Istilah lailatul qadar terdiri atas dua kata, yaitu lail yang berarti malam, dan qadr yang berarti ukuran penentuan,1 keagungan, dan kemulian.2 Jadi, lailatul qadar adalah malam penentuan dan malam keagungan. Mengapa diartikan demikian? Karena sebagian arti qadr itu adalah kemulian, dan mulai saat itu juga Malaikat Jibril menampakan diri di hadapan Nabi saw. di gua Hira, serta pada malam itu pula manusia mendapatkan kemulian.3 Lebih lanjut, lailatul qadr juga dapat diartikan sebagai malam penentuan karena pada malam itu pula ditentukannya khittah (langkah) yang akan ditempuh oleh Nabi saw. dalam rangka memberikan petunjuk bagi manusia, dan pada malam itu juga mulai ditentukan garis pemisah antara iman-kafir, tauhid-syirik, serta Islam-jahiliyah.4
Dengan kedua arti di atas, tampaklah bahwa malam itu adalah malam istimewa dari segala malam, di mana cahaya wahyu datang kembali ke dunia setelah terputus beberapa masa dan habisnya tugas nabi yang terdahulu.
Para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai sebab penamaan lailatul qadar ini, diantaranya:
Syekh Mushthafa Al-Hadidi menyatakan bahwa dinamai lailatul qadr karena kemuliaan sebagai titik tolak turunnya wahyu Ilahi di dalamnya.5
Al-Qurthubi mengartikan lailatul qadr sebagai lailatul hukmi yang bermakna “malam takdir atau penetapan.” Dinamakan demikian karena sesungguhnya pada waktu itu Allah Swt. telah menetapkan apa yang dikehendaki-Nya untuk diterapkan pada tahun berikutnya, yaitu menyangkut ajal, rizki, dan sebagainya, dengan menyerahkan kepada penanggungjawab urusan, yaitu empat malaikat: Jibril, Mikail, Izrail, dan Izrail.6
Al-Baghdadi mengemukan makna al-qadr sebagai pemberitahuan oleh Allah Swt. kepada para malaikat tentang ketentuannya dan memerintahkan mereka melaksanakan tanggungjawabnya pada tahun itu. Jadi, tidak dimaksudkan bahwa Allah Swt. membuat ketetapan (hukum) pada waktu itu, karena Allah Swt. telah menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut sejak zaman ‘azali, sebelum menciptakan langit dan bumi.7
Mengenai jatuhnya lailatul qadar ini ada beberapa hadis yang bisa kita baca, diantaranya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ : حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ : حَدَّثَنَا أَبُو سُهَيْلٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ ، مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‘id, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Isma‘il bin Ja‘far, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Suhail, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda”Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (HR. Bukhari: 2017).8
Ada pula hadis yang mengatakan bahwa lailatul qadar turun pada tujuh hari terakhir, hadis ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ : حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ ، عَنْ حَدِيثِ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Az-Zuhri, dari hadis Salim bin ‘Abdillah, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata Rasulullah saw. bersabda “Carilah Lailatul Qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadan.” (HR. Ahmad: 5033).9
Dari dua hadis di atas (sebetulnya masih banyak sekali hadis yang membahas ini, dengan perawi yang berbeda dan kalimat yang beda, atau kalimat yang berbeda dengan makna yang sama. Hemat penulis mencantumkan dua saja) kita sepakat bahwa tidak ada penetapan pasti mengenai kapan jatuhnya lailatul qadar, yang pasti ia jatuh setiap tahun di bulan Ramadhan. Lalu bagaimana kita meraba jatuhnya lailatul qadar ini?. Di dalam hadis Nabi saw. yang lain, terdapat petunjuk bagi kita untuk -sekiranya- bisa meraba kapan kita harus menandai datangnya malam yang mulia ini. Salah satu tandanya adalah pada hari itu matahari terbit dengan cahaya yang tidak menyengat, hal ini senada dengan hadis Abu Munzir ditanya tentang tanda lailatul qadar, lalu Abu Munzir menjawab:
بِالْعَلَامَةِ أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لَا شُعَاعَ لَهَا
“Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat.” (HR. Muslim: 762).10
Di dalam tafsir al-Khazin, sebagaimana dikutip Al-Baghdadi, tanda-tanda tersebut lebih diperjelas melalui riwayat Hasan, bahwa lailatul-qadr itu merupakan suatu malam yang terang lagi menyejukkan, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit pada pagi harinya kurang bersinar (tidak terik).11 Terdapat juga pendapat mengenai tanda-tanda yang dijelaskan dalam syarah hadis riwayat Imam Bukhari di atas tadi yang dicantumkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya,
Dalam berbagai riwayat disebutkan tanda-tanda lailatul qadar, salah satunya dari Ubay bin Ka‘ab dalam Shahih Muslim, yang menyebutkan bahwa matahari pada pagi harinya terbit tanpa sinar yang menyilaukan (أَنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ فِي صَبِيحَتِهَا لَا شُعَاعَ لَهَا). Riwayat Imam Ahmad juga menggambarkan bahwa matahari pada pagi harinya tampak seperti bejana, tidak terlalu menyilaukan (مِثْلَ الطَّسْتِ). Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Mas‘ud disebutkan bahwa malamnya terasa cerah (صَافِيَةً). Sementara itu, Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Ibnu Khuzaimah menjelaskan bahwa lailatul qadar adalah malam yang tenang, tidak panas dan tidak dingin, serta matahari di pagi harinya tampak kemerahan dan redup (لَيْلَةُ الْقَدْرِ طَلْقَةٌ لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ يَوْمَهَا حَمْرَاءَ ضَعِيفَةً).
