Kemarahan masyarakat yang pecah di beberapa titik seantero bumi nusantara dalam minggu-minggu terakhir tidak datang dari ruang kosong. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpantiknya kemarahan publik di akar rumput (grassroot) tersebut. Salah satunya adalah sikap atau respons para pejabat pemerintahan saat hadapi suara rakyat. Umpan balik dari pekerja istana terhadap aspirasi masyarakat terkesan dibalut dengan narasi acuh tak acuh (Tone-Deaf), hingga cenderung pada teks politik penghinaan (Insult Politics) kepada awam. Sekali lagi, komunikasi publik yang buruk dari mereka menyulut kemarahan khalayak.
Respons Tidak Peduli Pejabat Hingga Tanggapan Politik Penghinaan untuk Publik
Pejabat pemerintah sebagai pihak otoritas dalam sistem tata negara tentunya harus berhati-hati dalam bersikap, apalagi menyangkut aspirasi rakyat. Sayangnya, bukan mengamini hal tersebut, pejabat pemerintah dalam beberapa hari terakhir justru menampilkan sikap tidak pantas seorang negarawan saat menghadapi suara awam, yakni dengan reaksi ketidakpedulian (Tone-Deaf), hingga berbalut politik penghinaan atas rakyat (Insult Politics).
Sebut saja yang paling terekam dalam ingatan publik adalah ungkapan dari pejabat negara yakni Wakil Komisi III DPR RI, setelah menanggapi wacana pembubaran lembaga legislatif yang dicanangkan oleh awam (22/08/2025). Bukan meredam kekecewaan masyarakat, dalam akun resmi Instagramnya ia justru memperkeruh reaksi publik dengan mengunggah postingan sosok pria bertopeng anonim dengan teks narasi yang sangat negatif[1]
Mundur lagi ke belakang, contoh nyata lainnya adalah narasi “Otak kampungan!” dari Kepala Staf TNI AD terhadap kritikus RUU TNI pada Maret 2025. Kemudian “Kabur saja, jangan balik lagi!” ungkap Wakil Menteri Ketenagakerjaan saat merespons ekspresi kekecewaan publik melalui tagar #KaburAjaDulu pada Februari 2025.[2] Hingga puncaknya, kembali ke beberapa waktu kemarin, joget-joget yang dilakukan oleh Dewan Legislatif di kursi kekuasaan DPR RI pada 15 Agustus 2025 dimaknai oleh publik sebagai sikap tone-deaf non verbal yang ditampakkan para pejabat terhadap derita rakyat, juga ekspresi politik penghinaan (insult politics) saat hadapi suara awam di bawah.
Fenomena miris di atas menjadi menarik jika dibenturkan dengan teladan (uswah) yang ditampilkan oleh pembesar-pembesar Islam dahulu. Terlebih jika melihat kembali (flashback) aktor-aktor bintang periode Islam awal setelah kepergian Nabi Muhammad saw. (Baca: Sahabat Nabi), maka akan tampak bahwa mereka bukan hanya penerus ajaran agama yang sakral dari Rasul, tapi juga seorang negarawan yang berintegritas. Apalagi dengan usia muda pemerintahan Madinah, yang nantinya menjadi rancangan awal (prototype) Tata Negara modern demokratis hari ini[3], menjadikan suara rakyat di pemerintahan yang masih muda itu juga cukup tajam. Maka demikian, pertanyaan yang muncul di permukaan -setidaknya bagi pemerhati hubungan agama dan negara-[4] adalah bagaimana sikap sahabat nabi yang memegang estafet kepemimpinan agama dan negara -tulisan kali ini terbatas pada Khulafa’ ar-Rasyidin- saat berhadapan dengan kritik rakyat?
Sikap Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab sebagai Negarawan terhadap Suara Rakyat
Kepemimpinan Khulafa’ ar-Rasyidin dalam beberapa riwayat dan catatan sejarah juga sempat berhadapan dengan kritik rakyatnya. Bedanya dengan pejabat hari ini adalah, penerus Rasulullah itu tidak hanya siap menerima kritik, justru merasa butuh dengan kritik publik. Hal ini tampak nyata dalam rekaman pidato kenegaraan pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut,
أما بعد، أيها الناس فإني قد وليت عليكم، ولست بخيركم، فإن أحسنت فأعينوني؛ وإن أسأت فقوموني ….. أطيعوني ما أطعت الله ورسوله، فإذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم.[5]
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu. Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku… Taatlah kalian kepadaku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, naka aku tidak berhak untuk kalian taati.”
Hal senada juga disampaikan Umar ibn al-Khattab,
رَحِمَ اللَّهُ مَنْ أَهْدَى إِلَيَّ عُيُوبِي.[6]
“Semoga Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang menunjukkan kesalahanku.”
Umar juga pernah menyampaikan,
يا أيها الناس من رأى منكم فيّ اعوجاجا فليقوّمه.[7]
“Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian yang melihat sesuatu yang bengkok pada diriku, maka luruskanlah.”
Orasi kenegaraan Umar ini kemudian disambut baik oleh ‘Araby (Badui) yang hadir dengan mengatakan,
والله يا أمير المؤمنين لو وجدنا فيك اعوجاجا لقوّمناه بسيوفنا هذه.[8]
“Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, jika kami menjumpaimu hal yang bengkok, pasti kami akan meluruskannya dengan pedang-pedang kami ini.”
