajian Hadis, Uncategorized
0
Dari Aborsi sampai Childfree; Mubadalah Membaca, Redaksi Hadis Dikaca

Buku berjudul “Dari Aborsi Sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Bicara?” baru-baru ini menempati peringkat Big Topic pada obrolan-obrolan seputar gender dan isu-isu kontemporer, di kalangan mahasiswa maupun pegiat kajian keislaman. Oleh karena dialektika pemaparan di dalam buku ini cukup militan, dari hal-hal yang semula tabu juga dibicarakan sampai pada suatu pemaknaan yang patut diluruskan, dan semua itu disuguhkan secara revolusioner berdasar kajian-kajian hadis melalui paradigma mubadalah, yang bermakna hubungan kesalingan atau relasi timbal-balik.

Perlu diingatkan di awal, bahwa pembicaraan dari aborsi sampai childfree bukanlah produk feminisme. Akan tetapi, sebagai reaktualisasi terhadap wacana bacaan sebilang gender di dalam Islam dengan realitas kontemporer yang semakin bergelombang. Pemaknaan kembali melalui kajian-kajian hadis menjadi tidak terelakkan ketika membahas keadilan gender serta isu-isu kontemporer lainnya dari pandangan agama Islam. Karena hadis tidak serupa karakteristik bahasa Al-Qur’an yang Jalalul Rububiyah. Maka, sifat manusiawi daripada hadis tidak peduli seberapa terang cahaya nubuwwah itu, dan apapun yang diwahyukan dalam bahasa dan ucapannya tetap tercetak dengan sifat kemanusiaan dan tunduk pada dampak perasaan manusia.

Atas pembahasan “Dari Aborsi Sampai Childfree”, memang tidak melulu mengenai reproduksi atau perlindungan otoritas seksual. Integrasi kemaslahatan manusia menjadi konsepsi kunci di dalam relasi laki-laki dan perempuan, terkhusus perempuan dalam pengalaman hidup yang khas dialami, baik pada peran biologis maupun sosial. Mubadalah yang diusung sebagai paradigma tampaknya mengharuskan Kang Faqih (sapaan penulis “Dari Aborsi Sampai Childfree”, Faqihuddin Abdul Kodir) mengambil dan mengkaji hadis yang memiliki detail “keadaan yang sebanding” dengan isu-isu yang diangkat di dalam bukunya itu. Padahal, kesimpulan spesifik yang dilahirkan atas nama “mengkaji Hadis” —sekalipun ia sebut melalui Mubadalah— haruslah dari mengumpul-satukan seluruh hadis yang berhubungan atau diduga memiliki kesinambungan, lalu memunculkan konfirmasi lintas disiplin Hadis, hingga beberapa tahap lagi. Dan pada hadis-hadis yang dinyatakan dalam satu kasus yang sama (tematik) barulah terbuka untuk dikaji dengan pelbagai pendekatan. Tidak terkecuali, pendekatan Mubadalah.

Berkaca pada Redaksi Hadis

“Inni mukatsirun bi-kum al-umam”. Artinya: “sungguh aku membanggakan (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu)”.

Redaksi Hadis di atas adalah frasa dari sebuah hadis yang utuh. Akan tetapi, mafhum dari lafal hadis ini akan rumpang bahkan disalahpahami jika tidak diulas kembali dengan lafal sebelum atau sesudahnya.

Terdapat beberapa hadis yang memuat lafal ini, di antaranya menerangkan tentang pernikahan dan perintah menikah, manasik dan seputar ibadah haji, serta larangan kembali kafir dan perilaku kufur.

Pertama, lafal hadis ini dibilang di dalam hadis tentang pernikahan dan perintah menikah. Akan tetapi, pemaknaan yang disepakati oleh para ulama ialah anjuran (al-irsyd) bukan kewajiban.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ ؛ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ .” (أخرجه ابن ماجه 1846)

Artinya: “Nikah itu sunnahku. Barang siapa yang tidak mengamalkan sunahku, bukan bagian dariku. Menikahlah kalian!, karena aku bangga (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu). Dan barang siapa yang masih panjang (kemampuannya), maka menikahlah!. Barang siapa yang belum menemukan (pasangan), maka atasnya (baik) berpuasa, karena sungguh puasa baginya sebagai peredam (dari syahwat).”

