Hadis memainkan peran yang sangat penting sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an dalam kehidupan umat Muslim. Hadis mencatat berbagai aspek kehidupan Nabi Muhammad saw. tidak hanya mencakup ajaran moral dan spiritual saja, tetapi juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup beliau. Dalam kajian kitab Subulussalam bersama Ustadz Alamuddin, beliau pernah menjelaskan bahwa saat ini pendekatan hermeneutik dalam memahami teks hadis sedang banyak dibicarakan oleh pakar dan akademisi di seluruh dunia. Pernyataan tersebut memunculkan pertanyaan penting: Apakah kajian hermeneutik masih relevan untuk dibahas dan dipelajari di era modern seperti sekarang ini?
Sebelum kita menyentuh pertanyaan itu, izinkan penulis untuk sedikit menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan hermeneutik dan bagaimana kontribusinya dalam memahami hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Dalam banyak kajian, sering kali kita menemui pertentangan antara teks hadis dan fakta sejarah yang terverifikasi secara ilmiah. Beberapa riwayat hadis, ketika dibaca secara literal, terkadang seolah bertentangan dengan bukti sejarah yang ada. Di sinilah pendekatan hermeneutik dapat membantu kita untuk lebih bijaksana dalam memahaminya.
Seperti yang kita ketahui, sering kali timbul permasalahan antara teks hadis dan fakta sejarah yang terverifikasi secara ilmiah. Beberapa riwayat dhahirnya seolah-olah bertentangan dengan bukti sejarah yang ada, sehingga menimbulkan perdebatan dalam masyarakat dan kalangan akademisi. Di sinilah pendekatan hermeneutik bisa memberikan jalan keluar.
Hermeneutik sendiri merupakan ilmu penafsiran teks yang sangat memperhatikan konteks sosial, budaya, dan sejarah di balik teks tersebut. Dalam konteks hadis, pendekatan ini mendorong kita untuk tidak hanya membaca hadis sebagai catatan sejarah, tetapi juga sebagai ajaran spiritual Islam yang harus dipahami dalam konteks zamannya. Dengan pendekatan ini, kita bisa lebih memahami pesan yang terkandung dalam hadis, tanpa terjebak dalam pemahaman yang terlalu sempit atau terlalu literal.
Salah satu contoh klasik dari perdebatan ini adalah terkait dengan usia Aisyah ketika menikah dengan Nabi Muhammad saw. Dalam beberapa riwayat hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari (hadis nomor 5134), disebutkan bahwa Aisyah berusia enam tahun saat menikah dan sembilan tahun baru tinggal satu rumah dengan Nabi Muhammad saw. Namun, seiring dengan perkembangan kajian sejarah modern, banyak pihak yang meragukan kebenaran riwayat ini, mengingat perbedaan norma sosial pada masa kini. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa pernikahan dengan usia muda pada masa itu memang mungkin dianggap biasa.
Pendekatan hermeneutik mengajak kita untuk memahami hadis ini dalam konteks waktu dan budaya saat itu. Pada abad ke-7 di Jazirah Arab, usia pernikahan yang lebih muda mungkin dianggap normal, dan ini adalah bagian dari kebiasaan sosial pada waktu itu. Pendekatan ini memfasilitasi kita untuk melihat lebih jauh, yakni dengan tidak menghakimi hadis berdasarkan moralitas zaman sekarang, tetapi memahami prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, sesuai dengan konteks sejarah yang ada.
Pentingnya pendekatan hermeneutik dalam kajian hadis tidak hanya berhenti pada konteks waktu dan budaya. Salah satu kontribusi besar dari pendekatan ini adalah kemampuannya untuk melihat, bagaimana hadis dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa Nabi Muhammad saw. Banyak hadis yang dikumpulkan setelah masa Nabi Muhammad saw., terutama di era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang terkadang juga dipengaruhi oleh dinamika politik dan sosial yang ada saat itu. Ini bukan berarti nilai-nilai moral dan spiritual yang ada dalam hadis menjadi tidak relevan, tetapi kita perlu memahami bahwa konteks sejarah di balik pengumpulan hadis turut berperan dalam pembentukan teks-teks tersebut.
Sementara itu, dalam dunia Islam, para muhaddis (pakar dalam ilmu hadis) sangat menekankan pentingnya sanad (rantai perawi) dalam memastikan ke’alian sebuah hadis. Namun, mereka juga sepakat bahwa matan (isi) hadis tidak harus selalu dipahami secara literal. Misalnya, hadis yang berfungsi sebagai pedoman moral atau hukum dapat dipahami sebagai prinsip yang universal, sementara hadis yang menggambarkan peristiwa sejarah hendaknya dipahami dalam konteks sosial dan budaya waktu sebagaimana asbabul wurud hadis tersebut.
Pendekatan hermeneutik ini memberi ruang bagi kita untuk melihat hadis dengan cara yang lebih kritis dan kontekstual. Dengan demikian, kita dapat menyeimbangkan ajaran agama yang bersifat universal dengan pemahaman sejarah yang terus berkembang. Ini juga memberi kesempatan bagi umat Islam untuk tetap memelihara nilai-nilai moral dan spiritual dalam hadis, sekaligus mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman sejarah yang lebih mendalam agar literatur pemahaman terkait hadis tetap sesuai dengan porosnya.
Wallahu A’lam
| Editor: Mawil Hasanah Alm |
Referensi:
- Hamid Ansari, Understanding Islamic Culture (Terjemahan Bahasa Indonesia), Hal 67.
- Ignaz Goldziher, The Origins of Islamic Jurisprudence(Terjemahan Bahasa Indonesia), Hal 98.
- Muhammad Abduh, Risalah al-Tafsir, Hal. 43.
- Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Hadis 5134.
- Murtadha Mutahhari, The Philosophy of Ethics in Islam (Terjemahan Bahasa Indonesia), Hal 115.










