Beberapa waktu lalu penulis sempat berbincang-bincang langsung dengan seorang teman yang sedang berjuang melepaskan diri dari kebiasaan minum-minuman keras. Dalam percakapan itu, ia mengatakan dengan nada pasrah, “Buat apa saya salat, toh katanya kalau orang mabuk salatnya tidak diterima 40 hari. Jadi ya sama saja kan, tidak ada gunanya saya salat selama ini.” ucapnya.
Jujur saja kalimat itu membuat saya membisu dan terdiam. Karena dari situ saya sadar betapa dalamnya luka pemahaman yang keliru ketika sebuah hadis dipahami secara tidak utuh, dan betapa berbahayanya apabila hal ini terus-menerus dijadikan landasan bagi mereka yang masih mengalaminya. Sehingga timbul sebuah pemikiran bahwa orang-orang pemabuk tersebut tidak mempunyai kewajiban salat karena salatnya tersebut pasti tertolak.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَادَ عَادَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang meminum khamar, maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari. Jika ia mengulanginya lagi, maka Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang lebih berat.”
Jika hanya ditinjau maknanya secara lughawi, maka lafadz لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ berarti tidak diterima ibadahnya. Pemahaman yang timbul adalah ibadah mahdhahnya (salat) apabila dilakukan maka tidak diterima. Padahal, urusan diterima atau tidaknya ibadah apapun adalah hak prerogatif Allah Swt. Namun, para ulama berbeda dalam mensyarahi lafadz tersebut.
Makna “tidak diterimanya salat” bukan berarti salatnya tidak sah, atau dia dianggap meninggalkan salat, tetapi lebih kepada tidak mendapatkan pahala. Mari kita lihat pendapat dalam kitab Ta’dhīm Qadr as-Shalāh, Abdur Razaq al-Badr mengutip pernyataan Abu Abdullah Ibnu Mandah sebagai berikut:
قوله “لا تقبل له صلاة” أي: لا يثاب على صلاته أربعين يوماً عقوبة لشربه الخمر، كما قالوا في المتكلم يوم الجمعة والإمام يخطب إنه يصلي الجمعة ولا جمعة له، يعنون أنه لا يعطى ثواب الجمعة عقوبة لذنبه.
“Ucapan ‘tidak ada salat yang diterima baginya’ berarti tidak ada pahala selama empat puluh hari sebagai hukuman bagi peminum arak, sebagaimana ucapan mereka tentang orang yang berbicara di hari Jumat ketika imam berkhutbah, bahwa ia salat di hari Jumat, padahal tidak ada hari Jumat baginya, artinya tidak ada pahala hari Jumat sebagai hukuman bagi dosa-dosanya.”
Begitu pula Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim. Beliau menulis sebagai berikut:
وَأَمَّا عَدَم قَبُول صَلاته فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لا ثَوَاب لَهُ فِيهَا وَإِنْ كَانَتْ مُجْزِئَة فِي سُقُوط الْفَرْض عَنْهُ , وَلا يَحْتَاج مَعَهَا إِلَى إِعَادَة
“Adapun tidak diterimanya salatnya, berarti tidak ada pahala baginya di dalamnya, meskipun hal itu sudah cukup untuk menggugurkan kewajibannya dan tidak perlu mengulanginya.”
Para ulama menjelaskan bahwa maksud hadis tentang “Tidak diterimanya salat empat puluh hari” bukan berarti salatnya gugur atau batal. Al-Munawi menafsirkan bahwa orang yang minum khamr tetap wajib salat, hanya saja salatnya tidak diberi pahala selama empat puluh hari sebagai bentuk hukuman.
Beliau mencontohkannya seperti orang yang berbicara ketika khatib berkhutbah di hari Jumat: ia tetap salat Jumat, tetapi tidak mendapat pahala Jumat karena kesalahannya. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juga sejalan dengan penjelasan itu. Menurutnya, salat peminum khamr tetap sah dan cukup untuk menggugurkan kewajiban, hanya saja tidak ada pahala di dalamnya sehingga tidak perlu diulang. Dengan kata lain, kewajiban salat tidak pernah hilang, hanya pahala yang terhalangi akibat dosa besar minum khamr.
Dari uraian para ulama di atas, dapat dipahami bahwa hadis tentang “salat peminum khamr tidak diterima 40 hari” tidak boleh dimaknai secara dangkal seolah-olah kewajiban salat gugur dari dirinya. Justru hadis ini menegaskan bahwa kewajiban salat tetap melekat, seberat apapun dosa seseorang, termasuk dosa besar seperti minum khamr. Hanya saja, Allah Swt. menutup pintu pahala bagi pelaku khamr selama empat puluh hari sebagai bentuk hukuman dan peringatan keras agar ia segera bertaubat.
Dengan demikian, maksud hadis ini bukan untuk melemahkan semangat orang yang terjerumus dalam dosa, melainkan untuk menumbuhkan rasa takut terhadap akibat buruk khamr sekaligus membangkitkan kesadaran untuk segera kembali kepada Allah Swt. Kesalahpahaman yang sering terjadi justru ketika hadis ini dijadikan alasan untuk meninggalkan salat, padahal hal itu hanya akan menambah dosa yang lebih besar: selain meminum khamr, ia juga meninggalkan kewajiban shalat.
Wallahu’alam.
Editor: Vigar Ramadhan Dano Muhammad Daeng