Tulisan ini hadir dari perenungan penulis sendiri. Sakit yang melanda belakangan ini memberikan banyak waktu untuk merenung sejenak, lalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dicari jawabannya. Membaca adalah kunci besarnya. Maka tulisan ini dibuat sebagai opini dari pembacaan penulis yang sebelumnya merupakan uap-an dari pertanyaan dan perenungan. Okey, mari kita mulai.
Sebagai mahasiswa atau mahasantri yang menekuni jurusan hadis, saya kerap dihantui pertanyaan mendasar seperti, “setelah lulus nanti, pekerjaan macam apa yang bisa saya jalani?” Pertanyaan ini muncul tidak ujug-ujug datang begitu saja, ini karena saya melihat realitas pragmatis pendidikan hari ini: kuliah dipandang sekadar tiket menuju pekerjaan tertentu. Mahasiswa teknik diarahkan menjadi insinyur, mahasiswa kedokteran menjadi dokter, mahasiswa ekonomi menjadi analis bisnis, dan seterusnya. Dalam logika ini, setiap jurusan sepertinya harus memiliki garis lurus dengan pasar kerja. Nah, lalu bagaimana dengan jurusan hadis yang mempunyai gelar terbaru S.H.U (sarjana hadis ulumuhu)?
Di tengah arus modernitas hari ini, kuliah rasanya sering dipersempit menjadi instrumen ekonomi pekerjaan. Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas menyebut bahwa pendidikan pada akhirnya direduksi hanya sebagai mekanisme pelestarian struktur sosial-ekonomi. Padahal, pendidikan sebenarnya jauh melampaui fungsi pragmatis itu, ia adalah proyek kebudayaan dan pembentukan manusia itu sendiri.
Menuntut Ilmu dan Tujuan Pendidikan
Secara filosofis, belajar adalah proses menyempurnakan diri begitu ucap filosof Yunani dulu. Dalam tradisi Socrates–Plato–Aristoteles, belajar dianggap sebagai upaya aktualisasi potensi manusia menuju kebaikan dan kebijaksanaan (eudaimonia). Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas menegaskan bahwa pendidikan adalah alat pembebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan yang hanya mencetak “pekerja” akan melahirkan manusia pasif, sedangkan pendidikan yang membebaskan akan melahirkan manusia kritis dialog, dan kesadaran sosial, melahirkan manusia yang aktif.
Di Indonesia, gagasan ini sejalan dengan Ki Hajar Dewantara yang menegaskan bahwa pendidikan harus “menuntun segala kekuatan kodrat” agar manusia merdeka dan bahagia (Bagian II: Pendidikan). Tjokroaminoto bahkan menekankan pentingnya akhlak dalam ilmu: “Setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat, jika tidak didasarkan pada akhlak, maka semuanya tidak berguna” (Hidup dan Perjuangannya).
Selain itu, Soedjatmoko, intelektual Indonesia, menulis dalam Dimensi Manusia dalam Pembangunan bahwa pembangunan (dan pendidikan di dalamnya) bukan hanya soal ekonomi, melainkan “pengembangan manusia sebagai manusia.” Pandangan ini sangat relevan untuk mengkritisi reduksi pendidikan menjadi sekadar jalur kerja.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pernah mengingatkan bahwa pesantren, sebagai model pendidikan Islam klasik, tidak pernah hanya mencetak tenaga kerja, melainkan membentuk karakter, moral, dan tradisi intelektual (lihat Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan). Selaras dengan yang dikatakan Syekh Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam dan sekulerisme, pendidikan Islam sejati adalah ta’dib; pembentukan adab intelektual dan moral manusia.
Dengan begitu, urgensi belajar (termasuk hadis) harus dilihat bukan dari “apa pekerjaannya nanti,” melainkan “manusia macam apa yang dihasilkan.” Jika ide-dei di atas dihubungkan dengan urgensi belajar hadis, maka bisa dibuat skema pendek:
- Hadis tidak boleh dipandang hanya sebagai “pengetahuan keagamaan” yang fungsinya sebatas pada profesi keagamaan (guru, ustadz, dosen).
- Belajar hadis juga harus bisa menjadi proses pembebasan: membebaskan dari kebodohan teks, dari otoritas palsu, dan dari pemahaman sempit.
