Ada hal menarik yang disampaikan oleh salah satu sahabat saya setelah pengajian kitab Minhāj al-Ṭālibīn. Malam itu, kiai mengajar dengan tenang, membahas bab tentang air mulai dari jenis-jenisnya, hukum-hukumnya, serta bagaimana air bisa tetap suci meski bersentuhan dengan sesuatu yang najis, selama tidak berubah warna, rasa, atau baunya. Awalnya kami mengira pembahasan ini hanya soal fikih dasar, tapi semakin lama mendengar, kami mulai merasakan ada makna lain di baliknya, tentang bagaimana seseorang menjaga kejernihan diri di tengah banyak hal yang bisa mengotori. Kajian malam itu sederhana, namun meninggalkan kesan yang mendalam.
Usai pengajian, penulis langsung teringat pada sosok ulama yang memilih berdakwah di tempat-tempat yang jarang tersentuh oleh kalam agama, KH. Chamim Jazuli atau yang lebih dikenal dengan Gus Miek. Masyhur di kalangan masyarakat bahwa beliau dikenal dengan metode dakwahnya yang unik. Tidak hanya berdakwah di masjid atau pesantren, beliau juga berdakwah di tempat-tempat yang dianggap maksiat seperti karaoke, diskotek, dan tempat hiburan malam lainnya. Gus Miek mampu merangkul siapa pun, berani memasuki lingkungan yang dihindari banyak orang, dan tetap bergaul tanpa kehilangan jernihnya hati.
Terbesit di hati penulis, beliau bukan hanya ulama besar, tetapi juga putra dari seorang kiai yang masyhur di kalangan santri. Namun, beliau justru memilih menapakkan langkah dakwahnya di medan yang tidak biasa. Karena dari situ, timbul satu pertanyaan dalam hati: bagaimana beliau bisa tetap bertahan dan menjaga kejernihan di medan dakwah yang begitu licin?
Pertanyaan itu membuat penulis teringat pada satu hadis yang baru saja kami pelajari malam itu, tentang air dua qullah. Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Apabila air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak menanggung najis.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lainnya)
Hadis ini memang berbicara tentang hukum fikih, mengenai ukuran air yang tidak menjadi najis kecuali jika berubah sifatnya. Namun, dalam renungan penulis, hadis ini juga menyimpan makna batin yang dalam. Air dua qullah seolah menjadi simbol bagi hati seorang da’i sejati: begitu kuat dan luasnya kejernihan itu, hingga tidak mudah ternodai oleh lingkungan di sekitarnya. Mungkin di situlah rahasia keteguhan Gus Miek, hatinya sudah sebesar dua qullah, bahkan lebih. Beliau hadir di tengah kekeruhan, tapi tidak ikut keruh. Beliau mendatangi tempat-tempat maksiat bukan untuk menikmati gelapnya, melainkan untuk menyalakan cahaya kecil di dalamnya.
Jika dipikir-pikir, tidak mudah bagi seseorang untuk tetap kuat di tempat yang penuh godaan, terlebih di lingkungan yang orang lain saja enggan mendekat. Namun, dari cerita tentang Gus Miek, penulis melihat bahwa keberanian beliau bukan karena merasa paling benar, tapi karena rasa sayang kepada orang-orang yang jauh dari jalan kebaikan. Beliau datang bukan untuk menghakimi, tapi untuk menemani. Cara dakwahnya sederhana, lebih banyak dengan hadir, mendengar, dan mendoakan. Tidak semua orang bisa seperti itu, sebab perlu hati yang benar-benar bersih untuk tetap jernih di tempat yang kotor. Hal-hal tersebut juga menurun kepada putra-putra beliau yang selalu mengutamakan bersihnya hati dalam melakukan hal apapun, sehingga kami yang mendengar dawuh-dawuhnya merasa sejuk dan tenang. Itulah dakwah yang benar, “merangkul bukan memukul”.
Semakin dipikir, penulis menjadi sadar bahwa dakwah tidak harus selalu melalui mimbar dan pengeras suara. Terkadang, cukup dengan kehadiran yang tulus dan doa dalam diam. Tidak semua orang bisa memahami cara seperti itu, karena yang terlihat di luar sering kali menipu pandangan. Namun, mungkin di situlah makna sebenarnya dari ilmu yang kami pelajari malam itu: menjaga hati agar tetap bersih, apa pun dan di mana pun keadaannya. Sebab ketika hati sudah jernih, setiap langkah pun bisa menjadi bentuk dakwah, meski tanpa kata-kata.
Dari pengajian malam itu, penulis menjadi paham bahwa pelajaran fikih tidak selalu berhenti pada persoalan hukum saja. Terkadang, di balik pembahasan yang tampak sederhana, tersimpan pesan yang lebih dalam. Seperti halnya dengan permaslahan air yang tidak menjadi najis kecuali jika berubah sifatnya, di dalamnya juga mengandung makna tentang bagaimana kita menjaga diri agar tetap bersih meski berada di lingkungan yang kotor. Tentang bagaimana seseorang bisa tetap jernih di tengah banyak hal yang bisa mengotori. Penulis teringat lagi pada kisah Gus Miek, yang berani berdakwah di tempat-tempat yang jarang tersentuh. Mungkin hati beliau sudah seperti air yang banyak tidak mudah berubah, meski bersentuhan dengan apa pun. Dan dari situ penulis belajar, bahwa menjadi bersih bukan berarti harus menjauh, tapi mampu tetap jernih di mana pun berada.
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah








