حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf, dikabarkan oleh Malik, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Imam Bukhari: 1957)1
Pertanyaan yang layak kita layangkan setelah ini adalah “Apa sebenarnya maksud dari hadis ini?”. Maka mari kita lihat sebentar bagaimana hadis ini dijelaskan dalam syarah (penjelasan) para ulama. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathu al-Bari ketika menjelaskan hadis ini, mengutip perkataan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm nya mengatakan bahwa menyegerakan berbuka puasa adalah perkara yang sunnah, yang berarti Nabi saw. dahulu melakukan hal serupa. Sedangkan untuk mengakhirkannya sendiri bukan perkara yang dilarang kecuali untuk mereka yang menyengaja itu, begini lengkapnya:
قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ مُسْتَحَبٌّ وَلَا يُكْرَهُ تَأْخِيرُهُ إِلَّا لِمَنْ تَعَمَّدَهُ وَرَأَى الْفَضْلَ فِيهِ وَمُقْتَضَاهُ أَنَّ التَّأْخِيرَ لَا يُكْرَهُ مُطْلَقًا وَهُوَ كَذَلِكَ إِذْ لَا يَلْزَمُ مِنْ كَوْنِ الشَّيْءِ مُسْتَحَبًّا أَنْ يَكُونَ نَقِيضُهُ مَكْرُوهًا مُطْلَقًا
“Imam Asy-Syafi‘i berkata dalam kitab Al-Umm: ‘Menyegerakan berbuka itu sunnah, dan tidak makruh mengakhirkannya kecuali bagi seseorang yang sengaja melakukannya dan menganggapnya lebih utama.’ Konsekuensinya, pengakhiran berbuka tidaklah makruh secara mutlak, karena tidak setiap sesuatu yang dianjurkan berarti lawannya pasti makruh secara mutlak.”2
Dalam hal menyegerakan berbuka ini, beberapa hadis dan ulama sangat menaruh perhatian kepada umat Islam untuk tidak mengakhirkan berbuka sampai bintang-bintang terlihat, yang berarti menunjukan waktu Maghrib sudah mendekati akhir bahkan akhir. Ini pun dijelaskan oleh Ibnu Hajar melalui hadis lain yakni dari Sahl yang kemudian hadisnya diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim, begini teksnya:
وَقد روى بن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ مِنْ حَدِيثِ سَهْلٍ أَيْضًا بِلَفْظِ (لَا تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ وَفِيهِ بَيَانُ الْعِلَّةِ فِي ذَلِكَ
“Ibnu Hibban dan Al-Hakim juga meriwayatkan dari hadis Sahl dengan lafaz: (لا تَزال أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي ما لَم تَنتَظِر بِفِطرِها النُّجُومَ ) ‘Umatku akan tetap berada di atas sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang untuk berbuka.’ Dalam hadis ini terdapat penjelasan mengenai sebab hukum tersebut.”3
Mengenai hal ini, ulama tidak serta merta -tanpa alasan yang jelas- ketika tidak memperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat untuk mengakhirkan berbuka. Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah menambahkan di hadis yang ia riwayatkan dengan keterangan “Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka”. Seperti yang kita ketahui puasa bukanlah ibadah yang hanya ada pada umat Muslim, di agama -terutama agama samawi- lainnya, berpuasa menjadi suatu ibadah dalam syariat mereka, untuk lebih jauhnya, pembaca bisa baca salah satu artikel di Nuskha yang sudah membahas itu.4
زَادَ أَبُو هُرَيْرَةَ فِي حَدِيثِهِ (لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وبن خُزَيْمَةَ وَغَيْرُهُمَا وَتَأْخِيرُ أَهْلِ الْكِتَابِ لَهُ أَمَدٌ وَهُوَ ظُهُور النَّجْم
“Abu Hurairah menambahkan dalam hadisnya: (لأَنَّ اليَهُود والنَّصارَى يُؤَخِّرُونَ) ‘Karena orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka.’ Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan lainnya. Pengakhiran berbuka oleh Ahli Kitab memiliki batas waktu, yaitu saat munculnya bintang.”5
Alasan banyak ulama memakruhkan bahkan melarang umat Muslim mengakhirkan berbuka puasanya adalah agar terhindar dari penyerupaan praktik yang dilakukan umat Yahudi dan Nasrani yang justru waktu berbuka mereka ditandai dengan munculnya bintang, dan itu adalah bentuk mengakhirkan waktu Maghrib dalam agama Islam.
Pertanyaan selanjutnya, “Dahulukan berbuka atau salat Maghrib?’’. Secara eksplisit penulis tidak bisa menjawab ini, sebab penulis pribadi melakukan salah satunya, terkadang berbuka dahulu, terkadang salat dulu. Namun, jika membaca salah satu hadis lain, berbuka dahululah yang lebih utama, ini senada dengan hadis dalam kitab Sunan Abi Dawud:
.أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Anas bin Malik berkata:”Rasulullah saw. biasa berbuka dengan beberapa butir ruthab (kurma basah) sebelum melaksanakan salat. Jika tidak ada ruthab, maka dengan beberapa butir tamr (kurma kering). Jika tidak ada (kurma), maka beliau meminum beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud: 2356).6
Garis bawahi bahwa Nabi saw. berbuka dengan beberapa kurma sebelum melaksanakan salat. Maka, cukuplah dengan jawaban ini bagi kita untuk mendahulukan berbuka terlebih dahulu sebelum melakukan salat, dan selagi bukan dalam keadaan darurat, mengakhirkan berbuka penting untuk kita hindari. Untuk hadis ini sendiri, konteks berbuka di sana adalah berbuka puasa Ramadhan, salatnya adalah salat Maghrib, dan beberapa teguk air berarti 3 tegukan air; keterangan ini ada dalam kitab Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud.7
Kembali ke konteks menyegerakan berbuka di atas, sampai sini, menyegerakan berbuka bukan hanya sebuah anjuran semata, ia perkara sunnah yang Nabi saw. sendiri melakukan hal serupa. Terlepas dari itu, menyegerakan berbuka sebelum bintang bermunculan yang menjadi pertanda berbukanya umat agama lain (Yahudi dan Nasrani) ini memiliki hikmah yang dikatakan oleh Al-Muhallab yang kemudian dikutip oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya.