- Seperti pendidikan dalam pandangan Freire, ilmu hadis bisa melahirkan manusia kritis, yang tidak hanya menerima hadis apa adanya, tetapi menimbang, menguji, dan memaknai sesuai konteks seperti yang dipelajar saat menguji otentisitas sebuah hadis.
Urgensi Belajar Hadis di Era Kini
Jika pendidikan umum bertujuan membentuk manusia beradab, maka belajar hadis memberi keistimewaan tersendiri bagi penulis, yaitu mendekatkan diri pada sumber otoritatif Islam setelah Al-Qur’an. Itu karena hadis menyimpan bukan hanya kata-kata, tapi juga sikap hidup Nabi Saw. Dalam konteks modern yang sering kehilangan figur teladan, hadis hadir sebagai jawaban atas keresahan eksistensial manusia.
Lebih dari itu, ilmu hadis melatih critical thinking. Setiap sanad diteliti, setiap matan diuji, setiap klaim diverifikasi. Keterampilan ini amat penting di era post-truth yang dibanjiri hoaks. Ini senada dengan apa yang dikatakan dosen kami Dr. Amrullah di Ma’had Aly, “Menguji hadis untuk diterapkan membutuhkan beberapa step dengan melihat yakni 1) otentisitasnya 2) validitasnya 3) tektualitas 4) baru kontekstualitas hadisnya.” Begitulah alur penerapan hadis dalam kepenulisannya. Bayangkan pola pikir seperti ini dibawa secara tidak sadar dalam pikiran, pastinya mahasantri hadis memiliki pola pikir yang kritis dalam pembelajarannya.
Secara sosial, hadis juga sering digunakan dalam ruang publik: dari khutbah, media sosial, hingga wacana politik. Tanpa literasi hadis yang memadai, masyarakat bisa disesatkan oleh teks yang dipelintir. Maka, urgensi belajar hadis bukan sekadar akademik, tetapi juga sosial: menjaga umat dari otoritas palsu dan pemahaman dangkal.
Peluang dan Arah
Jurusan hadis mungkin tidak memiliki job title tunggal seperti dokter atau insinyur. Namun, pada analisisnya, pendeknya keterampilan yang dihasilkan bisa muncul di berbagai bidang:
- Analisis teks dan literasi kritis: relevan untuk penelitian, media, jurnalisme, penerbitan.
- Validasi informasi: penting di era digital, media sosial, dan literasi publik.
Mengutip salah satu artikel yang membahas buku Martha Nussbaum dalam Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities, filosof wanita ini menegaskan bahwa ilmu humaniora—di Barat, ilmu hadis ini masuk dalam rumpun ilmu humaniora karena obyek kajiannya—, meski tampak tidak praktis, justru menjadi fondasi demokrasi karena melatih kepekaan kritis. Pandangan ini memberi pijakan bahwa jurusan hadis, sebagai bagian dari humaniora Islam tetap memegang posisi vital.
Penutup
Keresahan pragmatis penulis tentang “pekerjaan setelah kuliah” pada akhirnya menemukan jawaban sebagai cerminan logika zaman yang mengukur ilmu hanya dengan kegunaan ekonomi. Namun, melalui gagasan para tokoh pendidikan dunia dan Indonesia, kita bisa melihat bahwa belajar—apalagi belajar hadis—tidak pernah semata-mata untuk urusan kerja, melainkan urusan yang lebih luas, tentang belajar, menjaga, meneruskan, dan membawa manusia yang beradab ke peradaban, karena dari hadis kita mendapatkan the role model Islam.
Tentu, belajar hadis adalah menjaga otentisitas ajaran Nabi Saw., tapi hal itu juga membentuk daya kritis di era digital hari ini, dan menghadirkan fondasi moral dalam masyarakat. Jurusan hadis memang tidak menyiapkan “pekerjaan jadi” tetapi bisa menyiapkan manusia yang siap membaca zaman, mengkritisi wacana, dan menghadirkan nilai. Bukankah itulah esensi pendidikan sejati? Semoga.
Referensi:
Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. Yogyakarta: Narasi, 1970.
Tjokroaminoto. Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Ki Hajar Dewantara. Bagian II: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962.
Muhammad Naquib Al-Attas. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM, 1978.
Soedjatmoko. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Abdurrahman Wahid. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara, 1999.