Mafhum “Inni mukatsirun bi-kum al-umam” dari hadis di atas adalah sebagai sebab diperintahkannya menikah (di samping menikah adalah sunnah), karena Nabi shalallahu alaihi wasallam akan bangga karena banyaknya umat di akhirat kelak. Jika dilihat dari ilmu nahwu, lafal tersebut didahului fa’ sababiyah yang bermakna alasan atau suatu latar belakang.

Hal ini diperkuat dengan riwayat hadis dari salah seorang sahabat yang bernama Ma’qil bin Yasar yang bercerita bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam berulang kali didatangi oleh seorang pemuda yang meminta restu untuk menikahi wanita berumur yang cantik namun sudah tidak bisa memiliki keturunan. Tetapi Nabi Muhammad selalu mencegahnya, hingga pada kali ketiga Nabi bersabda: “tazawwajuu al-wadud al-walud fa-inni mukatsirun bi-kum al-umam”, artinya: “menikahlah kalian! Dengan gadis yang (penuh) rasa sayang dan (subur) pengasuhan anak, karena aku membanggakan (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu)”.

Dari riwayat Ma’qil bin Yasar demikian menunjukkan bahwa pernyataan perintah menikah di atas dilatarbelakangi dan akan menjadi sebab terhadap rasa bangga Nabi shalallahu alaihi wasallam terhadap banyaknya kuantitas umatnya.

Kedua, lafal hadis ini disebut di dalam hadis tentang manasik dan seputar ibadah haji, serta larangan kembali kafir dan perilaku kufur. Di sinilah muncul mafhum larangan keras saling bunuh-membunuh.

Dari riwayat Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa suatu ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam di Padang Arafah saat Hari Arafah memberikan pertanyaan kontemplatif mengenai mulianya negeri, bulan, dan hari itu. Nabi kemudian bersabda (berkhutbah):

هَذَا بَلَدٌ حَرَامٌ، وَشَهْرٌ حَرَامٌ، وَيَوْمٌ حَرَامٌ قَالَ: ” أَلَا وَإِنَّ أَمْوَالَكُمْ، وَدِمَاءَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي يَوْمِكُمْ هَذَا، أَلَا وَإِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، وَأُكَاثِرُ بِكُمُ الْأُمَمَ، فَلَا تُسَوِّدُوا وَجْهِي، أَلَا وَإِنِّي مُسْتَنْقِذٌ أُنَاسًا، وَمُسْتَنْقَذٌ مِنِّي أُنَاسٌ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أُصَيْحَابِي؟ فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ ” (أخرجه ابن ماجه: 3057)

    Sesungguhnya harta dan darah kalian diharamkan atas kalian, seperti keharaman bulan kalian ini, di negeri kalian ini, dan pada hari kalian ini. Ingatlah! Sesungguhnya aku orang yang mendahului kalian di telaga surga. Dan aku akan bangga (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu), maka janganlah kalian mencoreng wajahku. Ingatlah! Sesungguhnya aku adalah orang yang menyelamatkan manusia, dan mereka akan meminta bantuan keselamatan dariku. Aku berkata kepada tuhanku: ‘Wahai Tuhan, bagaimana dengan para sahabatku?’ Allah menjawab: ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat (ada-adakan) setelah kamu tiada’.”

Kalimat wadhifiyah pada redaksi hadis di atas (red: Ingatlah!) berfaedah sebagai sebuah peringatan, atau pernyataan penting. Dengan didahului oleh dua wadhifiyah dan setelahnya terdapat satu wadhifiyah lagi, menunjukkan tingginya tingkat peringatan dari mafhum “Inni mukatsirun bi-kum al-umam” dengan disandarkan pada kesimpulan matan hadis di atas. Sehingga, bukan hanya tingginya tingkat keharaman harta dan darah bagi sesama, namun juga pernyataan penting tentang keberolehan memasuki surga dan keberolehan syafaat bagi umat Nabi shalallahu alaihi wasallam kelak yang dibanggakan karena banyaknya itu.

