• Kontributor
  • Daftar
  • Login
Upgrade
Nuskha
Advertisement
  • Home
  • Artikel
    • Kajian Hadis
      • ulumul hadits
      • Sejarah Hadis
    • Artikel Ringan
    • Kajian Fikih
    • Review Literatur
    • biografi
    • tafsir dan ulum al-qur’an
    • Tekno
  • Agenda
  • download
    • Skripsi
    • powerpoint
No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Kajian Hadis
      • ulumul hadits
      • Sejarah Hadis
    • Artikel Ringan
    • Kajian Fikih
    • Review Literatur
    • biografi
    • tafsir dan ulum al-qur’an
    • Tekno
  • Agenda
  • download
    • Skripsi
    • powerpoint
No Result
View All Result
Nuskha
No Result
View All Result
Home Artikel

Mahar sebagai Tanda Hormat: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 4

Syalmahat Maha by Syalmahat Maha
Juli 28, 2025
in Artikel, Resensi, tafsir dan ulum al-qur'an
0
Mahar sebagai Tanda Hormat: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 4

Firman Allah Swt., surah An-Nisa’ ayat 4:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Artikel ini sama seperti artikel sebelumnya yaitu makalah ilmiah hasil dari mata kuliah Tafsir bersama KH. Musta’in Syafi’ie yang diringkas menjadi sebuah artikel ringan. Maka pada kesempatan ini penulis akan membahas secara komprehensif tafsir Surat An-Nisa’ ayat 4, yang menegaskan perintah Allah Swt. kepada kaum muslimin untuk memberikan mahar kepada perempuan yang dinikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Ayat ini menjadi landasan penting dalam hukum pernikahan Islam, menyoroti hak perempuan atas mahar serta adab dan etika dalam pemberiannya.

Asbabun Nuzul
Surat An-Nisa’ ayat 4 ini turun sebagai koreksi terhadap praktik masyarakat Arab pra-Islam (jahiliah), di mana ayah atau wali perempuan sering mengambil mahar dari pernikahan anak perempuannya untuk dirinya sendiri, tanpa memberikannya kepada sang anak. Praktik ini dianggap tidak adil dan merampas hak perempuan. Ayat ini menegaskan bahwa mahar adalah hak penuh perempuan yang harus diberikan secara langsung dan ikhlas oleh suami. Hadis riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir dari Abi Sholih menegaskan larangan Allah atas praktik tersebut dan memerintahkan pemberian mahar secara penuh kepada perempuan yang dinikahi. Dengan demikian, hak perempuan atas mahar harus dihormati dan ditunaikan dengan baik.

Tafsir Ayat

  1. Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menafsirkan bahwa kata “نِحْلَةً” (nihla) dalam ayat ini bermakna mahar yang wajib diberikan. Para sahabat seperti Ibnu Abbas, Muhammad bin Ishaq, Qatadah, dan Ibnu Zaid menegaskan bahwa pemberian mahar adalah kewajiban yang harus dilakukan dengan kerelaan hati. Mahar bukan sekadar formalitas, melainkan hak yang harus dipenuhi oleh suami kepada istri. Jika istri dengan sukarela merelakan sebagian mahar kepada suaminya setelah mahar itu diserahkan, maka suami boleh mengambilnya secara halal dan baik, sebagaimana firman Allah, “maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

  1. Tafsir Jalalain

Tafsir Jalalain menyoroti sebab turunnya ayat ini, yaitu kebiasaan ayah mengambil mahar anak perempuannya. Allah menegaskan bahwa mahar adalah hak perempuan dan harus diberikan secara penuh[1]. Kata “نِحْلَةً” diartikan sebagai pemberian yang dilakukan dengan penuh kerelaan hati, bukan karena paksaan atau tekanan. Jika istri merelakan sebagian mahar kepada suami, maka suami boleh mengambilnya dengan senang hati dan tanpa penyesalan. Mahar harus diberikan sepenuhnya kepada perempuan sebagai hak mereka, dan jika mereka secara sukarela memberikan sebagian kepada suami, maka suami boleh mengambilnya dengan senang hati tanpa rasa bersalah[2].

