Bulan Ramadan senantiasa menjadi momen istimewa bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka, baik dalam dimensi spiritual maupun sosial. Salah satu bentuk ibadah yang menjadi ciri khas Ramadan adalah salat tarawih yang dilakukan secara berjamaah. Dalam praktiknya, masyarakat Muslim di berbagai daerah memiliki tradisi tersendiri dalam melaksanakan salat ini, termasuk pembacaan shalawat dan taradhdhi di antara rakaat-rakaat tarawih.
Namun, muncul pertanyaan: bagaimana pandangan para ulama mengenai kebiasaan ini? Apakah ia memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, atau sekadar merupakan tradisi turun-temurun yang berkembang di masyarakat? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri dalil-dalil serta pandangan para ulama mengenai shalawat dan taradhdhi dalam konteks salat tarawih yang sedikit akan dibahas pada artikel ini.
Salat tarawih yang dilaksanakan sebanyak 20 rakaat (8 pada pendapat lain), pada umumnya memiliki satu orang yang bertugas sebagai bilal dalam salat tarawih berjamaah. Bilal akan ditugaskan untuk membaca shalawat dan taradhdhi[1] sebagai pemisah setiap selesai 2 rakaat salat tarawih yang kemudian bacaan tersebut dijawab secara serentak oleh para jama’ah yang hadir.
Mengenai shalawat tentu para ulama sepakat bahwa shalawat adalah bagian dari dzikir yang baik dan dianjurkan untuk selalu dilantunkan setiap saat, setiap doa yang didahului oleh pembacaan shalawat adalah salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa. Sebagaimana penjelasan dalam hadis mauquf yang diriwayatkan oleh imam Al-Tirmidzi dari sahabat Umar bin Khattab, ia berkata
إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يَصْعَدُ مِنْهُ شَىْءٌ حَتَّى تُصَلِّىَ عَلَى نَبِيِّكَ -صلى الله عليه وسلم-
“Sesungguhnya doa itu berhenti di antara langit dan bumi, tidak akan naik ke atas hingga engkau bershalawat kepada Nabimu saw.” (HR. Tirmidzi)[2]
Dalam masalah penggunaannya pada salat tarawih berjamaah, Imam Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab fatawa-nya menjawab:
ومما يشهد للصلاة عليه بين تسليمات التراويح أنه يُسَنُّ الدعاء عقب السلام من الصلاة ، وقد تقرَّر أنَّ الدَّاعي يُسَنُّ له الصلاة أول الدعاء وأوسطه وآخره ، وهذا مما أجمع عليه العلماء في أوله وآخره
“Sebagian dari pelegitimasian pembacaan shalawat di setiap 2 rakaat tarawih adalah kesunnahan untuk berdoa sesudah salat, dan telah menjadi ketetapan bahwa setiap doa disunnahkan untuk menyertakan shalawat baik di permulaan, tengah-tengah atau akhir doa, hal ini merupakan ijma’ para ulama”[3]
Kemudian terkait bacaan taradhdhi kepada Khulafaur Rosyidin, menurut penuturan Sayyid Abdullah bin Mahfudz al-Haddad, taradhdhi pertama kali diperkenalkan oleh para ulama Hadramaut Yaman karena beberapa tujuan dan menjadikannya sebagai siasat syar’i, karena pada saat itu wilayah Hadramaut dipimpin oleh suatu kelompok yang membenci para sahabat Nabi, maka disusunlah kalimat taradhdhi sebagai upaya untuk mempertahankan kehormatan para sahabat dan dibaca setiap selesai 2 rakaat salat tarawih. Adapun redaksi taradhdhi berupa doa untuk para sahabat dan persaksian keridhaan dari Allah Swt. untuk mereka.[4]
Kedua praktek di atas, baik shalawat maupun taradhdhi, pada intinya yaitu sama baiknya, bahkan bisa menjadi sunnah dengan landasan hadis riwayat Imam Muslim dari Muawiyah bahwa Rasulullah Saw. berkata kepadanya,
إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ، حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَمَرَنَا بِذَلِكَ: أَنْ لَا نُوصِلَ صَلَاةً بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Jika kamu telah selesai mengerjakan salat Jum’at, janganlah kamu sambung dengan salat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah ﷺ memerintahkan hal itu kepada kita yaitu ‘Janganlah suatu salat disambung dengan salat lain, kecuali setelah kita berbicara atau keluar dari Masjid.'”[5] (HR. Muslim)
Hadis diatas menjadi dalil kesunnahan untuk memisah antara beberapa salat dengan berpindah tempat atau dengan berbicara. Menurut Imam al-Qurtubiy (Al-Qurtubiy, Al-Mafham 2/520) dan al-Baihaqiy (Al-Baihaqiy, Ma’rifatu al-Sunan wa al-Atsar, 2/522) hadis diatas tidak hanya berlaku pada salat Jum’at saja, namun juga pada salat-salat yang lain. Bahkan menurut pendapat Imam Ibnu Ruslan dalam kitabnya, kesunnahan ini juga berlaku untuk salat-salat sunnah seperti salat dhuha dan salat tarawih. (Ibnu Ruslan, Syarh Al-Sunan Abi Dawud 4/30).
Pada akhirnya, praktik pembacaan shalawat dan taradhdhi dalam salat tarawih merupakan bagian dari tradisi yang telah mengakar di tengah masyarakat Muslim. Secara dzatiyah, mungkin tidak ada dalil yang secara eksplisit menyebutkannya sebagai kesunnahan dalam salat tarawih, namun secara umum, ia tetap dapat dikategorikan sebagai amalan yang baik. Sebab, shalawat adalah bentuk dzikir yang dianjurkan, dan memisahkan antara beberapa salat dengan berbicara memiliki dasar dalam hadis Rasulullah Saw.
Dalam persoalan ibadah, penting untuk memahami batasan antara sesuatu yang bersifat sunnah muakkadah (yang dianjurkan) dan sesuatu yang bersifat tradisi keagamaan yang baik (al-‘urf al-shalih). Selama suatu amalan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, maka keberadaannya dapat dihargai sebagai bagian dari keberagaman ekspresi keberagamaan umat Islam. Tulisan ini pun tidak dimaksudkan untuk memberi keputusan final, melainkan sekadar refleksi dari sudut pandang penulis, yang tentu masih banyak kekurangannya dan terbuka untuk diskusi lebih lanjut.
[1] Merupakan doa bagi para khalifah pengganti Rasulullah. Biasanya, bacaan ini dipimpin oleh seorang bilal yang kemudian diikuti oleh seluruh jamaah dengan membaca kalimat: رَضِيَ اللهُ عَنْه
[2] Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, no. 486, 1/496.
[3] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, 1/186.
[4] Zein bin Muhammad bin Husain Alaydrus, Ithafu al-Anam fi Ahkami al-Shiyam, hlm. 201.
[5] Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, no. 883, 3/17.
Penulis: Mahasantri M2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.