Umat Islam sejak dahulu sampai sekarang, sepakat menetapkan hadis sebagai sumber hukum, setelah Al-Qur’an. Meskipun demikian, umat Islam dalam memaknai dan memahami hadis rentan berbeda. Dalam upaya memahami hadis Nabi Saw. secara komprehensif dan akurat, para ulama hadis dari generasi ke generasi telah mengembangkan berbagai metode ilmiah yang sistematis dan terstruktur. Di Indonesia sendiri, ada seorang tokoh ulama yang produktif dalam menulis dan memberikan kontribusi pada pemahaman Islam terkait hadis yakni, Prof. Ali Musthafa Ya’qub. Beliau menawarkan pendekatan yang moderat dan kontekstual dalam memahami teks-teks agama, termasuk hadis, untuk menjawab tantangan zaman.
Dalam buku Cara Benar Memahami Hadis, Prof. Ali Mustafa Ya’qub menguraikan metode-metode yang sistematis untuk memahami hadis dengan tepat. Metode ini mencakup beberapa langkah penting yang dirancang untuk memastikan pemahaman yang akurat dan kontekstual tentang hadis Nabi Saw. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Menurut Prof. Ali Mustafa Yaqub, teks hadis yang berkaitan dengan perkara gaib (al-gaibiyah) dan ibadah murni (al-‘Ibadah al-Mahdhah) yang bersifat mutlak (haqiqah) harus dipahami secara tekstual (zhahir) tanpa perlu ditafsirkan atau diinterpretasikan lebih lanjut. Ini berarti memahami teks hadis sesuai dengan makna literalnya tanpa melakukan penafsiran yang dapat mengubah makna aslinya. Namun, bilamana pemahaman secara tekstual tidak memungkinkan, maka dalam memahami hadis diperlukan pemahaman secara kontekstual.
Diantaranya ada penggunaan majaz, yang digunakan bukan pada makna asalnya karena adanya qarinah yang menunjukkan makna lain. Hal ini dikarenakan keindahan tatanan bahasa Rasulullah Saw., menjadikan kandungan perkataannya bermakna kiasan, seperti hadis tentang tangan panjang yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:
عن عائشَةَ قالَتْ أنَّ بَعْضَ أَزْوَاجِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قُلْنَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أَيُّنَا أَسْرَعُ بكَ لُحُوقًا؟ قالَ: أَطْوَلُكُنَّ يَدًا، فأخَذُوا قَصَبَةً يَذْرَعُونَهَا، فَكَانَتْ سَوْدَةُ أَطْوَلَهُنَّ يَدًا، فَعَلِمْنَا بَعْدُ أنَّما كَانَتْ طُولَ يَدِهَا الصَّدَقَةُ، وكَانَتْ أَسْرَعَنَا لُحُوقًا به وكَانَتْ تُحِبُّ الصَّدَقَةَ.
“Dari Aisyah, dia berkata bahwa sebagian istri Nabi Saw. berkata kepada Nabi Saw: Siapakah di antara kalian yang paling cepat menyusulmu? Beliau berkata: Yang paling panjang tangannya di antara kalian. Maka mereka mengambil sebatang buluh yang mereka ukur dengannya. Ternyata Sawdah adalah yang paling panjang tangannya. Kemudian kami mengetahui setelah itu bahwa sesungguhnya panjang tangannya adalah sedekah, dan dia adalah yang paling cepat menyusul kami, dan dia suka bersedekah.” (HR. Al-Bukhari).
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa hadis tersebut berbicara tentang “panjang tangan” dalam konteks suka bersedekah, bukan secara harfiah. Salah satu istri Nabi SAw. yang dikenal dermawan adalah Zainab, dan beliau lebih cepat menyusul Nabi SAw. dalam meninggal dunia.
Sedangkan mengenai takwil dalam hadis, Prof. Ali Mustafa Ya’qub membaginya menjadi dua kategori: pertama, hadis yang penjelasannya terdapat pada riwayat lain sehingga harus dipahami saling melengkapi; kedua, hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt.
Selain itu juga, hadis Nabi saw. dapat berupa perintah, larangan, atau ungkapan yang bermakna serupa. Dalam hadis, terkadang disebutkan ‘illat (alasan hukum), terkadang tidak. Jika ‘illat disebutkan secara jelas, maka disebut manshuhah (eksplisit); sedangkan jika tidak disebutkan, disebut mustanbathah (implisit). Umumnya, ‘illat manshuhah tidak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, ketika terdapat perbedaan riwayat dalam hadis, muncullah perbedaan pandangan mengenai penentuan ‘illat-nya.
Aspek penting lainnya dalam hadis, yaitu berupa pengetahuan terkait geografi, walaupun secara langsung ilmu ini tidak berkaitan dengan hadis, namun secara tidak langsung sangat membantu dalam memahami hadis Nabi Saw. Ketidaktahuan tentang geografi dapat menimbulkan kesalahpahaman terhadap makna hadis, karena setiap wilayah memiliki kondisi geografis yang berbeda.