Analisis Lafadz

  • وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
    “Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) mahar mereka sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Artinya, Allah memerintahkan suami untuk memberikan mahar kepada istrinya tanpa tuntutan imbalan apapun darinya[3].

    • “وَ” (dan): Menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya, menunjukkan kesinambungan perintah Allah.
    • “آتُوا” (berikanlah): Bentuk perintah tegas dari Allah agar suami memberikan hak mahar kepada istri.
    • “النِّسَاءَ” (perempuan-perempuan): Merujuk pada semua perempuan yang menjadi pasangan sah dalam pernikahan.
    • “صَدُقَاتِهِنَّ” (mahar mereka): Mahar adalah hak perempuan yang wajib diberikan oleh suami.
    • “نِحْلَةً” (pemberian dengan sukarela): Menggambarkan pemberian yang dilakukan dengan penuh kerelaan hati, tanpa paksaan.
  • فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا
    “Jika mereka (para perempuan) merelakan sebagian darinya untuk kamu dengan suka hati.”

    • “فَإِنْ” (jika): Memberikan kemungkinan bagi istri untuk merelakan sebagian mahar.
    • “طِبْنَ” (merelakan): Istri memberikan sebagian mahar secara sukarela, tanpa paksaan.
    • “لَكُمْ” (untuk kamu): Merujuk kepada suami yang menerima pemberian tersebut.
    • “عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ” (sebagian dari mahar): Menunjukkan bahwa yang diberikan adalah sebagian dari mahar yang telah diterima.
    • “نَفْسًا” (dengan kerelaan hati): Menunjukkan pemberian dilakukan dengan sepenuh hati.
  • فَكُلُوهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
    “Maka makanlah (harta/pemberian) itu dengan senang hati lagi baik.”

    • “فَكُلُوهُ” (maka makanlah): Suami diperbolehkan mengambil dan memanfaatkan mahar yang diberikan istri secara sukarela.
    • “هَنِيْئًا” (dengan senang hati): Harta tersebut digunakan dengan rasa syukur dan kebahagiaan.
    • “مَرِيْئًا” (baik): Harta/pemberian yang diterima harus digunakan dengan cara yang benar dan tidak merugikan pihak mana pun.

Analisis gramatikal setiap kata dalam ayat ini menegaskan bahwa perintah pemberian mahar bersifat tegas, berlaku untuk semua perempuan yang dinikahi, dan harus dilakukan secara sukarela tanpa paksaan. Jika perempuan merelakan sebagian mahar, suami boleh mengambilnya dengan senang hati dan tanpa keraguan. Penggunaan kata perintah dan frasa syarat dalam ayat ini mempertegas prinsip keadilan dan keikhlasan dalam hubungan suami istri.

Makna Ijmali
Ayat ini memberikan pedoman tentang hak perempuan dalam pernikahan terkait pemberian mahar, yang harus diberikan oleh suami dengan ikhlas. Selain itu, jika istri merelakan sebagian dari mahar itu untuk suaminya, maka suami boleh menerimanya dengan penuh kebahagiaan dan dengan cara yang baik. Pemberian tersebut harus dilakukan dengan rasa syukur dan digunakan untuk kebaikan. Ayat ini juga menunjukkan pentingnya sikap sukarela dan keikhlasan dalam hubungan suami istri, serta menegaskan bahwa hubungan yang dibangun di atas dasar saling memberikan hak dan penghargaan akan membawa keberkahan dalam rumah tangga.

Secara lugas Imam Fakhruddin Ar-Razi menyatakan, hal itu boleh dilakukan oleh suami apabila istri benar-benar merelakannya, bukan karena akhlak dan perilaku buruk suami terhadap istri. Demikan ini menunjukkan bahwa suami wajib berhati-hati dalam pemanfaatnya atas mahar yang telah diberikan kepada istrinya, sebab syaratnya adalah kerelaan istri. Bila tidak istri tidak rela, maka haram dan tidak  diperbolehkan. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 270); dan (Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz IX, halaman 148).

