Keimanan adalah perjalanan yang dinamis, penuh dengan pasang surut yang mempengaruhi setiap individu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi fluktuasi (ketidakstabilan atau naik turun) dalam tingkat keimanan yang kadang terasa kuat dan penuh semangat, namun di lain waktu keimanan kita terasa luntur karena hiruk-pikuk dunia yang sedang kita jalani. Tetapi, pada dasarnya fluktuasi atau ketidakstabilan dalam konteks iman kali ini merupakan hal yang wajar dan dialami oleh setiap manusia.
Dr. Khalid dalam bukunya menyebutkan bahwa kondisi hati selalu berubah, sehingga sulit untuk mengendalikannya. Sebagaimana dalam bahasa Arab, hati diistilahkan dengan kata al-qalbu, yang memiliki arti dasar ‘berubah-ubah’, mengutip salah satu syair1, Dr Khalid menyebutkan:
مَا سُمِّيَ القَلْبُ إِلاَّ مِنْ تَقَلُّبِهِ
والرَّأيُ يصرفُ، والأهواءُ أطوارُ
Tidaklah hati disebut qalbu kecuali karena mudah berubah.
Sungguh pikiran terhadap keadaan seseorang mampu mengubah.
Hal ini juga dialami salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw. yaitu sahabat Hanzhala r.a., dalam hadis dengan redaksi yang cukup panjang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim: 2
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّيْمِيُّ، وَقَطَنُ بْنُ نُسَيْرٍ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ إِيَاسٍ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ حَنْظَلَةَ الْأُسَيِّدِيِّ، قَالَ: وَكَانَ مِنْ كُتَّابِ [ ج 17 : ص 66 ] رَسُولِ اللَّهِ قَالَ: لَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ؟، قَالَ: قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ؟، قَالَ: قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَوَاللَّهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: ” وَمَا ذَاكَ؟ “، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : ” وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَة سَاعَةً وَسَاعَةً ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Abu Bakar r.a. menjumpaiku dan berkata, ‘Bagaimana kabarmu ya Hanzhalah?‘ Aku pun menjawab, ‘Aku telah menjadi munafik.‘ Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, apa yang sedang kau katakan?‘ Jawabku, ‘Ketika kami berada di majelis Rasulullah Saw. seakan-akan surga dan neraka ada di hadapan kami (ketika Rasulullah mengingatkan kami tentangnya). Namun, saat kami berada di luar majelisnya maka kami disibukkan dengan istri-istri, anak-anak dan kehidupan kami hingga kami banyak lupa (terhadap akhirat).‘ Maka berkata Abu Bakar r.a., ‘Demi Allah, Aku pun merasakan hal yang sama.‘ Maka kami pun bermaksud mendatangi Rasulullah Saw. Aku pun berkata, ‘Hanzhalah telah munafik wahai Rasulullah.‘ Rasulullah bertanya, ‘Apa maksudmu?‘ Jawabku, ‘Wahai Rasulullah seakan surga dan neraka ada di hadapan kami ketika engkau mengingatkan kami tentangnya dalam majelismu. Akan tetapi, ketika kami tidak lagi berada di majelismu kami pun lalai dengan anak, istri dan kehidupan kami sehingga kami banyak melupakan (akhirat).‘ Rasulullah Saw. pun bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwa aku ada pada genggaman-Nya, jika kalian terus beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan selalu mengingat akhirat, maka niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur kalian maupun di jalan-jalan. Namun Hanzhalah, manusia itu sesaat begini dan sesaat begitu.‘ Beliau mengulanginya sampai tiga kali.”
Singkatnya, dari hadis di atas dapat kita temukan bahwasanya Sayyidina Hanzhala merasa ketika bersama Rasululllah Saw. imannya terasa begitu tinggi dan dekat dengan Allah, namun Ketika dia sudah keluar dari majelis Rasulullah Saw. ia merasa terlalu disibukkan dengan urusan–urusan dunia, hal ini ditepis dengan pernyataan Rasulullah bahwa setiap hal itu ada porsinya masing-masing, Maksudnya, sesaat untuk Rabb Azza wa Jalla, sesaat untuk anak-anak dan keluarga, sesaat untuk memberi istirahat untuk diri sendiri dan untuk memberikan hak kepada yang berhak untuk menerimanya.
Penulis selalu ingat pernyataan Gus Baha yang menceritakan kisah bahwa ada salah satu sahabat ketika Nabi mengajar di masjid malah membawa cangkul untuk pergi berladang, perbuatan ini dicemooh oleh sahabat yang lain, namun Nabi sendiri membenarkan perilaku sahabat tersebut karena ngaji itu memang ibadah tapi mencukupi kebutuhan keluarga itu juga ibadah, dari kisah dan hadis di atas kita dapat mengetahui bahwasanya segala sesuatu itu ada porsinya dan segala sesuatu yang berlebihan itu juga tidak baik.
Kita harus selalu menyadari bahwasanya kita adalah manusia yang penuh dengan kelalaian, lupa, banyak kesalahan, dan jauh dari kata kesempurnaan, namun kita tidak boleh fokus dengan kesalahan–kesalahan, namun terus muhasabah dan bertaubat kepada Allah Swt. seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi Saw. dari riwayat imam Tirmidzi3
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ اَلْخَطَّائِينَ اَلتَّوَّابُونَ
“Semua anak adam (manusia) melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertobat”
Inilah sisi keadilan dan kesempurnaan syariat Islam. Bahwasanya masing-masing memiliki hak yang harus kita tunaikan. Allah Swt. memiliki hak yang harus kita tunaikan. Begitu pula diri kita memiliki hak yang harus kita tunaikan. Keluarga, tetangga, hingga setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya terhadap diri kita. Demikian membuat kita dapat hidup dengan tenang dan beribadah kepada Allah Swt. dengan tenang. Karena manusia ketika terasa berat oleh dirinya maka ia cenderung akan bosan dan letih. Lalu ia akan banyak mengabaikan hak-hak orang lain.
Wallahu Alam.
Editor: Vigar Ramadhan Dano Muhamad Daeng
Referensi:
- Tsabit, Khalid Utsman. Amalul Qulub. Hal. 14.
- Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. Kitab at-Taubah, Bab tentang hadits Hanzhalah al-Usayyidi. Hadis No. 2750.
- At-Tirmidzi. Sunan at-Tirmidzi. Kitab Shifat al-Qiyamah, ar-Raqa’iq, dan al-Wara’. Hadis No. 2499.









