Prolog
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السَّلَمِيِّ قَالَ كَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ أُعْتِقُهَا قَالَ اِئْتِنِيْ بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. (رواه مسلم 357)
Diriwayatkan dari Muawiyah bin al-Hakam al-Salami. Ia berkata: “Aku punya seorang budak perempuan, yang menggembala kambingku. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku memerdekannya?” Beliau menjawab: “Bawa budak itu ke sini.” Lalu aku membawanya kepada beliau. Beliau berkata kepadanya: “Di mana Tuhan?” Ia menjawab: “Di langit.[1]
Hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim ini sering dijadikan dalil oleh kelompok Wahabi untuk menyatakan bahwa Allah berada di langit. Mereka berargumen bahwa ketika Nabi Muhammad saw. bertanya kepada budak perempuan tersebut, “Di mana Allah?” dan ia menjawab “Di langit,” Nabi tidak membantahnya, bahkan mengakui keimanannya.
Menurut pemahaman kelompok Wahabi, hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. memiliki tempat tertentu, yaitu di atas langit. Mereka memahami sabda Nabi Muhammad saw. dalam hadis ini secara zahir, yaitu sebagai keberadaan Allah Swt. di atas secara hakiki. Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis apakah pemahaman mereka benar atau tidak? Pastinya, dengan membandingkan pemahaman mereka dengan pemikiran ulama yang teruji kredibilitasnya.
Analisis
Dalam konteks hadis ini, Imam Al-Maziri dalam kitab Al-Mu’allim bi Fawaidil Muslim, menjelaskan bahwa hadis ini tidak menunjukkan tempat Allah Swt., melainkan menunjukkan keagungan Dzat Allah dan langit adalah kiblat doa. Lebih detailnya, beliau berkata:
وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلالته تعالى في نفسها والسماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين فكما لم يدلّ استقبال الكعبة على أن الله جلت قدرته فيها لم يدل التوجه إلى السماء، والإشارة على أن الله سبحانه حال فيها
“Isyaratnya ke langit mengabarkan tentang keagungan pada diri-Nya. Langit adalah kiblatnya orang berdoa, sebagaimana ka’bah kiblatnya orang shalat. Maka, sebagaimana menghadap ka’bah saat shalat bukan berarti Allah ada di dalamnya, begitu pula saat berdoa mengisyaratkan ke arah langit bukan berarti Allah ada di atasnya.”[2]
Senada dengan penjelasan Imam Al-Marizi, Imam An-Nawawi menegaskan bahwa hadis tersebut termasuk nash-nash mutasyabihat (nash yang memiliki makna yang belum jelas) yang mana dalam memahaminya terdapat dua metode dalam literatur Ahlussunah wal Jamaah. Lebih jelasnya, ia berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أَحَادِيثِ الصَّفَاتِ وَفِيهَا مَذْهَبَانِ تَقَدَّمَ أَحَدُهُمَا الْإِيمَانُ بِهِ مِنْ غَيْرِ خَوْضٍ فِي مَعْنَاهُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ الله تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْء وَتَنْزِيهِهِ عَنْ سِمَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ وَالثَّانِي تَأْوِيلُهُ بِمَا يَلِيقُ بِهِ فَمَنْ قَالَ بِهَذَا قَالَ كَانَ الْمُرَادُ امْتِحَانَهَا هَلْ هِيَ مُوَحِّدَةٌ تُقِرُّ بِأَنَّ الْخَالِقَ الْمُدَبِّرَ الْفَكَّالَ هُوَ اللهُ وَحْدَهُ
“Hadis ini termasuk hadis-hadis sifat. Ada dua madzhab dalam memahaminya seperti yang telah kami sebutkan dalam Kitab al-Iman. Pendapat pertama. Hendaknya mengimaninya tanpa menceburkan diri dalam pergulatan apa maknanya, juga meyakini bahwa Allah Ta’ala tidak ada yang serupa dengan-Nya suatu apa pun, dan mensucikan-Nya dari semua tanda-tanda makhluk. Pendapat kedua. Mentakwilnya dengan makna yang pantas bagi-Nya. Pihak ini mengatakan bahwa Rasulullah saw. bermaksud menguji wanita itu apakah dia seorang ahli tauhid yang mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur manusia.”[3]
Dari penjelasan Imam An-Nawawi, dapat kita pahami bahwa sebagian ulama mengimani hadis ini tanpa men-takwil artinya, tetapi dengan tetap meyakini bahwa Allah Swt. tidak serupa dengan makhluk. Sedangkan ulama lain menjelaskan bahwa tujuan Nabi bertanya kepada budak bukanlah untuk menanyakan tentang keberadaan Allah Swt., melainkan Nabi menguji budak tersebut apakah ia beriman kepada Allah Swt. sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, bukan beriman kepada para berhala yang berada di bumi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Abu Hayyan Al-Andulusi. Dalam kitab tafsir Bahrul Muhith, Abu Hayyan menjelaskan:
حديث الأمة التي قال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : أين ربك، فأشارت إلى السماء، فقالإنها مؤمنة، لأنه فهم منها أن مرادها نفي الآلهة الأرضية التي هي الأصنام لا إثبات السماء مكانا لله تعالى
“Hadis budak yang nabi saw. bertanya kepadanya: “Dimana Tuhanmu?” lalu ia mengisyaratkan ke langit, kemudian Nabi bersabda : “ Dia wanita yang beriman”, maka hadis ini dipahami bahwa yang dimaksud adalah menafikan tuhan-tuhan yang ada disembah bumi yaitu berhala-berhala, bukan menetapkan langit sebagai tempat Allah Ta’alaa“.[4]
Epilog
Dari uraian singkat di atas, kita mendapatkan satu konklusi bahwa ulama Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, khususnya dari kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah, menginterpretasi hadis ini dalam konteks kemuliaan dan ketinggian derajat Allah Swt., bukan dalam arti tempat fisik. Mereka menegaskan bahwa Allah Swt. tidak terikat oleh ruang dan waktu, karena sifat-sifat-Nya tidak serupa dengan makhluk. Dengan demikian, pemahaman kelompok Wahabi terhadap hadis ini lebih cenderung pada makna literal atau zahir saja, dan bertentangan dengan interpretasi ulama lain dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan kaidah tauhid bahwa Allah Swt. tidak menyerupai makhluk-Nya.
[1] HR. Muslim, No. 357
[2] Al-Mu’allim bi Fawaidil Muslim, 1/412
[3] Syarhu Nawawi ‘ala Muslim, 5/24
[4] Tafsir Bahrul Muhith, 6/285
Penulis: Mahasantri semeter 2 (Angkatan Amatsil)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.