Prolog
Demonstrasi besar-besaran meletus di berbagai kota Indonesia setelah publik marah atas tunjangan DPR yang dinilai berlebihan di tengah ketimpangan ekonomi dan sulitnya kondisi hidup masyarakat. Situasi memanas ketika Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat aksi di Jakarta, yang kemudian menjadi pemicu gelombang protes semakin luas dan anarkis. Aksi yang semula damai berubah menjadi kerusuhan, ditandai dengan pembakaran gedung DPRD di Makassar yang menewaskan tiga orang, perusakan fasilitas umum seperti halte, stasiun, hingga penjarahan, sehingga total korban jiwa mencapai enam orang di berbagai daerah. Pemerintah merespons dengan membatalkan perjalanan luar negeri anggota DPR, memangkas tunjangan, serta memerintahkan penyelidikan terhadap insiden penabrakan dan penindakan terhadap pelaku kekerasan.
Fenomena ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian memandang demonstrasi sebagai bentuk aspirasi yang sah, sementara yang lain menilai aksi tersebut justru menimbulkan kerusakan dan mudharat. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya hukum demonstrasi dalam perspektif fiqhul hadis? Apakah ia termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang dibenarkan syariat, atau justru mendekati fitnah yang dilarang? Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas persoalan tersebut secara mendalam berdasarkan kajian hadis dan pandangan para ulama.
Analisis
Dalam suatu hadis, Nabi Muhammad Saw. bersabda,
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْم بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: للهِ، وَلِكِتَابِهِ، ولِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Agama itu nasihat.” Kami bertanya: ”Untuk siapa?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.” (HR. Muslim).[1]
Dalam memahami frasa “nasihat untuk pemimpin kaum muslimin” dalam hadis ini, Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:
ومعاونتهم عليه، وتنبيههم له، وتذكيرهم باللَّه وأحكامه وحكمه ومواعظه، لكن برفقٍ ولطفٍ، وإعلامهم بما غفلوا عنه، أو لم يبلغهم من حقوق المسلمين
“Dengan membantu, memperingati, dan meningatkan mereka terhadap Allah, hukum-hukum, dan hikmah-hikmahn-Nya. Akan tetapi, dengan halus dan lembut, serta memberitau mereka terkait hak-hak umat yang mereka lalaikan atau tidak sampai kepada mereka”.[2]
Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Daqiq Al-I’d dalam Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah dan An-Nawawi dalam Syarah Shahih An-Nawai ‘ala Muslim.[3] Penjelasan ini memberikan kita poin, bahwa mengingatkan pemerintah terkait kesalahan dan kelalaian mereka dalam menjalankan tugasnya bukan termasuk hal yang dilarang dalam Islam. Justru, termasuk ke dalam hal yang dianjurkan dalam Islam.
Dalam literatur fikih, kebebasan berbicara diakui dalam syariat Islam, selagi tidak bertentangan dengan norma-norma sosial dan nash-nash syariat.[4] Hal ini mencakup segala aspek dalam hidup, seperti menyampaikan aspirasi rakyat atau mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak dengan rakyat.
Akan tetapi, proses demonstrasi ini bisa menjadi dilarang dalam Islam, apabila terdapat penghinaan atau pelecehan baik berupa verbal (ucapan), non-verbal (perbuatan), maupun dalam bentuk simbol. Hal ini sebagaimana penjelasan Hujjatul Islam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, bahwa tahapan amar makruf nahi munkar ada empat: 1. Memberitahu (ta’rif), 2. Menasehati (wa’dhu), 3. Menghina (takhsyin), 4. Mencegah secara paksa (al-man’u bil qahri). Tahapan yang diperbolehkan bagi rakyat untuk melakukannya adalah tahapan pertama dan kedua, yakni ta’rif dan wa’dhu, sedangkan tahapan ketiga, takhsyin, tidak diperbolehkan apabila dapat memberikan mafsadat kepada orang lain.[5]
Di sisi lain, demonstrasi juga tidak diperbolehkan dalam Islam, apabila melahirkan benih-benih makar dan anarkisme, seperti membakar fasilitas umum, menjarah rumah orang, dan mengganyang pasukan kepada pemerintah. Ulama salaf menyatakan bahwa tidak boleh keluar atau memberontak pada pemerintah, meskipun pemerintah tersebut dhalim.[6] Bahkan, salah satu ulama kontemporer, Dr. Wahbah Az-Zuhaili berkata,
ولا يجوز الخروج عن الطاعة بسبب أخطاء غير أساسية لا تصادم نصا قطعيا سواء أكانت باجتهاد أم بغير اجتهاد حفاظا على وحدة الأمة وعدم تمزيق كيانها أو تفريق كلماتها
“Tidak diperbolehkan memberontak pemerintah sebab kesalahan yang tidak mendasar yang tidak menabrak nash qath’i, baik dihasilkan dengan ijtihad atau tidak, demi menjaga persatuan umat dan menghindari perpecahan dan pertikaian di antara mereka.”[7]
Di Indonesia sendiri, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk melalui demonstrasi, dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas, baik lisan maupun tulisan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bentuk penyampaian pendapat yang diatur dalam UU ini meliputi unjuk rasa, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Namun, kebebasan ini harus dilakukan secara bertanggung jawab dengan memperhatikan aturan, seperti menyampaikan pemberitahuan kepada kepolisian, menghormati hak orang lain, serta tidak mengganggu ketertiban umum.
UU tersebut juga memberikan batasan yang jelas agar demonstrasi tidak berubah menjadi tindakan anarkis. Pasal-pasalnya mengatur larangan membawa senjata tajam, melakukan perusakan fasilitas umum, serta mengganggu ketentraman masyarakat. Jika aksi berubah menjadi kerusuhan, aparat berwenang berhak membubarkan demonstrasi sesuai prosedur yang berlaku. Dengan kata lain, hukum Indonesia memperbolehkan demonstrasi sebagai sarana menyalurkan aspirasi, asalkan dilakukan secara damai, tidak melanggar hukum, dan tidak merugikan pihak lain. Aturan ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan pemeliharaan ketertiban umum.
Epilog
Dari urain di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam perspektif fiqhul hadis, demonstrasi diperbolehkan bahkan dianjurkan selama bertujuan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Hal ini hanya dapat dibenarkan apabila demonstrasi tidak merusak kemaslahatan umum, tidak mengganggu ketertiban, serta tidak menimbulkan potensi tindakan anarkis yang berujung pada kerusakan atau pertumpahan darah. Selain itu, demonstrasi tidak boleh dilakukan dengan cara yang mengandung unsur pelecehan, penghinaan, atau provokasi, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun simbol-simbol yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan. Dengan demikian, aksi demonstrasi harus senantiasa dijaga agar tetap dalam koridor adab Islam, mengedepankan kedamaian, dan menghindari mudharat yang lebih besar.
Penikmat Kopi Moh Wildan Husin
[1] Muslim, Shahih Muslim, 1/53.
[2] Al-Haitami, Ibnu Hajar, Al-Fathu Al-Mubin bi Syarhi Al-‘Arba’in, 257.
[3] Ibnu Daqiq Al-I’d, Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, 1/50, An-Nawawi, Syarah Shahih An-Nawai ‘ala Muslim, 2/38.
[4] Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, 1/242.
[5] Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulumiddin, 3/370.
[6] Asy-Syarwani, Hawasyi Asy-Syarwani ‘ala Tuhfatil Muhtaj, 9/66.
[7] Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqhul al-Islami, 6/705-706.
Editor: Vigar Ramadhan Dano Muhamad Daeng










