Dalam artikel sebelumnya, telah dibahas bagaimana perbedaan metodologi antara muhaddisin dan fuqaha dalam memahami serta mengembangkan keilmuan Islam. Meskipun terdapat ketegangan antara kedua pendekatan ini, sejarah menunjukkan bahwa muhaddisin dan fuqaha sejatinya memiliki hubungan yang bersifat sinergis, bukan antagonis.
Melanjutkan dari artikel sebelumnya, mengenai dinamika ilmiah dalam keilmuan Islam, sinergitas antara muhaddisin dan fuqaha sejatinya telah menjadi kunci dalam menjaga kesinambungan ilmu dalam agama Islam, di mana para muhaddisin memastikan keautentikan hadis, sementara fuqaha memberikan pemahaman yang mendalam mengenai implikasi hukumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal berikut:
وقال أحمد : لا يستغنى، أو لا يشبع صاحب الحديث من كتب الشافعى. وقال: ما كان أصحاب الحديث يعرفون معانى أحاديث رسول الله ﷺ فبينها لهم.
Imam Ahmad berkata, “Seorang ahli hadis tidak bisa lepas atau tidak akan merasa cukup dari kitab-kitab Imam Syafi’i.” Beliau juga berkata, “Para ahli hadis dahulu tidak mengetahui makna hadis-hadis Rasulullah Saw., lalu Imam Syafi’i menjelaskannya kepada mereka.”[1]
Pernyataan Imam Ahmad menunjukkan bahwa memahami hadis tidak cukup hanya dengan memastikan kebenaran sanad dan matannya, tetapi juga membutuhkan analisis fikih yang mendalam, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i. Dengan demikian, pernyataan ini menegaskan hubungan erat antara ilmu hadis dan ilmu fikih serta urgensi kolaborasi antara muhaddisin dan fuqaha dalam memahami sunnah secara komprehensif. Di sisi lain pernyataan Imam Ahmad di atas juga ditegaskan kembali oleh Imam Ibn Wahb seorang ulama dari kalangan muhaddisin, beliau berkata:
قال ابن وهب: كل صاحب حديث ليس له إمام في الفقه فهو ضال ولولا أن الله أنقذنا بمالك والليث لضللنا.
Ibnu Wahb berkata, “Setiap ahli hadis yang tidak memiliki imam dalam fiqh, maka ia akan tersesat. Kalau bukan karena Allah menyelamatkan kami melalui (bimbingan) Imam Malik dan Al-Laits, niscaya kami pun akan tersesat.[2]
Pernyataan Ibn Wahb di atas bukanlah tanpa dasar, melainkan berangkat dari realitas ilmiah pada masanya. Pada periode tersebut, banyak ulama dari kalangan muhaddisin yang cenderung menafsirkan makna hadis secara literal tanpa mempertimbangkan aspek kontekstual dan metodologi fikih yang mendalam. Akibatnya, pemahaman yang mereka hasilkan sering kali kurang tepat atau bahkan keliru, karena disiplin ilmu mereka lebih berfokus pada verifikasi sanad dan matan hadis, bukan pada analisis hukum dan penerapannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, Ibn Wahb menegaskan pentingnya seorang ahli hadis memiliki bimbingan dari seorang imam dalam bidang fikih agar pemahamannya terhadap hadis tidak menyimpang dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Hal yang sama juga diungkapkan Sufyan Ibn ‘Uyaynah seorang ulama hadis terkemuka yang juga tergolong sebagaai seorang Tabi’ut Tabi’in, pernyataan beliau tersebut diungkap oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam salah satu fatwanya.
Dalam fatwanya, Ibn Hajar pernah ditanya apakah perkataan “Hadis dapat menyesatkan kecuali bagi para fuqaha” merupakan bagian dari hadis atau bukan. Ia pun menjawab bahwa ungkapan tersebut bukanlah hadis, melainkan berasal dari Sufyan bin ‘Uyaynah atau ulama lainnya. Maksud dari perkataan ini adalah bahwa hadis, sebagaimana Al-Qur’an, terkadang memiliki lafadz yang tampak umum tetapi sebenarnya bermakna khusus, atau sebaliknya. Dalam hadis juga terdapat hukum yang telah dihapus (mansukh) dan hukum yang menghapus ketentuan sebelumnya (nasikh), serta beberapa hadis yang tidak bisa langsung dijadikan dasar hukum. Ada pula hadis yang secara lahiriah tampak bermasalah, seperti hadis yang menyebutkan bahwa “Allah turun ke langit dunia”. Pemahaman terhadap aspek-aspek ini hanya dimiliki oleh para fuqaha. Sebaliknya, orang yang hanya memahami teks hadis secara harfiah tanpa mengetahui implikasi hukumnya bisa tersesat dalam memaknainya. Kesalahan semacam ini juga terjadi pada sebagian ulama hadis, baik di masa lalu maupun belakangan, termasuk Ibnu Taimiyah dan pengikutnya. Karena itu, fuqaha lebih utama dibandingkan muhaddisin yang hanya meriwayatkan hadis tanpa memiliki kemampuan mengaitkan konteks masalah terhadap teks.[3]
Perbedaan fokus dan disiplin antara ulama muhaddisin dan fuqaha sering kali menjadi pemicu perbedaan pandangan di antara mereka. Para muhaddisin berorientasi pada validitas sanad dan matan hadis, sedangkan fuqaha lebih menitikberatkan pada penerapan hadis dalam proses istinbath hukum. Salah satu contoh perbedaan ini terjadi ketika seorang faqih menggunakan suatu hadis sebagai dasar hukum (hujjah) dalam ber-istinbath, padahal hadis tersebut telah dinyatakan dhaif oleh para muhaddisin. Hal ini kemudian dianggap sebagai ketidakhati-hatian dalam menetapkan hukum. Sebaliknya, gesekan juga terjadi ketika seorang muhaddis mencoba menafsirkan dan menggali hukum dari hadis yang mereka riwayatkan, tanpa memiliki pemahaman mendalam terhadap metodologi fikih. Tindakan muhaddis ini kerap mendapat kritik dari para fuqaha karena dianggap tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah istinbath yang lebih luas.
Beberapa ulama seperti dari kalangan muhaddisin lebih memilih untuk tidak menggunakan hadis dhaif sebagai dasar dalam menetapkan hukum syariat. Pendapat ini didasarkan pada alasan yang logis, yaitu bahwa syariat merupakan ajaran yang langsung dibawa oleh Rasulullah Saw. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukum-hukum syariat, diperlukan kepastian bahwa sumbernya benar-benar berasal dari Rasulullah Saw. Menurut mereka, kepastian ini hanya dapat diperoleh melalui riwayat hadis yang shahih atau minimal hasan, sesuai dengan kaidah yang ditetapkan dalam ilmu musthalah hadis. Namun argumentasi seperti ini tidak sepenuhnya benar, hal itu karena pernyataan ulama di atas hanyalah bentuk sikap kehati-hatian dalam menisbatkan hukum syariat kepada sang syari’ yaitu Rasulullah, bukan berarti suatu larangan yang absolut dalam menggunakan hadis dhaif sebagai hujjah dalam hukum syariat, hal ini juga selaras dengan pernyataan Sayyid Ahmad Siddiq Al-Ghumari.
Dalam kitabnya yang bertajuk Al-Mutsnauna Wal-Battar Sayyid Ahmad Siddiq Al-Ghumari mengungkapkan bahwa pernyataan “hadis dhaif tidak diamalkan dalam hukum” bukanlah aturan yang mutlak sebagaimana yang dipahami banyak orang. Jika diteliti, para imam dalam menetapkan hukum sering kali menggunakan hadis dhaif, bahkan jumlahnya cukup banyak, mungkin mencapai setengah atau lebih dari keseluruhan dalil yang mereka gunakan. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada hadis yang sangat lemah atau mendekati hadis maudhu (palsu), tetapi tetap diterima dengan berbagai pertimbangan. Sebagian hadis ini diterima karena mendapat kesepakatan umat (talaqqi bil qabul), sebagian didukung oleh ijma’ ulama, ada yang diperkuat oleh qiyas, dan ada pula yang tetap digunakan meskipun sanadnya lemah. Ini menunjukkan bahwa hadis dhaif tidak selalu ditinggalkan dalam hukum, meskipun secara teori ada kaidah yang menyatakan demikian. Hal ini dikarena apa pun yang berasal dari Rasulullah Saw. tetap memiliki nilai dalam syariat, selama hadis tersebut tidak terlalu lemah atau bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Oleh karena itu, jika tidak ada dalil lain, berpegang pada hadis dhaif dianggap lebih utama, bahkan dalam beberapa situasi bisa menjadi keharusan.[4]
Dengan demikian, para ulama dari kalangan muhaddisin dan fuqaha memiliki kontribusi yang signifikan dalam perkembangan keilmuan Islam. Keduanya merupakan pilar utama yang saling melengkapi dalam membangun dan memperkaya khazanah intelektual Islam. Hubungan antara muhaddisin dan fuqaha bukanlah hubungan yang bersifat kontradiktif, melainkan harmonis dan saling bersinergi. Oleh karena itu, anggapan bahwa kedua kelompok ulama ini sering bertentangan adalah kurang tepat. Sebab, peran dan jasa mereka dalam mengembangkan keilmuan agama Islam sama-sama besar dan tidak dapat dipisahkan, sehingga hubungan di antara mereka lebih bersifat komplementer (saling melengkapi) daripada bersifat antagonis.
[1] Al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf, Tahdzīb al-Asmā’ wa al-Lughāt. (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Tanpa Tahun), Juz 1, Hlm 61.
[2] Muhammad ‘Awwamah, Atsaru al-Hadis as-Syarif Fi-khtilafi A’immah al-Fuqaha’, (Beirut Lebanon: Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1997 M), Hlm 59.
[3] Ibn Hajar Al-Haitami, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al-Fatāwā al-Ḥadīthiyyah. (Beirut: Dār al-Fikr, Tanpa tahun). Hlm 202.
[4] Ahmad Siddiq al-Ghumari, Al-Mutsnauna Wal-Battar, (Mesir: Al-Matba’ah Al-Islamiyah Bil Azhar, 1352 H), Hlm 180-181.
Penulis: Mahasantri M2 (Marhalah Tsaniyah) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.