Hadis merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam yang menjadi pedoman dalam memahami dan mengamalkan ajaran Rasulullah saw. Namun, dalam praktiknya, tidak semua hadis yang dianggap sahih diamalkan oleh para imam mujtahid. Hal ini bukan karena mereka mengabaikan hadis, tetapi karena adanya berbagai pertimbangan ilmiah dalam memahami dan menafsirkan dalil-dalil syariat. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seorang imam tidak mengamalkan suatu hadis, seperti belum sampainya hadis tersebut kepada mereka, perbedaan dalam menilai keabsahan sanad dan matan, atau adanya jalur periwayatan yang berbeda-beda. Selain itu, dalam beberapa kasus, hadis bisa saja bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat, memiliki makna yang perlu ditakwil, atau bahkan telah dinasakh oleh hadis lain yang datang belakangan.
Dengan demikian, artikel ini akan diarahkan ke pembahasan dasar-dasar pertimbangan para imam dalam mengesampingkan sebagian hadis serta implikasinya terhadap ijtihad. Dengan memahami aspek-aspek ini, kita dapat melihat bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan bagian dari metodologi ilmiah dalam menjaga keotentikan dan penerapan syariat Islam secara tepat dan kontekstual.
1. Hadis Belum Sampai kepada Seorang Imam
Tidak semua hadis sampai kepada seorang imam, sehingga mereka hanya berijtihad berdasarkan hadis yang mereka peroleh. Karena apabila ada hadis yang belum sampai kepada seseorang, maka ia tidak dituntut untuk mengamalkannya, tak seorang pun, meski ia adalah imam mujtahid yang dapat mengusai seluruh hadis Nabi saw. Karena pada saat Nabi saw. berbicara, memberikan fatwa, memutuskan suatu perkara, atau melakukan seuatu perbuatan, yang mendengar atau melihatnya hanyalah orang-orang yang hadir di sana. Kemudian orang-orang yang hadir tersebut menyampaikan apapun yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang lain. Sehingga ilmu-ilmu tersebut sampai kepada siapa saja yang dikehendaki Allah dari kalangan sahabat, tabi`in, atau generasi setelah mereka. Oleh karenanya, entah ia merupakan seorang sahabat yang senantiasa bersama Nabi, tabi`in, ataupun dari para imam mujtahid, tidak ada yang mampu menguasai seluruh sunah Rasuslullah saw., dan barang siapa yang mengklaim demikian, maka ia telah mengatakan sesuatu yang mustahil.[1]
Ada sebuah hadis yang berbunyi:
لما سئل أبو بكر رضي الله عنه عن ميراث الجدة قال: مالك في كتاب الله من شيء، وما علمت لك في سنة رسول الله ﷺ من شيء، ولكن أسأل الناس، فسألهم؛ فقام المغيرة بن شعبة ومحمد بن مسلمة رضي الله عنهما، فشهدا أن النبي ﷺ أعطاها السدس، وقد بلغ هذه السنة عمران بن حصين رضي الله عنه أيضا. كما رواه أبو داود والترمذي من حديث قبيصة بن ذؤيب مرسلا وله طرق مرسلة منها حديث عمران بن حصين[2]
Suatu saat Abu Bakar r.a. ditanya mengenai hak waris seorang nenek, ia pun menjawab, “Aku tidak menemukan ketentuannya dalam Kitab Allah, tetapi Aku akan bertanya kepada orang-orang.” Maka ia pun bertanya, kemudian Al Mughirah Bin Syu`bah r.a. dan Muhammad Bin Maslamah r.a. memberikan kesaksian bahwa Nabi saw. telah memberikan kepada nenek 1/6 bagian.
Hadis di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa seorang sahabat sekaliber Abu bakar r.a. pun, terkadang tak sepenuhnya mengetahui apa yang dikatakan oleh Nabi saw. Kembali lagi, karena mungkin saja pada saat Nabi mengatakan hal tersebut Abu Bakar r.a. tidak hadir pada waktu itu. Dan banyak lagi seperti contoh di atas yang terjadi di antara para sahabat. Tentu saja perbedaan di antara para tabi`in dan mujtahid juga dipengaruhi oleh informasi yang mereka terima dari guru-gurunya hingga bermuara pada sahabat.