Menarik, sebagai seorang pemimpin, Umar tidak justru merespons jawaban pedas ‘Araby ini dengan negatif. Namun, jawaban bijak dan syukur disampaikan oleh Umar.
الحمد لله الذي جعل في هذه الأمة من يقوّم اعوجاج عمر بسيفه إذا اعوجّ.[9]
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan seseorang di antara umat ini yang siap meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya ketika dia (Umar) bengkok.”
Situasi kepemerintahan dua khalifah berikutnya lebih kompleks. Seperti masa Usman ibn Affan dengan isu-isu nepotismenya, membuat pemerintahan Usman menuai banyak kritik dari rakyat.[10] Kritik tersebut kemudian di eskpresikan menjadi pemberontakan kekecewaan di beberapa titik. Salah satu yang terekam adalah pasukan pemberontak Mesir -yang terkena virus fitnah dari Abdullah ibn Saba’- berangkat ke Madinah dengan menyamar sebagai jamaah umrah untuk menyebarkan propaganda buruk pemerintahan sahabat Usman.
Alih-alih mengambil tindakan represif, Usman justru mengirimkan Ali ibn Abi Thalib untuk melakukan negosiasi. Akhirnya, para demonstran yang menyamar itu kemudian membatalkan rencana provokasi tersebut dan kembali ke tanah Mesir dengan tangan kosong.[11] Ini adalah hasil dari kebijaksanaan Usman, yakni dengan membuka dialog bersama para pihak yang tidak sepaham dengan pemerintahan.
Sikap bijak dalam menerima suara ketidaksepahaman juga dicontohkan oleh khalifah terakhir, Ali bin Abi Thalib. Dalam satu kesempatan, Ali mendapatkan sanggahan dari seseorang (rajul) mengenai suatu persoalan. Ali kemudian menjawab sembari mendedahkan Surah Yusuf Ayat 76,
أصبتَ وأخطأتُ {وفوق كل ذى علم عليم}[12]
“Kamu benar dan saya salah. (Dan di atas setiap orang yang punya ilmu masih ada ilmu).”
Dari beberapa teladan (uswah) dari para pemimpin di atas, dapat dilihat bahwa dalam menjawab kritik atau narasi berseberangan yang datang dari bawah, dilakukan selaras dengan sikap terbuka, jiwa yang besar (berintegritas), serta siap dan merasa butuh dengan kritik atas pemerintahan yang sedang diemban. Sehingga jawaban dari pemimpin Islam itu menjadi cenderung solutif dan ditujukan untuk menggapai maslahat, hingga akhirnya dapat diterima oleh khalayak. Bukan malah memperkeruh keadaan dengan ungkapan-ungkapan tidak layak, hingga kebijakan yang mempersulit hidup rakyat. Tidak ada respons tone-deaf, apalagi jawaban bernuansa insult politics dari pemimpin umat Islam tersebut. Sekian.
[1] https://www.tempo.co/politik/blunder-komunikasi-pejabat-immanuel-ebenezer-ahmad-sahroni-hingga-hasan-nasbi-2063424
[2] https://theconversation.com/komunikasi-tone-deaf-pemerintah-kritik-dianggap-ancaman-dialog-dibalas-candaan-252941#:~:text=Dalam%20kasus%20pengiriman%20kepala%20babi,harus%20terlebih%20dulu%20belajar%20mendengar.
[3] Karena dalam jurnalnya, Q. Zaman mengungkapkan bahwa wujud nyata dari sebuah Negara Madinah adalah bagaimana nabi diangkat menjadi pemimpin melalui kontrak sosial (bai’at ‘aqabah), rakyat dan wilayah kekuasaannya jelas, landasan formilnya/konstitusinya adalah Piagam Madinah, unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara implisit juga ada, pendapatan negara (pajak), bahkan politik internasionalnya pun telah ada. Baca selengkapnya: https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/inright/article/view/1233
[4] Menurut Prof Abu Yasid dalam pengantar buku Fiqh Tata Negara milik KH. Afifuddin Muhajir, mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi antara agama dan negara. Dengan watak holistik yang dimiliki Islam, akhirnya agama ini menganggap bahwa negara pada hakikatnya merupakan bagian integral atau perluasan dari agama itu sendiri. Dari pandangan seperti ini lalu muncul adagium yang berbunyi al-Islam Diin wa Dawlah (Islam adalah agama sekaligus negara).
[5] Abdul Malik bin Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, 2/660-661
[6] Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi, Musnad ad-Darimi, 1/509
[7] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, hlm. 6211
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Sebenarnya isu ini lahir dari propaganda eksternal Islam, salah satu tokoh yang ditengarai adalah seorang Yahudi bernama Abdullah ibn Saba’. Agar tidak salah kaprah dalam memahami isu ini, pembaca direkomendasikan untuk membaca lebih lengkap masalah tersebut secara komprehensif. Buku-buku tokoh pembela Islam dari kecaman sinis barat, seperti milik al-Buthy, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah ma’a Mujaz li Tarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, dapat menjadi bacaan yang cocok.
[11] Said Ramadhan al-Buthy, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah ma’a Mujaz li Tarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, hlm. 385
[12] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Jami’ al-Ahadits, 30/395
Editor: Vigar Ramadhan Dano Muhamad Daeng