Kandungan Surah An Nisa Ayat ; 4
Berdasarkan penafsiran dalam buku Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam oleh Ali Manshur[4], terdapat beberapa isi kandungan dari Surah An Nisa ayat 4:

Menyebutkan Mahar dalam Akad Nikah: Sunnah untuk menyebutkan mahar dalam akad nikah, menunjukkan keterbukaan dan kesungguhan dalam membangun ikatan pernikahan. Sehingga mayoritas ulama menyatakan akad tanpa mahar atau penetapan ketidaan mahar saat akad, atau dengan menyebutkan sesuatu yang tidak pantas dijadikan mahar tidaklah membatalkan nikah. Alasannya mahar bukan merupakan rukun dan syarat, melainkan salah satu ketentuan pernikahan, maka kecacatan yang terjadi dalam mahar tidak berpengaruh pada akad[5].” (Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 73).

  • Jenis Mahar dan Besarannya: Terdapat dua jenis mahar, yaitu mahar musamma yang disebutkan dalam akad, dan mahar mitsli yang dapat ditentukan sesuai kesepakatan. Besaran mahar disesuaikan dengan kemampuan calon suami.
  • Bukan Harga Kemaluan: Islam menegaskan bahwa mahar bukanlah harga dari kemaluan wanita yang dinikahi. Pernikahan adalah bentuk musytarak, hubungan timbal balik antara suami dan istri untuk mencapai manfaat dan tujuan bersama.

Khilaf Ulama’ Seputar Mahar

  1. Pengajaran Al-Qur’an sebagai Mahar

Para ulama berbeda pendapat terkait pengajaran Al-Qur’an sebagai mahar[6]:

  • Syafi’iyah, Ahmad (salah satu pendapat), dan Asbagh (Malikiyah) memperbolehkan pengajaran Al-Qur’an sebagai mahar dengan syarat:
    • Harus jelas apa yang diajarkan (misal seluruh Al-Qur’an atau sebagian tertentu).
    • Harus ada kesepakatan tentang biaya atau nilai pengajaran.
  • Malik, Ahmad (pendapat lain), dan Abu Bakr melarang pengajaran Al-Qur’an sebagai mahar, karena hubungan intim hanya dapat dibenarkan dengan menggunakan harta, dan pengajaran Al-Qur’an dianggap sebagai amal kebaikan yang tidak layak dijadikan mahar, seperti halnya puasa atau salat.
  • Ibn al-Qasim tidak menyukai pendapat tersebut, tetapi jika terjadi, maka pendapat tersebut dianggap sah menurut mayoritas ulama Malikiyah[7].
  1. Batasan Mahar

Batas Maksimal Mahar: Tidak ada batas maksimal dalam jumlah dan besaran mahar. Mahar diupayakan berupa sesuatu yang bermanfaat, baik berupa barang atau jasa. Jadi, Pemberian mahar dalam pernikahan Islam bukan sekadar kewajiban, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab. Dengan tata cara yang jelas dan prinsip-prinsip yang fleksibel, Islam memberikan kebebasan kepada pasangan untuk menentukan mahar sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan bersama. Semua ini sejalan dengan semangat pernikahan sebagai ikatan yang membawa kebahagiaan dan keberkahan.

  • Batas Minimal Mahar: Ulama berbeda pendapat:

Imam Malik berpendapat: Mahar tidak boleh kurang dari seperempat dinar. Para ulama dari kalangan Ahlu Ra’yi (seperti Abu Hanifah dan pengikutnya) berpendapat: Mahar tidak boleh kurang dari sepuluh dirham.Sedangkan Rabi’ah dan mayoritas ulama Madinah selain Malik, serta Imam Syafi’i, Sufyan, Ahmad, Ishaq, dan mayoritas ahli hadis berpendapat: Mahar diserahkan kepada kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak ada batas minimal dalam hal itu, apakah sedikit atau banyak.”[8]

Ragam Tafsir
Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Ahkam al-Quran li Imam as-Syafi’i menyebutkan ada tiga kemungkinan hukum yang dapat diambil dari ayat mahar[9]. Yaitu:

  • mahar menjadi wajib hanya jika ditetapkan sendiri oleh pihak laki-laki, baik sudah berhubungan badan ataupun belum. Jika ia tidak menetapkan jumlah maharnya, maka tidak wajib baginya untuk membayar mahar.
  • mahar itu menjadi wajib bersamaan dengan adanya akad nikah, meskipun tidak menyebutkan jumlah maharnya saat akad serta meskipun belum berhubungan badan sama sekali.
  • mahar itu pada dasarnya tidak wajib. Ia menjadi wajib membayaenya jika terjadi pada dua keadaan, yaitu telah menetapkan mahar dan telah menyebutkan ketika akad nikah dan ketika sudah melakukan hubungan badan, sekalipun belum menyebutkan jumlah maharnya saat akad nikah.

