Meminjam kalimat pak Jasminto di kolom Facebook-nya, dalam keheningan Ramadhan, manusia telah menemukan ruang untuk I’tikaf Fikriyah[1]; yaitu sebuah perenungan intelektual yang membawa seseorang pada pemahaman lebih dalam tentang dirinya dan eksistensinya. I’tikaf ini berarti bukan sekadar menjauh dari hiruk-pikuk dunia, tetapi juga menjadi jeda spiritual, sebuah momen untuk menyelami makna kehidupan dalam ketenangan. Keheningan bukanlah sekadar absennya suara, melainkan lanskap batin tempat ego diredam, pikiran disaring, dan jiwa menemukan dirinya sendiri. Sebagaimana Socrates berkata, “Hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tidak layak dijalani.” Maka, Ramadhan menjadi kesempatan bagi manusia untuk bertanya dan merenung: siapa dirinya di hadapan Tuhan, alam semesta, dan sesama?
Pergi sebentar ke Nurcholish Madjid (Cak Nur), Cak Nur menilai Ramadan sebagai ibadah yang mendalam dan berdampak besar yang membentuk jiwa keagamaan seorang Muslim melalui berbagai kegiatan selama sebulan seperti berbuka puasa, salat tarawih, dan sahur;[2] Pada titik inilah Ramadhan berperan sebagai sarana muhasabah, tempat manusia mengkritisi dirinya secara jujur: apa yang selama ini menjadi pegangan hidup? Apakah nilai-nilai yang diyakini benar-benar berasal dari kesadaran, atau sekadar pemenuhan ego dan kebiasaan? Saat dunia luar diredam oleh ibadah dan refleksi dari bulan Ramadhan, manusia dapat melihat dirinya dengan lebih jernih, layaknya seorang filsuf yang duduk dalam keheningan dan bertanya tentang makna keberadaannya.
Tentu, tujuan diperintahkan puasa kepada orang beriman tidak lain untuk menjadikan manusia lebih bertakwa, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Baqarah [2]: 183. Unsur utama takwa, yaitu keyakinan dan kepasrahan kepada yang Maha Kuasa, mendapatkan penanaman dan peneguhan khusus melalui puasa. Sebab, dari semua bentuk ibadah, puasa adalah ibadah yang paling pribadi, personal, atau privat tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui, apalagi menilainya.[3]
Beralih ke dalam kepercayaan Buddhisme, di sana diajarkan suatu konsep yaitu detachment, yakni pembebasan dari keterikatan duniawi sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Dan Ramadhan, sudah jelas, sudah jelas, telah mengajarkan prinsip yang serupa: menahan diri bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari hawa nafsu, kemarahan, dan ketergantungan pada hal-hal yang bersifat material-duniawi. Kesadaran ini kiranya akan mengantarkan seseorang pada pemahaman bahwa, banyak hal yang selama ini dianggap penting sebenarnya hanyalah fatamorgana dan fana.
Selain itu, ibadah puasa juga mengandung hikmah kemanusiaan yang diperteguh melalui pelatihan menahan diri dan menanggung derita sementara demi kebahagiaan jangka panjang. Dengan berpuasa, seseorang akan mampu merasakan secara total penderitaan orang-orang yang kelaparan, sehingga tumbuh rasa empati yang lebih dalam pada diri seorang yang berpuasa.
Seperti ulat yang memasuki kepompong sebelum menjadi kupu-kupu, Ramadhan adalah ruang transformasi bagi manusia. Bulan ini menjadi wadah bagi perubahan kita, dari hidup yang reaktif menjadi hidup yang reflektif, dari manusia yang digerakkan oleh dunia luar menjadi manusia yang memiliki kendali atas dirinya sendiri. Di akhir Ramadhan, seseorang seharusnya bukan lagi individu yang sama seperti di awal bulan atau sebelumnya. Harus ada pemahaman baru, kesadaran yang lebih tajam, dan jiwa yang lebih terarah setelah itu. Kira-kira seperti itulah idealnya.
Sebagaimana dalam buku Republik nya Plato, khususnya dalam alegori gua (Allegory of the Cave, Buku VII), perjalanan dari ketidaktahuan menuju pengetahuan sejati adalah sebuah proses self-discovery. Orang yang keluar dari gua adalah mereka yang telah memahami kebenaran sejati, yang dalam konteks ini Ramadhan sebagai waktu refleksi dan transformasi juga bisa dianggap sebagai perjalanan menuju self-knowledge, sebuah waktu yang membuat kita sadar dan berubah ke depannya.
Oleh karena itu, Ramadhan seharusnya tidak hanya menjadi waktu untuk merasakan lapar secara sementara, melainkan juga kesempatan untuk merenung dan merefleksi kembari diri sendiri sekaligus menjadi momentum pendekatan diri kepada Allah Swt. Dengan demikian, Ramadhan, dengan seluruh dimensinya, mengajarkan keseimbangan antara refleksi spiritual dan kesadaran diri. Ia adalah bulan di mana manusia tidak hanya menemukan dirinya, tetapi juga menemukan makna hidup ini. Pada akhirnya, Ramadhan adalah cermin bagi jiwa; tempat seseorang mengukur sejauh mana ia telah menjadi manusia yang sejati.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini hanyalah sebuah opini reflektif dari saya sebagai penulis. Ini lahir dari perenungan pribadi yang tentu tidak lepas dari keterbatasan pemahaman dan subjektivitas. Saya mengamini bahwa Ramadhan adalah momentum tentang pengalaman yang begitu luas dan mendalam, dan setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memaknainya. Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang saya sampaikan mengandung kekurangan, atau bahkan kesalahan. Oleh karena itu, tulisan ini bukan kebenaran mutlak, melainkan ajakan untuk bersama-sama merenung, berdiskusi, dan terus mencari makna yang lebih dalam.
Sekian, maturnuwun…
[1] https://www.facebook.com/share/p/1DCcS4fqFe/
[2] https://kalam.sindonews.com/read/739189/69/nurcholish-madjid-puasa-ramadhan-ibadah-wajib-yang-paling-mendalam-1649592263
[3] Nurcholis Madjid, Ensiklopedia NM, Blog dari kumpulan artikel-artikel Cak Nur, 30 SAJIAN RUHANI; Renungan di Bulan Ramadlan
Penulis: Mahasantri semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.










