Dalam kehidupan sehari-hari, angka sering kali lebih dari sekadar simbol matematis. Beberapa angka memiliki makna mendalam dan berperan penting dalam sejarah, budaya, serta spiritualitas suatu bangsa. Di Indonesia, banyak orang meyakini bahwa angka tertentu memiliki keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar, termasuk dalam konteks agama dan perjuangan nasional. Salah satu angka yang terus muncul dalam perjalanan bangsa dan kehidupan beragama adalah angka 17. Bukan sekadar kebetulan, angka ini memiliki keterikatan yang kuat dengan tiga aspek fundamental dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia. Angka ini tidak hanya menandai hari kemerdekaan bangsa, tetapi juga berkaitan erat dengan turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw. serta jumlah rakaat dalam salat fardu yang menjadi pilar utama ibadah umat Islam.
Fenomena ini menarik penulis untuk menelaah lebih dalam. Mengapa angka 17 berulang dalam berbagai aspek penting kehidupan Islam di Indonesia? Adakah makna khusus di balik kesamaan ini? Untuk memahami lebih jauh, mari kita telusuri tiga peristiwa besar yang menjadikan angka 17 begitu istimewa bagi umat Islam di negeri ini.
Pertama, 17 Agustus kemerdekaan bangsa Indonesia. 17 Agustus mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Seperti yang telah diketahui, pada 17 Agustus 1945 pukul 03.00 WIB, penyusunan teks proklamasi dimulai, dan pada pukul 10.00 WIB, proklamasi tersebut diumumkan di depan rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Hari Kemerdekaan Indonesia pun disambut dengan meriah oleh seluruh masyarakat di seluruh penjuru Tanah Air pada saat itu. Segala daya dan upaya para pejuang telah memperjuangkan tanah air demi terciptanya kehidupan yang merdeka tanpa adanya gangguan dari manapun di kemudian hari. Sebuah manifestasi yang menjadi nyata, tidak hanya diinginkan tapi mereka perjuangkan. Hingga sampai hari ini jika kita pikir secara rasio, mana mungkin bambu runcing dapat mengalahkan tank yang terbuat dari baja. Bentuk kegigihan yang layak ditiru, sehingga menambah value kita terhadap bangsa ini. Bangsa kita terlahir dari banyaknya historis yang menghiasi, semua itu harus kita teladani. Soekarno mengatakan, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Kedua, 17 Ramadhan. Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu pertama berupa Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5 saat berada di Gua Hira atau biasa disebut dengan peristiwa Nuzulul Qur’an. Timbul pertanyaan atas penurunan Al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan yakni, bukankah Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadr sesuai dengan surah Al-Qadr, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan” Al-Qadr (97:1).
Ulama berbeda pendapat dalam proses penurunan Al-Qur’an, pendapat yang kuat ialah pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dua kali. Proses penurunan Al-Quran dimulai dengan diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia dalam satu malam, yang kemudian dikenal sebagai malam Lailatul Qadr yang berkah di bulan Ramadhan. Kedua, Al-Quran diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad Saw. selama 23 tahun, dimulai dari wahyu pertama di Gua Hira hingga ayat terakhir sebelum wafatnya. Imam as-Suyuthi menyatakan bahwa pendapat ini adalah yang paling tepat dan populer, sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani memandangnya sebagai pendapat yang sahih, yang bisa dijadikan sandaran.[1] Imam Al-Qurthubi juga menerangkan dalam tafsirnya,
وَلَا خِلَافَ أَنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَوُضِعَ فِي بَيْتِ الْعِزَّةِ فِي سَمَاءِ الدُّنْيَا، ثُمَّ كَانَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ بِهِ نَجْمًا نَجْمًا فِي الْأَوَامِرِوَالنَّوَاهِي وَالْأَسْبَابِ، وَذَلِكَ فِي عِشْرِينَ سَنَةً. [2]
“Tidak ada perselisihan bahwa Al-Quran diturunkan dari Lauhul Mahfudz pada Malam Lailatul Qadr secara keseluruhan, kemudian ditempatkan di Baitul Izzah di langit dunia. Setelah itu, Jibril AS menurunkannya sedikit demi sedikit dalam bentuk perintah, larangan, dan sebab-sebab, dan itu berlangsung selama dua puluh tahun.”
Dalam sebuah Hadis disebutkan,
عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي رَمَضَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا جُمْلَةً، ثُمَّ أُنْزِلَ نُجُومًا
Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata”Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan ke langit dunia secara keseluruhan, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur (sesuai dengan kejadian-kejadian tertentu).” (HR. Ath-Thabrani).[3]
Hal yang sedemikian rupa, menjadi penjelas terkait turunnya Al-Qur’an pada 17 Ramadhan, dan menjadi penanda dari permulaan risalah kenabian kepada Nabi Muhammad Saw. yang menjadikan beliau menjadi Nabi dan Rasul.
Ketiga, 17 rakaat, jumlah total dari keseluruhan rakaat dalam salat fardhu. Rincian salat wajib harian adalah sebagai berikut: Subuh 2 rakaat, Zuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, Magrib 3 rakaat, dan Isya 4 rakaat. Ada hikmah tersirat dalam angka 17 pada rakaat salat. Menurut Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi, salat Subuh ditetapkan dua rakaat karena manusia masih mengantuk, sedangkan salat Zuhur dan Asar empat rakaat karena manusia memiliki lebih banyak energi, salat Magrib tiga rakaat karena merupakan salat tunggal di akhir siang, dan salat Isya dihubungkan dengan salat Zuhur dan Ashar untuk mengatasi kekurangan malam. Beliau juga menambahkan menurut hadis, jumlah rakaat salat yang 17 memiliki hikmah bahwa setiap rakaat dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan dalam satu jam dari 17 jam kesadaran manusia.[4]
Kesimpulan pendeknya, angka 17 bukan sekadar bilangan biasa, tetapi memiliki makna mendalam dalam sejarah dan kehidupan umat Islam di Indonesia. Tiga peristiwa besar yang terkait dengan angka ini. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan para pahlawan, wahyu pertama yang menjadi awal risalah kenabian, serta salat fardu yang menjadi kewajiban utama seorang Muslim, semuanya mengandung nilai perjuangan, keteguhan, dan ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Angka 17 dalam ketiga peristiwa ini mengajarkan bahwa kemerdekaan, spiritualitas, dan ibadah bukanlah sekadar simbol, melainkan fondasi kehidupan yang harus terus dijaga dan diamalkan.
[1] Wildan Jauhari, Nuzulul Qur’an, malam lailatul atau 17 Ramadhan.
[2] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, 297/2.
[3] Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Asy-Syami Ath-Thabrani, Al-Mujam al-Kabir, 312/11.
[4] Sulaiman bin Muhammad bin Umar al Bujairimi al Syafii, Tuhfatul-habib ‘ala syarhil Khotib, 381/1.
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.