Belakangan ini, muncul perbincangan mengenai shalat kafarah yang disebut-sebut sebagai solusi bagi mereka yang pernah meninggalkan shalat fardhu sepanjang hidupnya. Amalan ini diyakini dapat dilakukan pada Jumat terakhir bulan Ramadhan dengan tata cara tertentu yang dianggap mampu menghapus dosa shalat yang pernah terlewatkan. Hadis yang menjadi dasar amalan ini berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ فِي عُمُرِهِ وَلَمْ يُحْصِهَا فَلْيَقُمْ فِي آخِرِ جُمُعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَيُصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَشَهُّدٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةَ الْقَدْرِ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً وَسُورَةَ الْكَوْثَرِ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً
“Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tidak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud. Dalam setiap rakaat, bacalah surah Al-Fatihah sekali, surah Al-Qadr lima belas kali, dan surah Al-Kautsar lima belas kali.”
Kemudian dalam keterangannya, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa shalat tersebut dapat menghapus dosa shalat selama 400 tahun-dalam riwayat lain 1000 tahun-. Sontak sahabat yang mendengar pernyataan tersebut terheran karena umur manusia dijatah sekitar 60 tahun saja, lalu bagaimana ia memiliki dosa sebanyak itu. Kemudian nabi menjelaskan bahwa sisa kafarah tersebut akan diperuntukkan untuk orang tuanya, istrinya, anaknya, sanak familinya, serta untuk penduduk negerinya.1
Namun, apakah hadis ini memiliki dasar yang valid dalam syariat Islam?
Dalam ilmu hadis, setiap riwayat harus dikaji melalui sanad dan matannya. Hadis-hadis yang yang tidak memenuhi standar syarat hadis shahih-hasan, tidak memiliki sanad yang jelas, atau bahkan bertentangan dengan prinsip dasar syariat akan berpotensi dikategorikan sebagai hadis dha’if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu).
Imam Muhammad bin Ali Al-Syaukani (1250 H) dalam kitab Al-Fawaid al-Majmu’ah fii al-Ahadits al-Maudhu’ah menyatakan bahwa hadis ini adalah palsu:
هَذَا مَوْضُوعٌ لَا إِشْكَالَ فِيهِ وَلَمْ أَجِدْهُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكُتُبِ الَّتِي جَمَعَ مُصَنِّفُوهَا فِيهَا الْأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَلَكِنَّهُ اشْتَهَرَ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُتَفَقِّهَةِ بِمَدِينَةِ صَنْعَاءَ فِي عَصْرِنَا هَذَا وَصَارَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ وَلَا أَدْرِي مَنْ وَضَعَهُ لَهُمْ
“Tidak diragukan lagi, bahwa hadis ini adalah hadis maudhu’ (palsu). Aku tidak menemukannya dalam kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis palsu, tetapi hadis ini populer di kalangan orang-orang ahli fikih di kota Sana’a pada masa kami. Banyak dari mereka yang melakukannya, tetapi aku tidak tahu siapa yang memalsukannya.”2
Di samping itu, hadis ini juga bertentangan dengan hadis shahih dari Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Barang siapa yang lupa atau tertidur hingga meninggalkan shalat, maka kafarahnya adalah dengan mengerjakannya saat ia mengingatnya. (HR. Muslim: 684)
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. juga menegaskan:
مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَٰلِكَ
Barang siapa meninggalkan shalat karena lupa, maka hendaklah ia shalat saat ia mengingatnya. Tidak ada kafarah lain selain itu. (HR. Muslim: 684)3
Dari hadis di atas, jelas bahwa satu-satunya cara mengganti shalat yang terlewat adalah dengan mengqadhanya, bukan dengan shalat tertentu yang dilakukan di Jumat terakhir Ramadhan.
Para ulama fikih telah mengkaji praktik ini dan mayoritas menolak keabsahannya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj menyatakan bahwa meyakini bahwa shalat ini dapat menggugurkan kewajiban qadha adalah haram, bahkan berpotensi kufur.
