Penulis: Asti Maharani, Mayang Santika
Para ulama telah menyepakati bahwa menutup aurat adalah kewajiban bagi umat muslim. Aurat sendiri menurut bahasa memiliki arti kekurangan, kosong, dan aib pada sesuatu. Disebut jelek atau aib karena jelek dipandang oleh mata.
Allah SWT menganugerahkan kepada para perempuan keindahan tubuh dan paras yang tidak dimiliki oleh lelaki. Setiap lekuk tubuh perempuan adalah kehormatannya yang wajib ditutupi dari pandangan agar tidak menimbulkan nafsu birahi yang berujung pada pelecehan seksual, kekacauan dan pelanggaran terhadap norma-norma yang telah ditetapkan ajaran agama Islam. Sebagaimana Allah tegaskan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuan, dan perempuan perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Dengan demikian mereka lebih mudah dikenal dan mereka tidak akan diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Kewajiban menutup aurat bagi wanita juga ditegaskan dalam hadis Nabi saw sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Dari Abdullah dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki. “(HR. Tirmizi)
Sekalipun kewajiban menutup aurat telah disepakati oleh para ulama, mereka berbeda pendapat terkait batasan-batasannya. Berikut akan kami sajikan perbedaan pendapat para ulama mengenai aurat wanita dalam salat maupun di luar salat.
Batas Aurat Wanita dalam Salat
Menurut pendapat al-Hanafiyah dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah aurat wanita mencakup seluruh badan kecuali wajah, telapak tangan bagian dalam dan telapak kaki bagian luar. Menurut al-Malikiyah dan al-Syafi’iyah dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu aurat wanita mencakup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dan menurut al-Hanbali dalam kitab al-Tafsir al-Munir aurat wanita mencakup seluruh tubuh kecuali wajah.
Batas Aurat Wanita di Hadapan Laki-Laki yang Bukan Mahram
Menurut Al-Hanafiyah, Sy’iah Imamiyah, al-Tsauri, dan al-Muzani, aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Sedangkan al-Malikiyah berpendapat aurat wanita meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pendapat ini selaras dengan pendapat Ibnu Hazm, Imam Syafi’i dan Ahmad (menurut riwayat masyhur), Al-Hanafiyah dan Syiah Imamiyah (menurut satu riwayat). Menurut Al-Syafiiyah aurat wanita meliputi seluruh tubuh kecuali yang tampak ketika memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan pendapat Imam Ahmad (dalam satu riwayat) yakni seluruh tubuh selain wajah seperti pendapat Daud Al-Zahiri dan Syi’ah Zaidiyah.
Batas Aurat Perempuan di Hadapan Mahram Laki-Laki dan Perempuan Muslimah
Menurut pendapat Al-Hanafiyah dan As-Syafi’iyah batas aurat wanita dihadapan mahram laki-laki dan wanita muslimah hanya aurat besar saja yaitu antara pusar dan lutut. Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah berpendapat dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasanya batas tersebut meliputi seluruh tubuh kecuali wajah, leher, kepala, kedua tangan, kaki dan betis.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam batas aurat wanita, ada beberapa hal yang disepakati para ulama dan beberapa hal para ulama berbeda pendapat. Kewajiban menutup aurat merupakan suatu kewajiban yang bersifat ‘aini ta’abbudi . Oleh karena itu, seorang mukmin wajib mengimani bahwa setiap perintah atau larangan Allah SWT terhadap suatu perbuatan pasti ada hikmahnya. Hanya saja, kerapkali Allah tidak memberitahukan hikmah itu secara verbal kepada manusia, sebagai kesempatan bagi manusia untuk mencari sendiri hikmah di balik syar’iat Allah.
Perbedaan pemahaman dalam agama Islam sendiri merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Rasulullah Saw, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Bahkan, Rasulullah Saw kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda.
Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam Mizanul Kubra mengatakan:
فإن الشريعة كالشجرة العظيمة المنتشرة وأقوال علمائها كالفروع والأغصان، فلا يوجد لنا فرع من غير أصل، ولا ثمرة من غير غصن، كما لا يوجد أبنية من غير جدران
Artinya “Syari’at itu seperti pohon besar yang bercabang-cabang. Perkataan ulama seperti cabang dan rantingnya. Tidak ada cabang tanpa akar/asal. Tidak ada buah tanpa bersandar pada ranting. Sebagaimana halnya tidak ada bangunan tanpa dinding.”
Penulis merupakan anggota FBM Putri
Editor: Alfiya Hanafiyah