Sebuah redaksi penjelas dari pada matan hadis di atas diriwayatkan oleh Qais dari Sunabih bin al-A’sar berujar, Nabi Muhammad bersabda:

أَلَا إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، وَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، فَلَا تَقْتَتِلُنَّ بَعْدِي ( أخرجه ابن ماجه 3944)

Artinya: “Ingatlah! Sesungguhnya aku orang yang mendahului kalian di telaga surga. Dan aku bangga (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu), maka jangan sekali-kali kalian saling bunuh-membunuh sepeninggalku.”

Berangkat dari sudut pandang wadhifiyah yang mendahului lafal “Inni mukatsirun bi-kum al-umam”, maka larangan yang disampaikan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam bersifat larangan keras, larangan keras untuk saling bunuh-membunuh. Demikian karena Nabi shalallahu alaihi wasallam akan bangga terhadap banyaknya kuantitas umat menjadi sebuah akibat dari atau mengakibatkan larangan keras (yang memuat hukum haram) sekaligus perhatian menjauhi perilaku (menunjukkan ancaman) untuk saling bunuh-membunuh di antara umatnya.

Mubadalah Membaca

Dari kesimpulan redaksi hadis yang pertama, menunjukkan bahwa sebab banyaknya kuantitas umat Rasulullah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam akan membanggakan di akhirat. Diikuti dengan anjuran untuk menikah secara sehat dan memiliki keturunan. Namun, bukan berarti bagi seseorang yang tidak menikah (atau memilih tidak menikah) dan tidak memiliki keturunan (atau memilih tidak berketurunan) akan dicela atau diabaikan oleh Rasulullah di akhirat kelak.

Otoritas berketurunan merupakan sebuah pilihan bagi pasangan suami-isteri. Maka dalam hal ini childfree diperbolehkan. Karena tidak ada satu pun di dalam hadis suatu larangan tegas (haram atau ancaman) untuk tidak memiliki anak, baik biologis ataupun adopsi. Akan tetapi, pilihan untuk childfree atau bebas anak tidak bisa diambil dengan tergesa-gesa. Di sejumlah budaya bahkan memahami pernikahan sebagai berketurunan secara formal, sehingga bagi pasangan yang tak kunjung berketurunan seakan terkena sanksi budaya secara fungsional. Pilihan untuk childfree tidak pantas disandarkan pada hal-hal yang mengarah pada lifestyle atau gaya hidup, di antaranya karena gaya hidup karir, anti-aging atau anti penuaan, suplai emisi karbon, tren feminis, dan lain-lain.

Sebagai sebuah pilihan yang muncul karena adanya pernikahan, maka sudah semestinya latar belakang childfree ialah “kebahagiaan pernikahan”, yang disepakati antara suami dan istri, bahkan keluarga kedua belah pihak. Beserta konsekuensi childfree yang diterima secara terbuka dan komitmen, sebagaimana konsekuensi bagi pasangan yang memilih berketurunan.

Kemudian dari kesimpulan redaksi hadis yang kedua, karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam akan membanggakan banyaknya jumlah umat di akhirat kelak, maka Rasulullah mengeluarkan larangan keras (haram dan mendapatkan ancaman besar) untuk bunuh-membunuh. Baik penghilangan nyawa secara langsung (pembunuhan, genosida, dsb) atau penghilangan nyawa secara tidak langsung (penyiksaan, diracun, malpraktek, dsb).

Maka sudah paripurna integrasi kemaslahatan manusia dimulai dari hak-hak sesama untuk menjaga  maqashid al-khamsah, yakni: al-Nafs (jiwa), al-Nasl (keturunan), al-Diin (agama), al-Mal (harta), dan al-‘Aql (akal). Akan tetapi, mubadalah membaca aborsi bukan sebagai kejahatan atau upaya pembunuhan janin. Hal ini tentu benar, jika didasarkan pada hukum fiqih serta layanan medis yang memadai.

