Masa di mana diwajibkannya puasa sebagaimana disyariatkan dalam Islam muncul saat Nabi Saw. di Madinah setelah Hijrah. Masa ini adalah masa setelah fase Makkah yang merupakan fase pembentukan akidah, pengukuhan pokok ketauhidan, dan nilai-nilai keimanan.1 Adapun setelah Hijrah, kondisi umat Islam menjadi umat yang khas dan istimewa, itu tampil dengan seruan Tuhan kepada umat Islam dengan seruan “Yaa ayyuha al-ladzina amanu”. Dari situ mulailah diwajibkan serangkaian syariat, ditetapkan berbagai batasan, serta ditentukannya senarai hukum-hukum, diantaranya adalah puasa.2
Penetapan puasa atau diwajibkannya kepada Nabi Saw. disebutkan dalam kitab Fiqh al-Shiyam Yusuf al-Qardhawi (selanjutnya: Syekh Qardhawi) bahwa pada tahun kedua dari Hijrah atau setelah tahun ke-15 dari kenabian; barulah puasa diwajibkan bagi kita umat Muslim. Itu juga bertepatan setelah 5 tahun pasca turunnya perintah salat 5 waktu pada malam Isra Mi’raj.
Setelah penetapan puasa turun, ia tidak begitu saja menjadi perintah finish, sebab ada tahapan-tahapan syariat yang ditempuh setelah itu. Beberapa tahapan tersebut dituliskan oleh Syekh Qardhawi dalam kitab fiqh al-Shiyam nya, penulis akan meringkas dan menuliskannya dalam artikel ini:
Syekh Qardhawi menuliskan ada dua tahapan disyariatkannya puasa:
Pertama, tahapan pertama mungkin bisa disebut dengan tahapan opsi, sebab yang terkena kewajiban berpuasa diberikan dua pilihan, yang pertama adalah pilihan untuk melaksanakan puasa -ini yang paling utama-, atau berbuka, tetapi membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Ini senada dengan firman Allah Swt.,
يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ ؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 183-184).
Pada intinya, di tahapan pertama ini, siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah, dan siapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa), maka bayarlah fidyah.
Kedua, tahapan kedua ini adalah sebuah Ilzam wa al-tahtim yakni penetapan dan penegasan. Maksudnya, diwajibkan berpuasa dan menghapuskan pilihan yang merupakan keringanan dalam ayat sebelumnya. Ini senada dengan firman Allah Swt.,
شَهۡرُ رَمَضَانَ الَّذِىۡٓ اُنۡزِلَ فِيۡهِ الۡقُرۡاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الۡهُدٰى وَالۡفُرۡقَانِۚ فَمَنۡ شَهِدَ مِنۡكُمُ الشَّهۡرَ فَلۡيَـصُمۡهُ ؕ وَمَنۡ کَانَ مَرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu mendapati bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Dengan turunnya ayat ini, maka membayar fidyah dalam tahapan pertama terhapus dengan ketentuan rukhsah bagi orang yang sakit dan melakukan perjalanan.
Dalam hal ini, Syekh Qardhawi mengatakan,
وهذا هو المنهج الحكيم الذي اتخذه الإسلام في تشريعاته، سواء في فرض الفرائض أم في تحريم المحرمات، وهو منهج التدرج في التشريع، الذي يقوم على التيسير لا التعسير
“Inilah metode bijaksana yang diambil Islam dalam menerapkan syariat-syariatnya, baik dalam penetapan kewajiban maupun larangan. Yaitu metode yang bertahap dalam syariat yang psinsipnya untuk memudahkan, bukan menyulitkan.”3
Belum selesai sampai sini, pada tahapan penetapan ini juga terbagi atas dua tingkatan, pertama, penegasan. Kedua, keringanan dan kemudahan.
Diceritakan oleh Syekh Qardhawi, dahulu, orang-orang bisa makan, minum, dan bersetubuh dengan istrinya selama belum tidur dan memasuki waktu salat Isya. Apabila telah tidur dan salat Isya, mereka tidak menikmati itu semua sampai malam berikutnya. Hal ini pernah terjadi pada seorang lelaki Anshar yang bekerja sepanjang harinya. Ketika tiba waktu berbuka, istrinya menemuinya untuk mengantarkan makanan berbuka. Namun ketika ia sampai suaminya tengah tidur karena kelelahann tanpa menyantap makanan. Keesokan harinya, sang suami pingsan karena kelaparan.
