Menurut syariat Islam, menuduh zina bukanlah hal yang biasa. Tuduhan zina dalam Islam masuk kategori hadd—pidana yang berhubungan dengan haqqullah. Syaikh Ibn Qasim Al-Ghazi dalam Fath al-Qarib mendefinisikan qadzaf yakni “tuduhan zina terhadap seseorang dengan tujuan mempermalukannya, sehingga menuntut adanya persaksian zina”.
الرَمْيُ بِالزِّنَا عَلَى جِهَةِ التَّعْيِيْرِ لِتَخْرُجَ الشَّهَادَةُ بِالزِّنَا
Meski tuduhan zina dibenarkan secara syariat melalui prosedur hukum yang ada, namun sikap ceroboh terhadap tuduhan juga menjadi satu alasan seseorang mengalami kebangkrutan di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Nabi Saw. dalam hadis di kitab Shahih Muslim no. 2581.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟» قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: «إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ»
“Qutaibah bin Sa’id dan ‘Aliy bin Hujr menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Isma’il—dia adalah Ibnu Ja’far—menceritakan kepada kami, dari Al-‘Ala’, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. bertanya,“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?”. Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak mempunyai dirham dan tidak pula harta kekayaan.” Rasulullah Saw. pun menjelaskan, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang di hari kiamat nanti dengan pahala amalan shalat, puasa dan zakat namun ia selalu mencaci-maki, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah serta memukul orang lain. Maka diberikanlah bagian dari pahala kebaikannya untuk orang-orang yang ia sakiti tersebut. Apabila pahala kebaikan miliknya telah habis sebelum terpenuhinya pembalasan atas perbuatan zhalimnya, diambillah dari dosa-dosa mereka kemudian dialihkan kepadanya, lantas ia pun dilemparkan ke dalam neraka!” (HR. Muslim: 2581)
Muflis yang sesungguhnya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas yaitu seseorang yang benar-benar kehilangan, sudah kebaikan seseorang tersebut diambil oleh orang yang dirugikan, pun apabila kebaikannya sudah habis, maka keburukan orang yang dirugikan akan diberikan padanya. Lalu ia dilemparkan ke Neraka. Sebuah kerugian yang paling tinggi. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Dar Ihya’ al-Turast, 1930, 16/136).
Bagi KH. Ahmad Baha’uddin Nursalim (Gus Baha’) hadis ini menunjukkan bahwa Allah memiliki perhitungan yang sangat modern. Allah itu Maha Mengetahui bahwa manusia itu wajar punya sifat dendam, sehingga dendam itu bisa “disalurkan” tapi harus persis. Ini adalah perspektif hukum fikih. Ilustrasinya kalau dibilang “wedus” ya dibalas “wedus” jangan “celeng”. Sebagaimana ayat Al-Qur’an:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa: 148).
Akan tetapi di era modern yang paling bahaya adalah mengkritik seseorang hingga membunuh karakter. Misalkan, seorang Kiai/Guru/Ustadz memiliki dua santri, Zaid dan Umar. Zaid sebetulnya merupakan orang yang akan menjadi cahaya untuk kaumnya nanti. Hanya saja ia di pondok itu terkadang qadha’ salat Subuh, sulit menghafalkan, nakal sekali, akan tetapi bisa jadi Allah menakdirkannya sebagai nuran fi qaumih. Ia bisa jadi punya potensi mengajarkan masyarakat terpencil cara salat, zakat, puasa secara sempurna. Sementara temannya, Umar, merupakan orang yang khusyu’, bacaan Qur’an-nya sangat bagus, Subuh tidak qadha’. Tetapi Umar bisa jadi berperilaku sedemikian itu bercita-cita hanya menjadi “imam masjid besar”, ya meskipun itu juga baik.
Di sisi lain, sang guru atau kiai tersebut menganggap remeh Zaid karena tidak melihat kemungkinan adanya potensi tersebut. Akhirnya orang yang dianggap tidak penting itu kehilangan potensi untuk menjadi cahaya di kaumnya. “Qadzafa hadza di sini (hadis) menurut saya tidak harus tentang penuduhan zina, melainkan juga tentang pembunuhan karakter seseorang.” Ungkap Gus Baha’. Sehingga jelas mazhab Ahlu as-Sunnah adalah menolak paham takfiri. Karena secara lahir, takfiri itu menghukumi orang lain berada di luar jangkauan rahmat Allah. Padahal kita tidak mungkin bisa memastikan orang yang mungkin sekarang maksiat selamanya tetap maksiat.
Gus Baha’ meminta kita untuk membayangkan bahwa mungkin Zaid seperti dalam contoh—termasuk zaid-zaid lain yang memiliki kesamaan karakter—mereka adalah sosok yang masih dianugerahi rahmat Allah. Bisa saja mereka punya potensi untuk mengajarkan salat, zakat, dan puasa agar sah dan sempurna kepada orang-orang awam. Sebab baginya mengajari orang lain agar mendekat dan merasa cinta kepada Allah merupakan derajat paling mulia seorang hamba. Terakhir beliau mengutip ungkapan dalam Ihya’ Ulum ad-Din:
فأي رتبة أجل من كون العبد واسطة بين ربه سبحانه وبين خلقه في تقريبهم إلى الله زلفى
“Derajat mana yang lebih tinggi dari pada orang yang mengajari ilmu, sehingga menjadi perantara seorang hamba untuk mendekat kepada Allah.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Dar al-Fikr, 1/26).
Maka, jelas di sini bahwa kontekstualisasi makna qadzaf dalam hadis kitab Shahih Muslim di atas pada era saat ini bagi Gus Baha’ adalah kritik yang dapat membunuh karakter seseorang. Tentu orang-orang yang mungkin kita bunuh karakternya, suatu saat nanti di akhirat akan menuntut balas kepada kita. Hingga hal itu menjadikan kita mendapati keadaan muflis pada hari akhir. Nad’udzu billah.
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.