Karena aborsi memiliki dua wajah: celaka atau terjaga. Usia janin atau bakal janin yang diperbolehkan untuk aborsi mendapati perbedaan pendapat para ulama. Mazhab Hanafi dan Hanbali sepakat membolehkan aborsi sebelum usia janin 120 hari atau 4 bulan, karena belum ditiupkannya ruh. Dengan catatan, aborsi dilaksanakan karena alasan yang jelas, prosedur yang memadai, dan layanan yang profesional. Adapun yang mengharamkannya ialah Mazhab Maliki, bahkan untuk mengeluarkan sperma yang telah bertemu dengan ovum (sel telur), karena dibilang awal mula penciptaan manusia yang harus dijaga. Sedangkan Mazhab Syafi’i, Mazhab mayoritas muslim Indonesia, memiliki pendapat hukum yang berbeda-beda, sebagian ulamanya membolehkan aborsi sebelum usia janin 40 hari, dan setelahnya dilarang; sebagian yang lain melarang sedari awal sebagaimana hukum Mazhab Maliki; dan sebagian lagi sebagaimana hukum aborsi menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali.

Dan ulama sepakat bahwa aborsi setelah ditiupkannya ruh (usia kehamilan 4 bulan) hukumnya haram. Akan tetapi, ada beberapa keadaan diperbolehkannya aborsi, baik sebelum atau setelah usia kandungan 4 bulan. Antara lain: untuk menyelamatkan nyawa sang ibu, potensi kelainan atau penyakit, ada suatu cacat yang tidak memungkinkan diatasi, atau janin hasil perkosaan.  

Aborsi sendiri seringkali dianggap hal yang tabu atau tercela, karena stigma sosial maupun stigma agama, padahal aborsi sebagai kegiatan medis memiliki beragam kesulitannya sendiri. Sebagaimana keputusan aborsi yang tidak boleh tergesa-gesa. Namun, aborsi dalam pandangan fiqih Islam ataupun medis sama-sama menaruh perhatian khusus pada si pemilik rahim, yakni mempertimbangkan kesiapan dan kesehatan secara biologis maupun psikologis, prosedur serta peralatan yang memadai, pelayanan maupun perlindungan yang profesional.

Demikian mubadalah memandang aborsi bukan hanya produk medis maupun fiqih Islam, akan tetapi juga keterlibatan “perempuan” dengan hak penuh atas tubuhnya yang harus terjaga dan terhindar dari celaka. Oleh karena itu, maqashid al-khamsah yang disinggung di atas seyogyanya menjadi parameter perempuan dalam mengambil keputusan seputar kekhasan situasi yang hanya dialami perempuan.

Wallahua’lam

Rujukan:

Faqihuddin Abdul Kodir, Dari Aborsi Sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Bicara?

Faqihuddin Abdul Kodir, Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik

Yusni Amru Ghozali, Fiqh al-Hadis

Agus Hermanto, Maqashid al-Syari’ah: Metode Ijtihad dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam

Ahmad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Bari: Bi Syarhi al-Jami’ Shohih al-Bukhari

Penulis merupakan mahasantri semester 7 (Angkatan Rihlah)

Tags: KajianhadisMahasantritebuirenng
Previous Post

Refleksi dan Implikasi Peran manusia sebagai Khalifah di Bumi

Next Post

Menelusuri Hadis: Pentingnya Takhrij dalam Penelitian Hadis

Abdul Mugni alysiri

Abdul Mugni alysiri

Mahasiswa ma'had aly semester 7. Asal tangerang banten angkatan 21

Related Posts

Laku Menulis adalah Laku Merawat Ilmu; Sebuah Refleksi dan Motivasi
Artikel Ringan