Setelah melakukan penelusuran terkait kisah ini, penulis menemukan hadis yang serupa dengan kisah ini, yang berkenaan dengan masalah Abu Qais bin Amru dan turunnya ayat 187 dari surah Al-Baqarah. Lengkapnya seperti ini,
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ أَحَدَهُمْ كَانَ إِذَا نَامَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَشَّى لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ شَيْئًا وَلَا يَشْرَبَ لَيْلَتَهُ وَيَوْمَهُ مِنْ الْغَدِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا} إِلَى {الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } قَالَ وَنَزَلَتْ فِي أَبِي قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو أَتَى أَهْلَهُ وَهُوَ صَائِمٌ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ هَلْ مِنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ امْرَأَتُهُ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ وَلَكِنْ أَخْرُجُ أَلْتَمِسُ لَكَ عَشَاءً فَخَرَجَتْ وَوَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ فَرَجَعَتْ إِلَيْهِ فَوَجَدَتْهُ نَائِمًا وَأَيْقَظَتْهُ فَلَمْ يَطْعَمْ شَيْئًا وَبَاتَ وَأَصْبَحَ صَائِمًا حَتَّى انْتَصَفَ النَّهَارُ فَغُشِيَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ هَذِهِ الْآيَةُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ
Dari Al Barra’ bin ‘Azib bahwa salah seorang dari mereka jika tidur sebelum makan malam, maka tidak boleh baginya makan apapun, dan tidak boleh minum pada malam itu serta pada hari itu, mulai pagi sampai matahari terbenam. Hingga turun ayat ini, “Dan makan serta minumlah.” Sampai firman Allah “Benang hitam.” Dia mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan masalah Abu Qais bin Amru, saat ia menemui istrinya setelah Magrib, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, lalu ia bertanya, “Apakah ada sesuatu?” Istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa, tetapi aku keluar mencari makan malam untukmu”, lalu ia keluar, sementara Abu Qais merebahkan kepalanya lalu tidur. Kemudian istrinya pulang dan mendapatinya sedang tidur, lalu ia membangunkannya, namun ia tidak makan sedikitpun, ia melalui waktu malam dan pagi dalam keadaan berpuasa, hingga pertengahan siang, lalu ia pingsan. Kejadian tersebut sebelum ayat ini turun, lalu Allah menurunkan ayat tersebut tentang dirinya.”4
Kemudian dalam kitabnya, Syekh Qardhawi melanjutkan bahwa sebagian sahabat -diantanya Umar dan Ka’ab bin Malik- melakukan jima’ dengan istrinya setelah mereka terlebih dahulu tidur atau istrinya tidur. Mereka merasa berat dengan ketetapan ini lalu mengadu kepada Nabi Saw. tentang hal ini. Setelah itu turunlah ayat Al-Qur’an yang merupakan tahapan ketiga untuk menguatkan perintah puasa.
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Terakhir dalam bab tentang tahapan disyariatkannya puasa, Syekh Qardhawi berkata,
ففرح بها المسلمون فرحاً شديداً، فقد أباح لهم الرفث – أي الجماع – والطعام والشراب في جميع الليل، الى تبين الفجر، رحمةً ورخصةً ورفقاً وعفا عما وقع منهم من تجاوزات
“Maka bergembiralah kaum Muslim ketika itu, karena diperbolehkan berhubungan -jima’- makan dan minum sepanjang malam bulan Ramadhan sampai terbitnya fajar. Ini merupakan suatu bentuk kasih sayang dan keringanan sekaligus pemaafan terhadap sikap melampaui batas yang selama ini mereka lakukan.
Pada kesimpulannya, tahapan pensyariatan puasa dalam Islam berlangsung secara bertahap dengan prinsip kemudahan dan kebijaksanaan. Bagi Syekh Qardhawi dalam kitab Fiqh al-Shiyam, puasa diwajibkan pada tahun kedua Hijriah dalam dua tahap utama. Tahap pertama memberi pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah, sementara tahap kedua mewajibkan puasa bagi semua kecuali yang memiliki udzur syar’i, yang kemudian dibolehkan mengambil rukhsah. Selain itu, aturan puasa juga mengalami penyempurnaan, seperti diperbolehkannya makan, minum, dan berhubungan suami istri hingga fajar. Kiranya, pendekatan bertahap ini menunjukkan rahmat Islam dalam menetapkan syariat yang tidak membebani umatnya.
Sebelum menutup, semua yang penulis tuliskan di atas adalah hasil representatif dari pembacaan dan telaah kitab Fiqh al-Shiyam karya Syekh Qardhawi. Untuk lebih lengkapnya, penting bagi pembaca untuk membacanya juga, karena sangat besar ada kemungkinan penulis salah ketika melakukan reasoning atas data yang dibaca.
Sekian, maturnuwun…
- Yusuf al-Qardhawi, Taisir al-Fiqh Fiqh al-Shiyam. Hal. 21. ↩︎
- Ibid. Hal. 22 ↩︎
- Ibid. Hal. 23 ↩︎
- Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasany, Sunan An-Nasai, no. 2132 [Khadim Haramain] ↩︎
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah