Para ulama hadis memiliki sejumlah cara untuk menentukan mana riwayat yang lebih kuat ketika terdapat perbedaan dalam periwayatan hadis. Mereka menggunakan berbagai petunjuk atau indikator yang disebut “qarinah” baik yang berkaitan dengan sanad hadis maupun yang berkaitan dengan matan. Indikator-indikator tersebut tidak selalu menunjukkan adanya ‘illat (kecacatan) dalam hadis, melainkan juga digunakan untuk menentukan mana riwayat yang lebih unggul.
Imam Ibnu Rajab menegaskan: “Qarinah ini berfungsi untuk mengetahui tingkatan perawi tsiqah dan menimbang sebagian mereka atas sebagian lainnya ketika terjadi perbedaan, baik dalam sanad, atau riwayat yang tersambung dan terputus, maupun dalam hadis yang marfu’ dan mauquf.”[1] Indikator-indikator ini menjadi salah satu alat utama dalam mendeteksi `illat ghamidah (cacat tersembunyi) pada sebuah hadis.
Tidak semua orang dapat menguasai ilmu ini, kecuali mereka yang ahli dalam memahami kondisi perawi, tingkatan mereka, dan memiliki wawasan luas tentang sanad serta riwayat. Adapun ulama-ulama yang terkenal akan kompetensi dalam bidang ini di antaranya adalah Ibnu al-Madini, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Daraquthni. Mereka memiliki keahlian khusus dalam menilai hadis secara mendalam. Ibnu Rajab menyebutkan: “Para ulama ahli kritik hadis memiliki cara penilaian khusus untuk setiap hadis, dan tidak ada dhabit (batasan) khusus yang mengikat.”[2]
Menurut Ibnu al-Madini, salah satu cara termudah untuk menemukan illat dalam hadis adalah dengan jam’u thuruq al-riwayat (mengumpulkan seluruh jalur periwayatan). Ia berkata, “Sebuah hadis tidak akan terlihat kesalahannya jika jalur-jalurnya tidak dikumpulkan.”[3] Hal tersebut dikarenakan setiap hadis memiliki indikator yang khas dan unik, yang hanya berlaku untuk hadis tersebut dan tidak dapat diterapkan pada hadis lain.
Adapun indikator-indikator yang digunakan para ulama untuk mentarjih (mengunggulkan) sebuah riwayat hadis-hadis Nabi saw. adalah sebagai berikut,
Indikator Pertama: “Tafarrud (Menyendiri dalam Periwayatan Hadis)”
Tafarrud adalah salah satu indikator terpenting dalam menentukan kekuatan riwayat dan menjadi salah satu petunjuk utama adanya `illat (kecacatan) pada hadis. Imam Bukhari adalah salah satu ulama yang sering menggunakan pendekatan ini.
Namun, tafarrud bukanlah `illat secara hakikatnya. Mengenai hal ini, Ibnu Rajab menjelaskan: “Mayoritas ulama ahli hadis mengatakan bahwa jika suatu hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang, dan tidak ada riwayat dari perawi terpercaya lainnya yang bertentangan, maka mereka mengatakan: ‘Ia tidak memiliki penguat periwayatan lain,’ dan menjadikan itu sebagai `illat, kecuali jika perawi tersebut memiliki hafalan yang sangat kuat, terkenal dengan keadilannya, serta riwayat yang masyhur seperti Al-Zuhri dan selainnya”.[4]
Selain itu, salah satu indikator yang berkaitan dengan sanad adalah periwayatan seorang perawi dari keluarganya sendiri, seperti anak yang meriwayatkan dari ayahnya. Periwayatan semacam ini dianggap sebagai indikator yang memperkuat penerimaan riwayat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak diragukan bahwa keluarga seseorang lebih dekat dengannya daripada orang lain.”[5]
Indikator Kedua: “Mutaba’ah (Adanya Dukungan Riwayat)”
Mutaba’ah berarti adanya kesesuaian riwayat dari perawi lain yang meriwayatkan hadis dari guru yang sama, baik secara lafaz maupun makna.[6] Dengan adanya mutaba’ah, sebuah hadis dapat dipastikan akurat dan terpercaya, serta meminimalisir kesalahan perawi dalam periwayatan hadis. Hal tersebut dikarenakan adanya kesesuaian periwayatan dari segi lafaz maupun makna antar perawi. Namun tidak semua riwayat mutaba’ah dapat dijadikan hujjah, Ibnu al-Shalah dalam Muqaddimah-nya menjelaskan: “Dalam bab mutaba’ah dan istisyhad, terkadang ada riwayat dari perawi yang hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah secara mandiri, bahkan ia dianggap termasuk dalam golongan perawi lemah.”[7]
Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya mencantumkan sejumlah perawi lemah dalam bab mutaba’ah dan syawahid. Namun, tidak semua perawi lemah dapat digunakan dalam konteks ini. Oleh karena itu, Al-Daraquthni dan ulama lainnya mengatakan: “Di antara perawi lemah, ada yang masih dapat dipertimbangkan, dan ada yang tidak.”[8]
