Ada satu pengalaman yang cukup menarik bagi penulis. Pada suatu kesempatan, penulis harus menemui seorang pejabat di suatu instansi. Jadwalnya padat, antreannya panjang, dan semua orang yang hadir tampak menunggu dengan sabar dan tertib. Tidak ada yang mengeluh tidak ada pula yang masuk sembarangan, karena semua memahami bahwa pejabat memiliki kuasa administratif dan waktu yang terbatas. Maka, menunggu satu atau dua jam terasa wajar bagi siapa pun yang membutuhkan tanda tangan, rekomendasi, atau sekadar kesempatan berbicara.
Dari pengalaman sederhana itulah penulis menyadari sesuatu yang cukup kontras. Untuk seorang pejabat dunia, manusia mampu menata diri, merapikan jadwal, bahkan rela menunggu lama. Namun, untuk Allah yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam hidup seorang muslim, kedisiplinan itu seolah hilang. Perintah melaksanakan shalat lima waktu misalnya, ia hadir setiap hari dengan jadwal yang tetap, jelas, dan tidak pernah berubah. Tidak ada antrean, tidak ada protokol, tidak ada batasan akses. Waktunya selalu terbuka dan dapat dihadiri kapan saja dalam rentang yang telah ditentukan. Apakah kita memenuhi panggilan tersebut sebagaimana kita memenuhi panggilan pejabat?
Pada titik ini, dawuh Gus Mus dalam satu pengajian kitab IdhotunNasi’in yang penulis dengar rutin lewat platform spotify terasa mengena:
Kita ini sering rela menunggu pejabat berjam-jam demi bertemu mereka. Padahal Allah itu open house lima kali sehari. Ironisnya, justru kepada Allah kita sering telat.
Kalimat tersebut bukan sindiran keras, tetapi pengingat yang sederhana. Jika kita mampu menata waktu untuk manusia, seharusnya kita juga mampu menata waktu untuk shalat. Penulis pun mengakui bahwa ia masih sering terlambat menghadap Presiden-nya presiden, Raja-nya para raja. Padahal, perintah shalat bukan hanya kewajiban, tetapi juga undangan untuk hadir di hadapan Allah tanpa perantara dan juga hambatan.
Dalam salah satu hadis, Nabi saw. menjelaskan:
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ. حَدَّثَنَا أَبِي. حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ الْعَيْزَارِ؛ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ قَالَ: حَدَّثَنِي صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ (وَأَشَارَ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ) قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ: أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ «الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا
Aku (Abdullah bin Mas’ud) bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Amalan manakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “(Yaitu) shalat pada waktunya (tepat waktu).” (HR. Muslim: 139)
Hadis ini memberi penegasan bahwa ketepatan waktu bukan sekadar rutinitas, tetapi ukuran kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Shalat yang ditegakkan pada waktunya menunjukkan kesadaran bahwa Allah memberikan lima momentum setiap hari untuk berjumpa, memohon, dan menenangkan diri. Namun, realitasnya, sebagian dari kita justru menjadikan shalat sebagai sisa waktu: jika sempat dilakukan, jika sibuk ditunda, jika lelah ditinggalkan. Padahal, Allah memberikan “open house” yang tidak pernah terlewat dan tidak pernah dibatalkan.
Di sinilah letak pesan artikel singkat ini: shalat seharusnya ditempatkan sebagaimana kita menghadapi pejabat penting atau bahkan jauh lebih tinggi dari itu. Jika untuk manusia saja kita bisa menunggu dan menyesuaikan diri, maka lebih pantas lagi ketika kita mampu menjaga kedisiplinan dalam menghadiri panggilan Tuhan yang setiap hari membuka pintu-Nya lima kali tanpa kenal kata tutup.
Allah tidak meminta kita menunggu lama. Allah hanya meminta kita hadir tepat waktu. Penulis mengetahui bahwa di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai detail waktu shalat seputar batas awal, akhir, dan waktu pelaksanaan yang lebih utama. Perbedaan itu wajar dalam khazanah fikih. Namun, apa pun ragam pandangannya, penghormatan terhadap waktu shalat tetap menjadi ruh yang tidak berubah.
Kesadaran untuk menjaga waktu shalat seharusnya lahir dari rasa malu sebagai hamba. Malu karena kita mampu menunggu pejabat yang bahkan tidak mengenal nama kita, tetapi justru lengah ketika Allah mengundang kita lima kali sehari. Malu karena kita bisa begitu rapi menyesuaikan agenda dalam urusan dunia, tetapi lengah dalam menghadapi perjumpaan dengan Allah.
Shalat bukan sekadar rutinitas harian. Ia adalah undangan untuk hadir dalam waktu yang telah Allah tetapkan dengan penuh kelembutan. Setiap azan adalah tanda bahwa pintu langit kembali dibuka, memberi ruang bagi siapa pun untuk kembali pulang dan menenangkan diri. Pada titik ini, dawuh Gus Mus kembali berdentang kembali, betapa Allah membuka open house lima kali sehari tanpa protokol, tanpa antrean, tanpa batas akses. Tidak ada persyaratan apa pun selain kesediaan untuk datang.
Di penghujung tulisan singkat ini, penulis mengutip hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman: Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR. Muslim: 2675)
Wallahu a’ lam
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah










