Syiah
Golongan Syi’ah ini terdiri dari berbagai kelompok di mana tiap-tiap kelompok menilai kelompok lain sudah keluar Islam. Sementara kelompok Syi’ah yang masih eksis sekarang kebanyakan adalah kelompok Itsna ‘asyariyah. Kelompok ini menerima hadis nabawi sebagai salah satu sumber syariat Islam. Hanya saja ada beberapa perbedaan mendasar antara kelompok Syi’ah ini dengan golongan Ahlu Sunnah, yaitu dalam hal penetapan hadis.
Golongan Syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi saw. mayoritas para sahabat sudah murtad, kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih Islam. Karenanya, golongan Syi’ah ini menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tadi. Syi’ah hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ahlul Bait saja. Ini tidak terlepas karena kejadian perang antara Ali melawan Muawiyyah.[7]
Mu’tazilah
Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Syeikh Muhammad al-Khudhari berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam al-Syafi’i (w 204 H) dengan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Bashrah Iraq adalah Mu’tazilah.[8]
Imam Al-Syafi’i memang menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa orang yang menolak sunnah itu. Sementara sumber-sumber yang menerangkan sikap Mu’tazilah terhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah Mu’tazilah menerima sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima sebagian sunnah saja.[9]
Sementara itu, terdapat ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak sunnah, yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar, yang populer dengan sebutan Al-Nadhdham (w. 221-223 H). Ia mengingkari kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari mu’jizat Nabi saw., dan mengingkari hadis -yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti- untuk dijadikan sebagai sumber syariat Islam.[10]
Apabila pendapat Al-Nadhdham ini dapat diartikan sebagai penolakan hadis, maka tampaknya hal itu hanya pendapat pribadinya saja dan bukan merupakan pendapat resmi mazhab Mu’tazilah. Alasannya, terdapat ulama Mu’tazilah yang lain yang ternyata menerima hadis sebagai sumber syariah Islam, misalnya Abu al-Hasan al-Bashri dalam kitabnya al-Mu’tamad.[11]
Oleh karena itu, Mazhab Mu’tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar sunnah, tetapi sebaliknya, mereka menerima sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam. Hanya saja, mungkin ada beberapa hadis yang mereka kritik apabila hal itu berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan.[12]
Pembela Sunnah
Pada masa klasik Imam Syafi’i telah memainkan perannya dalam menundukkan kelompok para pengingkar sunnah ini. Dalam kitabnya Al-Umm beliau menuturkan banyak perdebatannya dengan para orang yang menolak hadis. Setelah melalui perdebatan yang panjang, ilmiah dan rasional, pengingkar sunnah pada akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Karena itu Imam Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir al-Sunnah (pembela sunnah).[13]
Begitulah
Sampai pada penutup, begitulah sedikitnya jejak pemikiran Ingkar Sunnah pada masa klasik. Ia muncul sejak era sahabat, menguat pada abad kedua Hijriyah, lalu meredup dan nyaris lenyap dari peredaran menjelang akhir abad ketiga. Namun, sejarah seolah berulang. Pada abad keempat belas Hijriyah, paham ini kembali menyeruak ke permukaan, dipicu oleh gelombang kolonialisme dan krisis epistemik yang melanda umat Islam.
Ingkar Sunnah klasik umumnya bersifat individual dan lahir dari keterbatasan pemahaman terhadap posisi dan peran Sunnah dalam Islam. Karena itulah, ketika penjelasan diberikan, mayoritas dari mereka mampu menerima kedudukan sunnah sebagai bagian integral dari ajaran. Secara geografis pun, fenomena ini lebih banyak terjadi di wilayah Irak, khususnya Bashrah.
Namun, Ingkar Sunnah modern hadir dengan wajah yang berbeda. Ia lahir dari sebab-sebab yang lebih kompleks, muncul di lokasi-lokasi baru, dan menampakkan sikap yang tidak semudah itu menerima penjelasan, bahkan setelah urgensi Sunnah disampaikan dengan terang. Pertanyaannya, mengapa paham ini bisa lahir kembali setelah berabad-abad hilang? Dan apa saja wajah baru yang dibawanya dalam konteks dunia Islam kontemporer?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi pembahasan dalam artikel selanjutnya, yang akan menelusuri Ingkar Sunnah Modern.
| Editor: Mawil Hasanah Alm |
[1] Abu Abdillah al-Hakim, Al-Mustadrah ala Shahihain, juz 1/192 [Diakses melalui software website Turats: https://app.turath.io/ ].
[2] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, hal. 39.
[3] Abu Abdillah al-Hakim, Al-Mustadrah ala Shahihain, juz 1/388 [Diakses melalui software website Turats: https://app.turath.io/ ]. Keterangan: هَذَا حَدِيثٌ رُوَاتُهُ مَدَنِيُّونَ ثِقَاتٌ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ (Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi Madinah yang terpercaya, dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari maupun Muslim.) Diriwayatkan juga oleh Imam Malik dalam kitabnya Muwattha pada hadis no. 7, juz1/145 pada software serupa.
[4] Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ilmi al-Riwayah, hal. 11 [Makhtabah al-Ilmiah].
[5] Muhammad Mustafa A’zami, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, juz 1/22 [Makhtabah al-Islami, Beirut].
[6] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, hal. 41.
[7] Ibid, hal. 43.
[8] Muhammad al-Khudari, Tarikh al-Tasyri al-Islam, hal. 186 [Makhtabah al-Tijariyah, Kairo]
[9] Ali Mustafa Yaqub, hal. 43.
[10] Abdul Qadir al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, hal. 131-132 [Darul Marifah, Beirut].
[11] Muhammad Mustafa A’zami, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, juz 1/24 [Makhtabah al-Islami, Beirut].
[12] Ibid, hal. 25
[13] Ali Mustafa Yaqub, hal. 43.