Adapun dari segi tingkatannya, Mutaba’ah terbagi menjadi dua tingkatan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nuzhatun Nadzar menjelaskan tingkatan-tingkatan mutaba’ah: “Mutaba’ah memiliki tingkatan-tingkatan: jika mutaba’ah terjadi pada perawi itu sendiri, maka itu disebut mutaba’ah yang sempurna. Jika terjadi pada gurunya atau periwayat di atasnya, maka itu disebut mutaba’ah yang kurang sempurna, tetapi tetap bermanfaat untuk memperkuat riwayat.”[9]
Indikator Ketiga: “Perawi tidak tercantum dalam Kitab Perawi-Perawi Lemah”
Para ulama hadis menganggap bahwa jika nama seorang perawi tidak tercantum dalam kitab-kitab tentang perawi lemah, maka hal itu menjadi alasan untuk menerima riwayatnya. Para imam yang menyusun kitab-kitab perawi lemah, jika mengetahui adanya kritik terhadap seorang perawi, pasti mereka akan menyebutkannya. Maka, tidak adanya kritik menjadi prinsip dasar bahwa seorang perawi adalah terbebas dari kelemahan, dan kritik tidak bisa diterima kecuali berdasarkan penjelasan yang jelas dari seorang pengkritik. Oleh karena itu, jika seorang perawi tidak disebutkan dalam kitab-kitab tersebut, maka hal itu dianggap sebagai bentuk pujian tersirat baginya.
Indikator Keempat: “Kekuatan Hafalan Perawi yang Diperselisihkan”
Indikator ini mengacu pada perawi yang dikenal sebagai banyak meriwayatkan hadis dan memiliki hafalan yang kuat, di mana terdapat dua riwayat yang berbeda darinya yang diriwayatkan oleh murid-muridnya yang terpercaya. Dalam hal ini, kedua riwayatnya dapat diterima. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari menjelaskan: “Al-Zuhri adalah seorang ahli hadis yang memiliki banyak riwayat. Hadis-hadisnya dapat berasal dari dua guru yang berbeda. Namun, hal ini tidak selalu berlaku bagi setiap perawi yang berbeda guru dalam periwayatannya, kecuali jika perawi tersebut seperti al-Zuhri, yang dikenal banyak meriwayatkan hadis dan memiliki banyak guru.”[10]
Indikator Kelima: “Adanya Penegasan Sima’ Hadis”
Indikator ini digunakan dalam riwayat dari perawi yang dicurigai melakukan tadlis (penyembunyian sanad). Jika seorang perawi yang dituduh tadlis, kemudian ia secara tegas menyatakan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut, maka pernyataan ini menjadi alasan untuk menerima hadisnya, kecuali jika terdapat indikator yang lebih kuat yang menentangnya.
Itulah beberapa indikator dasar yang dipakai oleh para ulama dalam mengidentifikasi keberadaan ‘illat pada hadis. Indikator-indikator ini sering menjadi alasan utama dalam memilih riwayat yang lebih kuat di antara beberapa riwayat yang lain.
Semoga bermanfaat
Penulis: Mahasantri M2 (Marhalah Tsaniyah) Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Al |
[1] Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad al-Baghdadi al-Hanbali, Syarh `Ilal al-Tirmidzi (Ardan: Maktabah al-Manar, 1987) 1/53
[2][2] Ibid, 2/582
[3] Abu Bakar bin Mahdy al-Khatib al-Baghdadi, Al-Jami` li Akhlaqi al-Rawi wa Adabi al-Sami` (Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 2022) 2/212
[4] Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad al-Baghdadi al-Hanbali, Syarh `Ilal al-Tirmidzi (Ardan: Maktabah al-Manar, 1987) 2/582
[5] Abul Fadhl Ahmad bin Hajar al-Asqalani, Al-Naktu `ala Kitabi ibn al-Shalah (Madinah: `Imadatu al-Bahts al-`Ilmi, 1984) 2/606
[6] Abdul Haq bin Saifuddin al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli al-Hadis (Beirut: Daar al-Basyair al-Islamiyyah, 1986) 56
[7] `Usman bin Abdirrahman Taqiyuddin al-Ma`ruf bi ibn al-Shalah, Ma`Rifatu Anwa`I `Ilmi al-Hadis (Beirut: Daar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2002) 174
[8] Abul Fadhl Zainuddin bin Ibrahim al-`Iraqi, Al-Taqyid wa al-Idhah (Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyyah, 1969) 110
[9] Abul Fadhl Ahmad bin Hajar al-Asqalani, Nuzhatun Nadzar wa Taudhihi Nukhbatu al-Fikr (Beirut: Al-Muassasah al-Risalah, 2021) 98
[10] [10] Abul Fadhl Ahmad bin Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: Daar al-Ma`Rifat, 1960) 13/16