Laku Menulis adalah Laku Merawat Ilmu; Sebuah Refleksi dan Motivasi

by Vigar Ramadhan
September 22, 2025
Membaca Sikap Khulafa’ ar-Rasyidin saat Hadapi Kritik Rakyat: Refleksi Konstruktif terhadap Respons ‘Tone-Deaf’ Pemerintah Hingga ‘Insult Politics’ Pejabat Negara
Artikel Ringan

Membaca Sikap Khulafa’ ar-Rasyidin saat Hadapi Kritik Rakyat: Refleksi Konstruktif terhadap Respons ‘Tone-Deaf’ Pemerintah Hingga ‘Insult Politics’ Pejabat Negara

by Syifa' Q.
September 11, 2025
Kesibukan Tanpa Makna: Renungan Islam untuk Menata Hidup di Tengah Arus Produktivitas Modern
Artikel

Kesibukan Tanpa Makna: Renungan Islam untuk Menata Hidup di Tengah Arus Produktivitas Modern

by AI NURUSSAADAH
September 9, 2025
Antara Pragmatisme Kuliah dan Urgensi Belajar Hadis
Artikel Ringan

Antara Pragmatisme Kuliah dan Urgensi Belajar Hadis

by Vigar Ramadhan
September 4, 2025
Menelisik Demonstrasi Dalam Kacamata Fiqhul Hadis
Artikel

Menelisik Demonstrasi Dalam Kacamata Fiqhul Hadis

by Wildan Husin
September 2, 2025
Next Post
Menelusuri Hadis: Pentingnya Takhrij dalam Penelitian Hadis

Menelusuri Hadis: Pentingnya Takhrij dalam Penelitian Hadis

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

register akun perpus maha

Premium Content

Sunnah Sebuah Sketsa Rinci Kehidupan Umat Muslim

September 17, 2024
Ghibah Yang Diperbolehkan

Ghibah Yang Diperbolehkan

Oktober 25, 2023
Merambah ke Perpustakaan Digital, Perpus MAHA Memulai Dengan Kitab-Kitab Masyayikh Tebuireng.

Merambah ke Perpustakaan Digital, Perpus MAHA Memulai Dengan Kitab-Kitab Masyayikh Tebuireng.

Agustus 29, 2023

Browse by Category

  • Artikel
  • Artikel Ringan
  • Berita
  • biografi
  • Feminisme
  • Fikih Ibadah
  • Fiqhul Hadis
  • Hadis Tematik
  • Hasyimian
  • Kajian Fikih
  • Kajian Hadis
  • Library Management System
  • Opini
  • Orientalis
  • powerpoint
  • Resensi
  • Review Literatur
  • Sejarah Hadis
  • tafsir dan ulum al-qur'an
  • Tasawuf dan Tarekat
  • Tekno
  • ulumul hadits
  • Uncategorized

Browse by Tags

agama ahli fiqih Alam artikel demonstrasi dermawan dirasat asanid fikih hadis hadist Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari Hasyim Asy'ari ilmu hadis islam jurnal Kajianhadis kajian hadis kajianhadist kitab kritik hadis lingkungan ma'hadaly ma'had aly ma'hadalyhasyimasy'ari mahad aly mahad aly hasyim asyari Mahasantri masyayikh Tebuireng medsos Muhaddis musthalah hadits Nabi Muhammad OJS orientalis Puasa qur'an Ramadhan sains sanad sejarah Shalat tafsir takhrij Tarawih Tebuireng
Nuskha

© 2023 Nuskha - powered by Perpustakaan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Pesantren Tebuireng.

Navigate Site

  • Account
  • Game Hadis
  • Koleksi Kitab Digital
  • Kontributor
  • Logout
  • My Profile
  • NUSKHA
  • Password Reset
  • Pendaftaran Akun Penulis
  • Perpus MAHA
  • جدول مراتب الجرح والتعديل

Follow Us

No Result
View All Result
  • Home
  • Kajian Hadis
  • Kajian Fikih
  • Berita
  • Mulai menulis

© 2023 Nuskha - powered by Perpustakaan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Pesantren Tebuireng.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?