وَأَقْبَحُ مِنْ ذَلِكَ مَا اعْتِيدَ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ مِنْ صَلَاةِ الْخَمْسِ فِي هَذِهِ الْجُمُعَةِ عَقِبَ صَلَاتِهَا زَاعِمِينَ أَنَّهَا تُكَفِّرُ صَلَوَاتِ الْعَامِ أَوْ الْعُمُرِ الْمَتْرُوكَةَ وَذَلِكَ حَرَامٌ أَوْ كُفْرٌ لِوُجُوهٍ لَا تَخْفَى
“Yang lebih buruk dari itu adalah kebiasaan di beberapa daerah berupa shalat lima waktu di Jumat terakhir Ramadhan setelah shalat Jumat. Mereka mengira shalat itu dapat menggugurkan dosa shalat yang terlewat selama setahun atau seumur hidup. Yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa alasan yang tidak samar.”4
Dalam kitab I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in, Syekh Abu Bakr bin Syatha juga menyebut amalan ini sebagai bid’ah yang keji dan haram:
وأقبح منها ما اعتيد في بعض البلاد من صلاة الخمس في الجمعة الاخيرة من رمضان عقب صلاتها زاعمين أنها تكفر صلوات العام أو العمر المتروكة، وذلك حرام
Yang sangat keji dari bid’ah-bid’ah itu adalah shalat lima waktu pada Jumat terakhir Ramadhan dengan anggapan bahwa shalat itu dapat menjadi kafarah bagi shalat yang tertinggal setahun atau seumur hidup. Yang demikian itu adalah haram.5
Meskipun mayoritas ulama menolak amalan ini, ada beberapa ulama yang tidak menentangnya, tetapi tidak pula menjadikannya dalil syariat. Salah satunya adalah Al-Qadli Husain, yang menyebut bahwa jika seseorang melakukan shalat dengan niat qadha, maka diharapkan Allah menerimanya sebagai ibadah yang menggugurkan kekurangan dalam shalatnya:
قَالَ القَاضِي: لَوْ قَضَى فَائِتَةً عَلَى الشَّكِّ فَالمَرْجُوُّ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَجْبُرَ بِهَا خَلَلًا فِي الفَرَائِضِ أَوْ يَحْسِبَهَا لَهُ نَفْلًا
“Jika seseorang mengqadha shalat fardhu yang ia tinggalkan dalam keadaan ragu, maka yang diharapkan dari Allah adalah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah.”6
Di Yaman, beberapa ulama sufi seperti Syekh Fakhr al-Wujud Abu Bakr bin Salim dan Habib Ahmad bin Hasan al-Athas juga mengamalkan shalat ini sebagai bagian dari tradisi spiritual. Bahkan, di masjid Zabid, Yaman, shalat kafarah ini dilakukan secara berjamaah.
Berdasarkan kajian hadis dan fikih, dapat disimpulkan bahwa:
- Tidak ada dalil yang sahih yang mendukung shalat kafarah di Jumat terakhir Ramadhan.
- Hadis yang dijadikan dasar adalah hadis maudhu’ (palsu).
- Mayoritas ulama menolak praktik ini karena bertentangan dengan kewajiban qadha shalat.
- Sebagian ulama tarekat tetap melakukannya atas dasar pendekatan spiritual, tetapi bukan sebagai syariat yang wajib diikuti.
Maka, cara yang paling sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. untuk mengganti shalat yang terlewat adalah dengan mengqadhanya satu per satu.
Penulis: Mahasantri Semester 2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah
- Abduh Muhammad Baba, Al-Majmu’ah al-Mubarakah hal 7 – 8 [Maktabah al-Masyhad al-Husaini] ↩︎
- Abdurrahman bin Yahya al-Ma’mali al-Yamani, Al-Fawaid al-Majmuah, no.115, juz 1/54 [cetakan DKI] ↩︎
- Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, no.684, juz 2/142 [Khadim Haramain] ↩︎
- Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 2/457 [Maktabah Syamilah] ↩︎
- Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in, juz1/313 [Maktabah Syamilah] ↩︎
- Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 1/282 [Maktabah Syamilah] ↩︎