2. Perbedaan Jalur Periwayatan Hadis
Sebuah hadis bisa memiliki dua jalur periwayatan, satu sahih dan satu tidak. Jika seorang imam menerima jalur yang lemah, ia akan mengesampingkan hadis tersebut. Salah satu hadis mempunyai periwayatan sahih sedangkan jalur satunya tidak sahih. Hadis yang periwayatannya sampai kepada mujtahid bisa jadi melalui jalur yang tidak sahih, sehingga para imam pun mengesampikan hadis tersebut. Sedangkan imam lain menerima jalur periwayatan yang sahih, kemudian mengamalkan hadisnya. Ditemukan juga perkataan para imam terhadap hal ini, yaitu sebagian menggantungkan ijtihad mereka dengan mengatakan “Pendapatku dalam masalah ini adalah demikian, yang diriwayatkan dalam hadis yang memiliki kandungan demikian. Jika hadis tersebut sahih, maka itulah pendapatku.”[3]
3. Perbedaan dalam Penilaian Hadis
Ulama bisa berbeda dalam menilai hadis yang sama, baik dari segi sanad maupun matannya. Sebagian dari ulama tersebut tidak menemukan kecacatan dalam periwayatan, matan, atau sanadnya. Sedangkan ulama yang lain pada hadis dan periwayatan yang sama, menemukan kecacatan di dalamnya. Seringkali ulama atau para imam berbeda-beda dalam standarisasi penilaian mereka terhadap suatu hadis, misal dalam menilai rawi. Banyak alasan yang melatar belakangi kondisi tersebut, sebagaimana para ahli dalam bidang lain berbeda pendapat dalam disiplin ilmu mereka masing-masing.[4]
4. Lupa terhadap Hadis yang Pernah Diketahui
Para imam, termasuk sahabat, terkadang lupa terhadap hadis yang pernah mereka ketahui, yang bisa menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat. Kejadian ini banyak terjadi baik itu dari kalangan salaf maupun generasi khalaf. Hal serupa pun juga pernah terjadi pada para sahabat, seperti pada hadis berikut:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ: سَمِعْتُ شَقِيقَ بْنَ سَلَمَةَ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ وَأَبِي مُوسَى فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: أَرَأَيْتَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِذَا أَجْنَبَ فَلَمْ يَجِدْ مَاءً، كَيْفَ يَصْنَعُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: لَا يُصَلِّي حَتَّى يَجِدَ الْمَاءَ، فَقَالَ أَبُو مُوسَى: فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِقَوْلِ عَمَّارٍ حِينَ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: كَانَ يَكْفِيكَ. قَالَ: أَلَمْ تَرَ عُمَرَ لَمْ يَقْنَعْ بِذَلِكَ؟ فَقَالَ أَبُو مُوسَى: فَدَعْنَا مِنْ قَوْلِ عَمَّارٍ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهَذِهِ الْآيَةِ؟ فَمَا دَرَى عَبْدُ اللهِ مَا يَقُولُ، فَقَالَ: إِنَّا لَوْ رَخَّصْنَا لَهُمْ فِي هَذَا، لَأَوْشَكَ إِذَا بَرَدَ عَلَى أَحَدِهِمُ الْمَاءُ أَنْ يَدَعَهُ وَيَتَيَمَّمَ. فَقُلْتُ لِشَقِيقٍ: فَإِنَّمَا كَرِهَ عَبْدُ اللهِ لِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ[5]
Pada kisah yang masyhur dari sahabat Umar r.a. saat ditanya mengenai orang yang junub di tengah perjalanan, namun tidak menemukan air. Ammar telah menyaksikan Umar telah bilang begini, namun sahabat Umar lupa. Kemudian pada akhirnya Umar memberikan fatwa yang berbeda dengan Ammar, namun tetap membiarkan Ammar meriwayatkan hadis tersebut. Kondisi seperti lupa juga merupakan penyebab yang melatar belakangi terjadinya perbedaan pendapat bahkan fatwa, lupa seperti contoh di atas atau lupa yang biasanya terjadi kepada para ulama yaitu ghoflatu As-Sholihin. Fenomena tersebut bisa terjadi karena mereka tersibukkan dari ilmu, tersibukkan dari murajaah, atau memang karena faktor usia.[6]
5. Hadis Bertentangan dengan Dalil Lain
Maksudnya adalah bahwa saat imam menerima suatu hadis, kemudian ia berpendapat bahwa makna hadis tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki. Seperti pada kasus dalil yang bersifat amm (umum) dengan dalil yang bersifat khash (khusus). Dalil yang mutlak dengan muqayyad (terikat). Perintah yang wajib dengan perintah yang menyatakan tidak wajib, makna haqiqi (sebenarnya) dengan makna majazi (kiasan). Atau mungkin sebagian dalil lain yang menyatakan kontradiksi terhadap sebagian dalil lainnya.