Kebolehan Suami Memanfaatkan Mahar yang Diberikan Istri
Frasa “فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا” menegaskan bahwa suami boleh memanfaatkan mahar yang diberikan istri secara sukarela. Hal ini menegaskan prinsip keikhlasan dan sukarela dalam hubungan suami istri. Imam Ahmad As-Shawi menafsirkan bahwa “makanlah” dalam ayat ini bermakna memanfaatkan harta tersebut dengan cara yang baik dan halal, tanpa ada rasa bersalah atau keraguan.

Implikasi Sosial dan Hukum
Ayat ini memiliki implikasi sosial dan hukum yang sangat penting dalam masyarakat Islam:

  • Penghormatan Hak Perempuan: Menegaskan bahwa perempuan berhak penuh atas mahar, dan tidak boleh ada pihak lain yang mengambil hak tersebut, termasuk ayah atau wali.
  • Keadilan dan Keikhlasan: Menekankan pentingnya keadilan dan keikhlasan dalam pemberian mahar serta penggunaan harta dalam rumah tangga.
  • Perlindungan terhadap Perempuan: Memberikan perlindungan hukum kepada perempuan agar hak-haknya tidak dirampas oleh pihak lain.
  • Pendidikan dan Kesadaran Hukum: Mendorong masyarakat untuk memahami bahwa mahar adalah hak perempuan yang wajib dipenuhi dan tidak boleh dijadikan alat transaksi atau komoditas oleh pihak lain.

Kesimpulan
Surat An-Nisa’ ayat 4 merupakan ayat yang sangat penting dalam hukum pernikahan Islam, menegaskan kewajiban suami memberi mahar kepada istri dengan ikhlas dan melarang pihak lain mengambil hak tersebut. Ayat ini juga memperbolehkan suami memanfaatkan mahar jika istri merelakannya dengan sukarela. Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang bentuk dan batas minimal mahar, hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Namun ulama fiqh sepakat bahwa hak perempuan atas mahar adalah prinsip syariat yang harus dijaga demi keadilan dan keharmonisan keluarga. Sikap sukarela, keikhlasan, dan penghormatan terhadap hak perempuan menjadi prinsip utama yang diajarkan dalam ayat ini.


Referensi:
[1] Jalaluddin Al-Mahalli, Jalaluddin  As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Surah An-Nisa.
[2] Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain.
[3] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib.
[4] Ali Manshur, Buku Hukum dan Etika Pernikahan dalam  Islam.
[5] Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu.
[6] Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah.
[7] Ibnu Qasim, Kitab Muhammad.
[8] Muhammad bin Nasr Al-Mawarzy, Ikhtilaful ‘Ulama lil Mawarzy.
[9] Al-Bihaqi, Ahkam Al-Quran li Imam As-Suyuthi.


Editor: Vigar Ramadhan Dano Muhamad Daeng

Tags: An-Nisa'MaharPerempuantafsir
Previous Post

Antara Agama dan Sains: Kajian Interdisipliner tentang Proses Penciptaan Manusia dalam QS. Al-Mu’minun 12-14

Next Post

Tafsir Ahkam: Hijab Style di Era Serba Tren

Syalmahat Maha

Syalmahat Maha

Akun ini adalah akun Syalmahat atau mahasantri Ma'had Aly Hasyim Asy'ari angkatan tahun 2023. Isi dari lamannya nanti adalah kumpulan makalah dari kami angkatan Syalmahat.