.قالَ المُهَلَّبُ: والحِكمَةُ فِي ذَلِكَ أَن لا يُزادَ فِي النَّهار مِنَ اللَّيل، ولأَنَّهُ أَرفَقُ بِالصّائِمِ وأَقوى لَهُ عَلَى العِبادَة، واتَّفَقَ العُلَماءُ عَلَى أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ إِذا تَحَقَّقَ غُرُوبُ الشَّمس بِالرُّؤيَةِ أَو بِإِخبارِ عَدلَينِ
“Al-Muhallab berkata: ‘Hikmahnya adalah agar siang tidak ditambah dari malam, dan karena hal ini lebih memudahkan bagi orang yang berpuasa serta memperkuatnya dalam ibadah.’ Para ulama sepakat bahwa berbuka harus dilakukan setelah dipastikan matahari benar-benar terbenam, baik dengan penglihatan langsung maupun berita dari dua orang yang adil.”8
Maka, selain sebagai sunnah dan pembeda dari umat lain, menyegerakan berpuasa ini juga menjadi sebuah kemudahan yang setelah mulai terbitnya fajar kita berpuasa, lantas setelah matahari terbenam kita diperintah untuk segera berbuka, lebih baik dan afdhol lagi jika kita berbuka sesuai dengan hadis Nabi saw. yang berbuka dengan beberapa butir kurma atau air putih. Namun, jika memang tidak ada kurma, cukup dengan yang makanan yang manis-manis, ini senada dengan apa yang dikatakan Muhammad Ali As-Syaukani.
.وإذا كانت العلة كونه حلوا والحلو له ذلك التأثير فليحق به الحلويات كلها، أما ما كان أشد منه في الحلاوة فبفحوى الخطاب وما كان مساويا له فبلحنه
“Jika illat (sebab hukum) disunnahkan berbuka dengan kurma itu adalah karena sesuatu itu manis, dan rasa manis memiliki pengaruh demikian, maka hendaknya seluruh makanan manis disamakan dengannya. Adapun sesuatu yang lebih manis darinya, maka ditetapkan hukumnya oleh ulama dengan fahwa al-khitāb9 (makna yang lebih kuat dari teks). Sedangkan sesuatu yang setara dengannya dalam tingkat kemanisan, maka ditetapkan hukumnya dengan lahn al-khitāb10 (makna tersirat dari teks).”11
Pada kesimpulannya, menyegerakan berbuka puasa adalah sunnah yang dianjurkan berdasarkan beberapa hadis Nabi Muhammad saw. yang sudah penulis cantumkan, dan hal ini menjadi bagian dari ajaran Islam yang membedakan umat Muslim dari Yahudi dan Nasrani. Para ulama menegaskan bahwa berbuka harus dilakukan segera setelah terbenamnya matahari, tanpa menunggu bintang-bintang muncul layaknya umat lain. Terlepas dari itu, selain sebagai bentuk meneladani sunnah Nabi saw., tentu kebiasaan ini juga memberikan kemudahan bagi orang yang berpuasa dan memperkuat mereka dalam beribadah. Terakhir, berbuka dianjurkan dengan kurma atau air, namun jika tidak tersedia, makanan manis lain dapat menjadi penggantinya sesuai dengan prinsip qiyas dalam hukum Islam.
Sekian, maturnuwun…
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Mawil Musaddadah
- Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz 3/36, no. 1957. [Makhtabah Syamilah]. ↩︎
- Ibnu Hajar Al-Ashqalani, Fathu al-Bari, juz 4/199. [Makhtabah Syamilah]. ↩︎
- Ibid. ↩︎
- https://perpus.tebuireng.ac.id/2025/03/13/hadis-dan-perjalanan-puasa-menelusuri-jejaknya-dari-umat-umat-terdahulu/ ↩︎
- Ibnu Hajar Al-Ashqalani, Fathu al-Bari, juz 4/199. [Makhtabah Syamilah] ↩︎
- Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abu Dawud, juz 2/278, no. 2356. [Khadim Haramain]. ↩︎
- Syeikh Syariful Haqq, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Syarah ini tercantum dalam pencarian di Khadim Haramain. ↩︎
- Ibnu Hajar Al-Ashqalani, Fathu al-Bari, juz 4/199. [Makhtabah Syamilah]. ↩︎
- فحوى الخطاب : Penalaran yang menunjukkan bahwa jika sesuatu yang lebih ringan saja terkena hukum, maka sesuatu yang lebih berat pasti lebih berhak terkena hukum tersebut. Misal: Jika memukul orang tua dilarang, maka mencaci mereka lebih dilarang lagi. ↩︎
- لحن الخطاب : Pemahaman tersirat dari lafaz, yaitu sesuatu yang memiliki makna yang sama tetapi tidak disebutkan secara eksplisit. Misal: Jika dilarang mengatakan “ah” kepada orang tua, maka mencela mereka tentu juga dilarang, meskipun tidak disebutkan secara langsung. ↩︎
- Muhammad Ali As-Syaukani, Nailul Authar fi Syarhi Muntaqal Akhbar, juz 4/302, [Darul Fikr, Beirut]. ↩︎