6. Hadis Telah Dinasakh
Jika ditemukan hadis yang lebih baru yang menasakh hadis sebelumnya, maka hadis yang lama tidak lagi diamalkan. Artinya bahwa ketika ada suatu hadis yang telah datang kepada seorang imam, kemudian ia menyatakan hadis tersebut telah di-mansukh dengan dalil lain, maka ia tidak akan mengamalkan hadis tersebut.[7] Seperti dalam hadis:
حدثنا الربيع قال: أخبرنا الشافعي قال: أخبرنا عبد الوهاب بن عبد المجيد عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن أبي الأشعث الصنعاني عن شداد بن أوس قال: كنت مع النبي زمان الفتح فرأى رجلًا يحتجم لثمان عشرة خلت من رمضان فقال وهو آخذ بيدي: أفطر الحاجم والمحجوم أخبرنا سفيان عن يزيد بن أبي زياد عن مقسم عن ابن عباس أن رسول الله احتجم محرمًا صائمً
Imam Syafi’i dalam penjelasan ini membahas dua hadis terkait hukum bekam (hijama) bagi orang yang berpuasa. Pertama, beliau mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. melakukan bekam pada tahun haji wada dan berbuka puasa setelahnya (tidak batal). Kedua, beliau menyebutkan hadis pada tahun Fathul Makkah, yaitu dua tahun sebelum haji wada, yang menyatakan bahwa baik orang yang membekam maupun yang dibekam keduanya batal puasanya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika kedua hadis ini sahih, maka hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang menyebutkan tentang bekam Nabi saw. pada haji wada menjadi lebih kuat dan dapat dianggap sebagai naskh (penghapusan) terhadap hadis sebelumnya. Dengan demikian, beliau menyimpulkan bahwa bekam itu sendiri tidak membatalkan puasa, namun apa yang membatalkan puasa adalah efek samping setelah bekam, seperti kelemahan fisik yang dapat menyebabkan seseorang tidak mampu melanjutkan puasanya.
Dalam pandangan beliau, meskipun bekam tidak secara otomatis membatalkan puasa, disarankan untuk menghindari bekam sebagai langkah kehati-hatian. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa puasa tetap terjaga, dan agar tidak terjadi kondisi fisik yang bisa mengarah pada batalnya puasa. Jika seseorang tetap dibekam, maka puasa tidak batal kecuali jika setelah bekam terjadi sesuatu yang membatalkan puasa, seperti rasa lemah yang membuat seseorang tidak mampu meneruskan puasa. Dengan demikian, pendapat Imam Syafi’i mencerminkan pendekatan kehati-hatian dan penyesuaian terhadap keadaan tubuh dalam menjaga kesempurnaan ibadah puasa.[8]
Poin-poin di atas menunjukkan bahwa perbedaan ijtihad para imam mujtahid dalam konteks tidak mengamalkan hadis bukan berarti menolak hadis, seperti keterbatasan informasi membuat imam berijtihad dengan informasi yang mereka punya; perbedaan jalur periwayatan; berbeda dalam perspektif penilaian; lupa terhadap hadis; hingga kontradiksi-kontradiksi yang menyangkal hadis-hadis tersebut. Melainkan hal tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan ilmiah yang menunjukkan fleksibilitas, dalam memahami dan menerapkan syariat sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.
[1] Muhammad Abu Zahw (1403 H), Al-Hadith wa al-Muhaddithun, hal. 28-29.
[2] Al-Qattan (w.1420 H), Tariikh At-Tasyri’ Al-Islami 1/224.
[3] Muhammad Abu Zahw (w.1403 H), Al-Hadith wa al-Muhaddithun, hal. 30.
[4] Ibid.
[5] Imam Bukari, Shahih al-Bukhari, As-Sultaniyah 1/77.
[6] Abdul Karim al-Khudhair, Syarh Sunan at-Tirmidzi 11/4.
[7] Muhammad Abu Zahw (w.1403 H), Al-Hadith wa al-Muhaddithun, hal. 30-31.
[8] Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H), Ikhtilaf al-Hadith, bab Al-Hijamah, (Tahqiq: Abdul Aziz), 1/143.
Penulis: Mahasantri Semester 2 (Angkatan Amatsil)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.