Related Posts

Kesibukan Tanpa Makna: Renungan Islam untuk Menata Hidup di Tengah Arus Produktivitas Modern
Artikel

Kesibukan Tanpa Makna: Renungan Islam untuk Menata Hidup di Tengah Arus Produktivitas Modern

by AI NURUSSAADAH
September 9, 2025
Menelisik Demonstrasi Dalam Kacamata Fiqhul Hadis
Artikel

Menelisik Demonstrasi Dalam Kacamata Fiqhul Hadis

by Wildan Husin
September 2, 2025
Tafsir Ahkam: Hijab Style di Era Serba Tren
Artikel

Tafsir Ahkam: Hijab Style di Era Serba Tren

by Syalmahat Maha
Juli 30, 2025
Antara Agama dan Sains: Kajian Interdisipliner tentang Proses Penciptaan Manusia dalam QS. Al-Mu’minun 12-14
Artikel

Antara Agama dan Sains: Kajian Interdisipliner tentang Proses Penciptaan Manusia dalam QS. Al-Mu’minun 12-14

by Syalmahat Maha
Juli 23, 2025
Menguak Fakta Panglima Pasukan Karbala dan Statusnya dalam Neraca Ilmu Hadis
Artikel

Menguak Fakta Panglima Pasukan Karbala dan Statusnya dalam Neraca Ilmu Hadis

by Husnu Widadi
Juli 7, 2025
Next Post
Tafsir Ahkam: Hijab Style di Era Serba Tren

Tafsir Ahkam: Hijab Style di Era Serba Tren

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

register akun perpus maha

Premium Content

Ekosentrisme dalam Perspektif Islam: Tanggung Jawab Spiritual terhadap Krisis Lingkungan

Ekosentrisme dalam Perspektif Islam: Tanggung Jawab Spiritual terhadap Krisis Lingkungan

April 21, 2025
Telaah ketiga: Menelisik Hadis Shahih pada Jenis, Pembagian dan Hukumnya

Telaah ketiga: Menelisik Hadis Shahih pada Jenis, Pembagian dan Hukumnya

Oktober 14, 2024
DAMPAK MEDSOS DAN ETIKA BERMEDSOS DALAM PERSPEKTIF HADIS

DAMPAK MEDSOS DAN ETIKA BERMEDSOS DALAM PERSPEKTIF HADIS

Januari 21, 2024

Browse by Category

  • Artikel
  • Artikel Ringan
  • Berita
  • biografi
  • Feminisme
  • Fikih Ibadah
  • Fiqhul Hadis
  • Hadis Tematik
  • Hasyimian
  • Kajian Fikih
  • Kajian Hadis
  • Library Management System
  • Opini
  • Orientalis
  • powerpoint
  • Resensi
  • Review Literatur
  • Sejarah Hadis
  • tafsir dan ulum al-qur'an
  • Tasawuf dan Tarekat
  • Tekno
  • ulumul hadits
  • Uncategorized

Browse by Tags

agama ahli fiqih Alam artikel bumi demonstrasi dermawan dirasat asanid fikih hadis hadist Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari Hasyim Asy'ari ilmu hadis jurnal Kajianhadis kajian hadis kajianhadist kritik hadis lingkungan ma'hadaly ma'had aly ma'hadalyhasyimasy'ari MAHA mahad aly mahad aly hasyim asyari Mahasantri masyayikh Tebuireng medsos Metodelogi Muhaddis musthalah hadits Nabi Muhammad OJS orientalis Puasa qur'an Ramadhan sains sejarah Shalat tafsir takhrij Tarawih Tebuireng
Nuskha

© 2023 Nuskha - powered by Perpustakaan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Pesantren Tebuireng.

Navigate Site

  • Account
  • Game Hadis
  • Koleksi Kitab Digital
  • Kontributor
  • Logout
  • My Profile
  • NUSKHA
  • Password Reset
  • Pendaftaran Akun Penulis
  • Perpus MAHA
  • جدول مراتب الجرح والتعديل

Follow Us

No Result
View All Result
  • Home
  • Kajian Hadis
  • Kajian Fikih
  • Berita
  • Mulai menulis

© 2023 Nuskha - powered by Perpustakaan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Pesantren Tebuireng.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?