Dalam upaya mengkaji hadis, diperlukan adanya pendekatan untuk memahami hadis. Dalam pendekatannya, Prof. Ali Mustafa Ya’qub menggunakan tiga macam pendekatan yaitu pendekatan historis, pendekatan sosiologi, dan pendekatan antropologi.
Prof. Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa memahami asbab al-wurud sangat penting dalam penafsiran hadis, karena dengan mengetahui latar belakang dan peristiwa yang melatarbelakangi sabda Nabi Saw., seseorang dapat memahami makna hadis dengan lebih benar dan tepat.
Beliau juga menggunakan pendekatan sosiologi dalam memahami hadis, dengan menekankan pentingnya melihat hadis melalui perspektif sosial masa kini. Menurutnya, hadis yang berkaitan dengan masalah sosial masa lalu tidak selalu bisa diterapkan langsung saat ini. Sebagai contoh, ia mengutip hadis tentang larangan meludah di masjid.
Sedangkan pendekatan antropologi dalam studi hadis menekankan pemahaman terhadap konteks budaya dan sosial pada masa Nabi Saw. tanpa menilai keshahihan hadis. Pendekatan ini membantu menggali makna dan tujuan hadis sesuai konteks aslinya. Prof. Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa budaya Arab sangat memengaruhi kehidupan Nabi SAw. dalam menghadapi persoalan sosial dan tradisi masyarakat, sehingga umat Islam perlu mempelajari kebudayaan Arab agar dapat memahami hadis.
2. Memahami secara Tematis
Hadis dengan teks-teks yang beragam tetap bersumber dari Nabi SAW, meskipun ada perbedaan dalam riwayat karena situasi, konteks, atau pemahaman yang berbeda dari para sahabat atau tabi’in. Perbedaan ini tidak menafikan kesahihan hadis, melainkan menunjukkan kompleksitas khazanah hadis. Maksud hadis tematis adalah metode memahami hadis dengan mengkaji berbagai hadis yang terkait dalam satu topik tertentu untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Dengan mempertimbangkan kesatuan dan keterkaitan antar hadis, dapat diperoleh pemahaman yang lebih akurat dan jelas tentang maksud dan tujuan syariat.
3. Kontradiksi Hadis
Kontradiksi hadis atau dalam ilmu hadis disebut Mukhtalaf al-Hadis yaitu perbedaan atau pertentangan dalam hadis, yakni hadis yang menyalahi Al-Qur’an atau menyalahi hadis lainnya, ataupun yang bertentangan dengan logika. Perkembangan sejarah kontekstualisasi hadis ditandai dengan munculnya ilmu ikhtilaf al-hadis yang membahas tentang kontradiksi hadis. Hal ini memicu perdebatan di kalangan ulama terkait dengan pemahaman dan penafsiran hadis. Al-Naisaburi memberikan kriteria bahwa kontradiksi hadis hanya dapat dikatakan terjadi jika hadis-hadis yang bertentangan tersebut memiliki derajat keshahihan yang sama.
Yang pada akhirnya, jika ada hadis shahih dan dha’if yang bertentangan, maka tidak dapat dikatakan sebagai kontradiksi. Pendapat ini memberikan batasan yang jelas dalam menilai kontradiksi hadis dan menekankan pentingnya mempertimbangkan derajat kesahihan hadis dalam analisis.
Dengan demikian, beberapa metode atau langkah yang telah disebutkan di atas dapat membantu kita mengatasi kesulitan dalam memahami hadis dan memperoleh pemahaman yang lebih eksplisit tentang pesan yang ingin disampaikan oleh Nabi Saw., sehingga kita dapat menerapkan ajaran hadis dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik.
Wallahu a’lam.
Tulisan ini adalah hasil diskusi yang dilakoni oleh beberapa teman tiap malam Jum’at. Forum ini dinamai Kedai Peradaban, sebuah forum kecil yang mewadahi teman-teman yang ingin berdiskusi dengan sistem yang terformat dan bertema. Nah, kebetulan, diskusi belakangan yang kami dialek-kan berkenaan dengan pemikiran Prof. Ali Musthafa Ya’qub mengenai keilmuan hadis yang memang sangat melekat dengan beliau. Sumber primer diskusi diambil dari kitab Al-Turuq al-Shahihah fi Fahmi as-Sunnah an-Nabawiyah dan beberapa buku karya beliau tentang hadis lainnya sebagai sumber sekundernya. Mungkin, dari sini kita akan meraba bagaimana memahami sedikit dari pemikiran Prof. Ali Mustafa Ya’qub. Tulisan ini hanya secuil dari yang dibahas dalam diskusi, dan demi mempersingkat, maka penulis meringkasnya menjadi artikel di atas. Sekian dan terima kasih sudah membaca.
Notulen diskusi:
Naufal Afif (Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Hasyim Asy’ari)
Anggota diskusi:
1. Ahmad Fikri (Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Hasyim Asy’ari)
2. Dimas Setyawan Saputra (Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dan Mahasiswa S2 UINSA)
3. Farhan Syah Putra (Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari)
4. Muhammad Habib Al-anshori (Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Hasyim Asy’ari)
5. Vigar Ramadhan Dano M.D. (Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Hasyim Asy’ari)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.










