Shalat Tarawih adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam selama bulan Ramadhan. Ibadah ini dikerjakan setelah shalat Isya dan sebelum shalat Witir, baik secara berjamaah di masjid maupun secara sendiri di rumah. Keutamaan shalat Tarawih yang sangat besar senada sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw.:
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat malam di bulan Ramadhan) dengan penuh keimanan dan pengharapan akan ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Namun, perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih sering kali menjadi perdebatan di tengah umat Islam. Sebagian mengikuti praktik 20 rakaat, sebagian lain memilih 8 rakaat, sementara ada pula yang mengikuti tradisi 36 rakaat. Untuk memahami perbedaan ini, penting untuk melihat sejarah, dalil, serta pendapat para ulama dari berbagai mazhab.
Sejarah Singkatnya
Pada masa Rasulullah Saw., shalat Tarawih tidak memiliki jumlah rakaat yang baku. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah melaksanakan shalat malam (qiyamullail) di bulan Ramadhan secara berjamaah bersama para sahabat selama beberapa malam. Namun, beliau kemudian menghentikan praktik tersebut karena khawatir shalat ini akan dianggap wajib oleh umatnya.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab r.a., shalat Tarawih mulai dilaksanakan secara berjamaah di masjid dengan jumlah 20 rakaat. Umar mengumpulkan umat Islam dan menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam untuk memimpin shalat ini. Sejak saat itu, shalat Tarawih dengan 20 rakaat menjadi praktik yang umum diikuti oleh mayoritas umat Islam. Seperti yang tercantum dalam hadis di kitab Shahih Bukhari,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ ، يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qari, ia berkata: “Aku keluar bersama Umar bin Khattab ra. pada suatu malam di bulan Ramadan menuju masjid. Saat itu, orang-orang berkelompok-kelompok dalam keadaan terpisah; ada yang shalat sendiri, dan ada pula yang shalat lalu sekelompok orang mengikuti shalatnya. Maka Umar berkata, ‘Menurutku, jika aku mengumpulkan mereka di bawah satu imam, itu akan lebih baik.’ Kemudian, ia bertekad dan mengumpulkan mereka untuk shalat di bawah bacaan Ubay bin Ka’b. Lalu, pada malam lain, aku keluar bersamanya dan orang-orang sedang shalat mengikuti imam mereka. Umar pun berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini! Namun, shalat yang mereka tinggalkan untuk tidur lebih utama daripada yang mereka kerjakan.’ Maksudnya adalah shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang saat itu shalat di awal malam.”[2]
Pandangan Mazhab tentang Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Perbedaan jumlah rakaat shalat Tarawih bukanlah sesuatu yang baru. Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pendapat yang berbeda berdasarkan dalil yang mereka gunakan:
Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalat Tarawih terdiri dari 20 rakaat. Pandangan ini berdasarkan praktik yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dan sahabat lainnya. Menurut Imam As-Sarakhsi dari madzhab Hanafi:
فَإِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ عِنْدِنَا
“Maka sesungguhnya shalat tarawih itu 20 rakaat, selain shalat witir, menurut pendapat kami.”[3]
Praktik dalam kisah Umar sendiri ada dalam hadis Nabi Saw,
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ : كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً – قَالَ – وَكَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينَ ، وَكَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ
Dari Saib bin Yazid, ia berkata: “Dahulu, pada masa Umar bin Khattab ra., mereka menunaikan shalat malam di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat.” Ia juga berkata: “Mereka membaca ayat-ayat panjang hingga mencapai ratusan ayat, dan pada masa Utsman bin Affan ra., mereka bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri dalam shalat.”[4]
Jumlah ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sahabat sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Mazhab Maliki: Dalam Mazhab Maliki, jumlah rakaat shalat Tarawih yang dianjurkan adalah 36 rakaat, bukan 20 rakaat. Imam Malik dalam kitab Al-Mudawwanah menyebutkan bahwa penduduk Madinah menambah jumlah rakaat menjadi 36 sebagai bentuk perbanyakan ibadah di bulan Ramadhan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk semangat ibadah mereka dibandingkan penduduk Makkah yang tetap melaksanakan 20 rakaat.
وَكَانَ السَّلَفُ الصَّالِح يَقُوْمُونَ فِى الْمَسَاجِدِ بِعِشْرِيْنَ رَكْهَةً….ثُمَّ صَلُّوْا بَعْدَ ذلِكَ سِتًّا وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً….وَهذَا اخْتَارُهُ مَالِك
“Para salafus shalih dahulu melaksanakan shalat malam di masjid sebanyak dua puluh rakaat… kemudian setelah itu mereka menunaikan shalat sebanyak tiga puluh enam rakaat.. Imam Malik pun memilih pendapat ini.”[5]
Mazhab Syafi’i: Kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa shalat Tarawih berjumlah 20 rakaat. Pandangan ini mengikuti praktik yang dilakukan oleh mayoritas sahabat di zaman Khalifah Umar bin Khattab kala itu. Imam An-Nawawi juga menegaskan bahwa jumlah ini sudah menjadi standar di kalangan ulama Syafi’iyyah. Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i menerangkan dalam kitabnya:
مَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ غَيْرِ الْوِتْرِ
“Menurut mazhab kami jumlahnya 20 rakaat dengan 10 kali salam, selain shalat witir.”[6]
Mazhab Hanbali: Dalam Mazhab Hanbali, jumlah rakaat shalat Tarawih juga mencapai 20 rakaat. Imam Ibnu Qudaman dalam kitab Al-Mughni menyebutkan bahwa shalat Tarawih adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan kemudian dihidupkan kembali oleh Umar bin Khattab.
وَقِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ عِشْرُونَ رَكْعَةً يَعْنِي صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ وَهِيَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَأَوَّلُ مَنْ سَنَّهَا رَسُولُ اللهِ
“Dan qiyam bulan Ramadhan itu 20 rakaat, yaitu shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah, dan orang yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah Saw.”[7]
Selain pandangan mazhab di atas, ada pula kelompok yang melaksanakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat. Pendapat ini merujuk pada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah melaksanakan shalat malam lebih dari 11 rakaat, termasuk Witir. Ini tercantum dalam hadis yang shahih dari Aisyah ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman:
كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Bagaimanakah salatnya Rasulullah ﷺ di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab, “Salat Rasulullah Saw. tidak pernah lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau di selain bulan Ramadan.”
Sebagai tambahan, penulis menambahkan perspektif Tarawih dalam kitab Mausuah Fiqhiyyah:
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ مِنْ قِيَامِ النَّاسِ فِي زَمَانِ عُمَرَ رضي الله تعالى عنه بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ عَلَى هَذَا الْعَدَدِ مِنْ الرَّكَعَاتِ جَمْعًا مُسْتَمِرًّا قَالَ الْكَاسَانِيُّ: جَمَعَ عُمَرُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله تعالى عنه فَصَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَيَكُونُ إجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ. وَقَالَ الدُّسُوقِيُّ وَغَيْرُهُ: كَانَ عَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ. وَقَالَ ابْنُ عَابِدِينَ: عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ شَرْقًا وَغَرْبًا. وَقَالَ عَلِيٌّ السَّنْهُورِيُّ: هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَاسْتَمَرَّ إلَى زَمَانِنَا فِي سَائِرِ الْأَمْصَارِ وَقَالَ الْحَنَابِلَةُ: وَهَذَا فِي مَظِنَّةِ الشُّهْرَةِ بِحَضْرَةِ الصَّحَابَةِ فَكَانَ إجْمَاعًا وَالنُّصُوصُ فِي ذَلِكَ كَثِيرَةٌ
“Menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah), shalat tarawih adalah 20 rakaat berdasar hadist yang telah diriwayatkan Malik bin Yazid bin Ruman dan Imam al-Baihaqi dari Sa’ib bin Yazid tentang shalatnya umat Islam di masa Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh, yakni 20 rakaat. Umar mengumpulkan orang-orang untuk melakukan tarawih 20 rakaat secara berjamaah dan masih berlangsung hingga sekarang. Imam al-Kasani berkata, ‘Umar telah mengumpulkan para sahabat Rasulullah, lantas Ubay bin Ka’ab mengimami mereka shalat 20 rakaat, dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya, maka hal itu sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) mereka.’ Imam Ad-Dasukyi dan lainnya berkata, ‘Itulah yang dilakukan para sahabat dan tabi’in.’ Imam Ibnu ‘Abidin berkata, ‘Itulah yang dilakukan orang-orang mulai dari bumi timur sampai bumi barat.’ ‘Ali As-Sanhuri berkata, ‘Itulah yang dilakukan orang-orang sejak dulu sampai masaku dan masa yang akan datang selamanya.’ Para ulama mazhab Hanbali mengatakan, ‘Hal sudah menjadi keyakinan yang masyhur di masa para sahabat, maka ini merupakan ijma’ dan banyak dalil-dalil nash yang menjelaskannya.’”[8]
Sebelum menutupnya dengan kesimpulan, penulis ingin memberikan beberapa perbedaan praktik Tarawih di beberapa negara yang diambil dari berbagai kanal website melalui pencarian di Google.
- Di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, mayoritas umat Islam melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat, sesuai dengan mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk.
- Di Afrika Utara (Maroko, Tunisia, Aljazair), sebagian besar umat Islam mengikuti Mazhab Maliki yang menganjurkan 36 rakaat.
- Di India, Pakistan, dan Bangladesh, shalat Tarawih umumnya dikerjakan sebanyak 20 rakaat, mengikuti Mazhab Hanafi.
Pada kesimpulannya, perbedaan jumlah rakaat dalam shalat Tarawih bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan secara berlebihan, karena masing-masing pendapat memiliki dasar dalil yang kuat. Yang terpenting adalah bagaimana umat Islam dapat menjalankan ibadah ini dengan khusyuk dan sepenuhnya berniat untuk mencari ridho ilahi, yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. dan tradisi para sahabat. Baik 8, 20, atau 36 rakaat, yang lebih utama adalah menjaga kualitas ibadah, bukan hanya kuantitasnya.
Sekian, maturnuwun…
[1] Imam Bukhari, Shahih bukhari, no. 37 dan Imam Muslim, Shahih Muslim, no. 1266. [Software Khadim Haramain].
[2] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, [Darul Taufik al-Najah, Beirut], no. 2010.
[3] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, 2/144.
[4] Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali Al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubro Lil Baihaqi, no. 4691, [Software Khadim Haramain].
[5] Imam Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi, Al-Mudawwanah, 2/231.
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’, 3/527.
[7] Imam Ibnu Qudaman, Al-Mughni, 1/456.
[8] Wahbah Zuhaili, Mausuah Fiqhiyyah, 27/142.
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.