Dalam riwayat Imam Ahmad, ‘Ubadah bin Ash-Shamit menggambarkan bahwa malam tersebut cerah dan terang, seolah terdapat bulan bersinar di dalamnya. Suasananya tenang, tidak panas dan tidak dingin, serta tidak ada bintang yang dilemparkan (meteor atau bintang jatuh) {إِنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا، سَاكِنَةٌ صَاحِيَةٌ لَا حَرَّ فِيهَا وَلَا بَرْدَ، وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ يُرْمَى بِهِ فِيهَا}. Dari Ibnu Mas‘ud, dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, disebutkan bahwa matahari setiap hari terbit di antara dua tanduk setan, kecuali pada pagi setelah lailatul qadar (أَنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ كُلَّ يَوْمٍ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، إِلَّا صَبِيحَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ).12
Sekiranya itulah beberapa tanda yang terdapat dalam teks hadis dan syarah pada kitab Fathu al-Bari mengenai tanda-tanda kapan jatuhnya lailatul qadar di bulan Ramadhan.
Terlepas dari tidak adanya penetapan yang pasti dari turunnya lailatul qadar, tetapi -kiranya- ini mempunyai hikmah yang penting bagi umat Islam agar kita tidak hanya memfokuskan diri beribadah di satu malam saja, tetapi juga pada malam-malam lainnya, khususnya di malam-malam terakhir bulan Ramadhan. Hemat penulis, artikel ini setidaknya bisa memberikan sedikit kejelasan tentang bagaimana sesungguhnya lailatul qadar itu. Sekaligus dalam upaya mengaktualkan kembali nilai sakral lailatul qadar itu sendiri. Dengan demikian, letupan emosi keagamaan dalam bulan Ramadhan, tidak hanya berlangsung di awal bulan Ramadhan saja, melainkan dapat berkesinambungan hingga akhir bulan Ramadhan.
Sekian, maturnuwun…
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah
- Buya Hamka. Tafsir al-Azhar, juz 30/202 [Surabaya: Bina Ilmu]. ↩︎
- Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 30/206 [Mesir: Mushthafa Albabil Halabi wa Auladuh]. ↩︎
- Muslim M.Ag., Memahami Makna Lailatul Qadar secara Rasional: Suatu pendekatan Al-Qur’an dan Hadis. ↩︎
- Ibid. ↩︎
- Mushthafa al-Hadidi, Lailatul Qadar Lebih Baik dari Seribu Bulan. [Jakarta: Bulan Bintang]. ↩︎
- Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 30/150 [Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah lith-Thaba’ wan Nasyr]. ↩︎
- Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin, juz 7/217 [Mesir: Mushthafa Albabil Halabi wa Auladuh]. ↩︎
- Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 2017, juz 3/201 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 5033, juz 2/503 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, no. 762, juz 3/173 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin, juz 7/276 [Mesir: Mushthafa Albabil Halabi wa Auladuh]. ↩︎
- Mulai dari kalimat “Berbagai riwayat” – tanda footnote, diambil dari: Ibnu Hajar al-Ashqalani, Fathu al-Bari, juz 4/305-307. [Khadim Haramain]. ↩︎