Apabila umat Islam pada masa awal telah memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca, dan apabila Nabi Muhammad Saw. telah menganjurkan para sahabat untuk menulis hadis, maka pertanyaan yang muncul sekarang adalah, apakah ada suatu dokumen yang membuktikan bahwa para sahabat telah menulis hadis pada masa itu, atau dengan kata lain apakah ada kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa awal Islam? Pertanyaan ini penting karena menyangkut orisinalitas dan autentisitas hadis sebagai sumber ajaran Islam. Pertanyaan semacam ini selalu muncul ke permukaan karena masih ada sementara orang yang beranggapan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Karena al-Zuhri wafat pada tahun 123 H, maka ada orang yang berkesimpulan bahwa penulisan hadis yang pertama kali itu dilakukan jauh sesudah Nabi Saw. wafat. Karena jauhnya jarak waktu antara masa hidup Nabi Saw. dengan penulisan hadis beliau, maka mungkin sekali terjadi pemalsuan-pemalsuan terhadap hadis sehingga otentisitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan karenanya hadis tidak dapat dijadikan sumber syariat Islam. Dari sinilah penting untuk menelusuri bukti-bukti tertulis dari masa awal Islam, khususnya masa sahabat, untuk menjawab keraguan terhadap validitas hadis sebagai sumber hukum Islam.
Meskipun anggapan di atas telah dijawab bahwa apa yang dilakukan al-Zuhri itu adalah mengumpulkan tulisan-tulisan hadis, bukan menulis hadis untuk pertama kalinya, namun pertanyaan di atas tetap menggoda sementara orang mengingat Al-Qur’an merupakan kitab tertulis yang ditinggalkan Nabi Saw. sehingga layak menjadi sumber syariat Islam, berbeda halnya dengan apa yang disebut hadis.[1] Oleh karena itu, perlu dihadirkan bukti-bukti historis bahwa hadis juga telah ditulis sejak masa Nabi Saw. Maka, pada artikel kali ini, penulis akan memberikan beberapa contoh dan penjelasan tentang kitab-kitab hadis yang sudah ada sejak awal masa Islam. Penelusuran ini akan dimulai dengan menjelaskan berbagai istilah dan bentuk tulisan yang digunakan dalam mencatat hadis pada masa itu.
Kitab dan Shahifah
Ada beberapa istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadis klasik untuk menunjuk kepada catatan-catatan atau tulisan-tulisan hadis. Istilah-istilah itu ialah daftar, kurrasah, diwan, kitab, shahifah, tumar, darj, dan lain-lain. Daftar, kurasah, diwan, kitab, dan shahifah adalah alat tulis yang datar di mana bentuk luarnya mirip buku yang dikenal sekarang ini, sementara tumar dan darj biasanya merupakan alat tulis yang panjang dan digulung. Berbeda halnya dengan buku-buku yang dikenal sekarang ini, di mana pengarang atau penulisnya memberikan nama tertentu untuk karya tulisnya itu, kitab-kitab pada masa awal Islam tidak selamanya demikian. Tidak kurang dari 52 orang sahabat Nabi Saw. telah menulis kitab (shahifah) yang berisi hadis-hadis yang mereka terima dari Nabi Saw., atau mereka mendiktekan hadis-hadisnya kepada para muridnya. Namun mereka tidak memberikan nama tertentu kepada kitab-kitab yang mereka tulis, kecuali beberapa orang saja yang akan dituturkan nanti.[2] Untuk menggambarkan lebih lanjut, berikut beberapa contoh shahifah milik para sahabat.
Misalnya sahabat Ali bin Abu Thalib, beliau memiliki shahifah (buku) yang selalu diikatkan di pedangnya. Shahifah ini berisi hadis-hadis Nabawi tentang hukum pidana, zakat, dan sebagainya. Karena shahifah itu tidak memiliki nama tertentu akhirnya ia hanya dikenal sebagai Shahifah Amir al-Mu’minin Ali bin Abu Thalib. Terkadang shahifah beliau itu juga disebut dengan kitab saja. Seperti dituturkan oleh putra beliau sendiri Muhammad bin Ali bin Abu Thalib (w. 81 H) yang populer dengan panggilan Ibn al-Hanafiyah; katanya, “Ayahku berkata, ‘Ambillah kitab ini dan bawalah kepada Utsman’.”[3]
Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga mempunyai kitab hadis yang beliau tulis dengan tangan beliau sendiri. Begitu pula para sahabat yang lain, seperti Sa’ad bin Ubadah al-Anshari (w. 15 H), Abu Rafi’ mantan sahaya Nabi Saw. (w. 35 H), Asma binti Umais (w. 38 Η), Samurah bin Jundub (w. 60 H), Abdullah bin Umar (w. 73 H), Jarir bin Abdullah (w. 78 H), dan lain-lain, mereka memiliki kitab-kitab hadis. Bukti ini menunjukkan bahwa praktik penulisan hadis memang telah dilakukan oleh para sahabat secara langsung, bukan baru muncul pada masa tabi’in atau setelahnya.
Al-Shahifah al-Shadiqah
Di samping istilah shahifah, ada juga istilah nuskhah, seperti Naskah Samurah bin Jundub yang disebut di atas tadi. Pengertian nuskhah di sini sama dengan shahifah, yaitu catatan-catatan atau tulisan-tulisan hadis. Baik nuskhah maupun shahifah umumnya dinisbahkan (dikaitkan) dengan nama penulisnya, karena seperti dituturkan di depan, para penulisnya tidak memberikan nama tertentu bagi tulisannya itu. Namun demikian, ada sementara sahabat Nabi Saw. yang sudah memberikan nama tertentu bagi karya tulisnya, seperti halnya orang sekarang. Salah satunya adalah Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash (7 H – 65 H). Beliau memberikan nama bagi shahifahnya dengan nama al-Shadiqah. Sebagai seorang penulis yang ulung di kalangan para sahabat, beliau memperoleh izin dari Nabi Saw. untuk menulis hadis-hadisnya. Karenanya, beliau banyak menulis hadis.[4]
Dan tampaknya, Abdullah bin ‘Amr ini adalah orang yang pertama kali menulis hadis di hadapan Nabi Saw. Karenanya, beliau merasa bangga sekali dengan kitabnya itu. Sampai beliau pernah mengatakan, “Tidak ada yang saya senangi di dunia ini kecuali al-Shadiqah dan al-Wahdh. al-Shadiqah adalah shahifah (buku) yang berisi hadis-hadis yang saya tulis dari Nabi Saw., sedangkan al-Wahdh adalah tanah yang diwakafkan oleh ayahku Amr bin al-‘Ash“.[5] Kitab al-Shadiqah ini beliau simpan di dalam sebuah peti kayu agar tidak rusak atau hilang. Dan menurut Ibn al-Atsir, kitab tersebut memuat seribu buah hadis, namun menurut sumber lain jumlah hadisnya hanya lima ratus buah saja. Sementara pada saat ini kita tidak dapat menemukan naskah asli kitab tersebut, yang ada hanyalah salinannya saja yang selengkapnya termuat dalam al-Musnad adanya Imam Ahmad bin Hanbal dan kitab-kitab yang lain.[6] Walau bagaimana pun, kitab al-Shadiqah ini merupakan dokumen ilmiah yang sangat penting karena ia membuktikan adanya penulisan hadis di hadapan Nabi Saw. sendiri dan atas izin dari beliau. Penemuan semacam ini menjadi lebih kuat ketika kita melihat adanya naskah lain yang masih bisa diakses hingga hari ini, seperti al-Shahifah al-Shahihah karya Hammam bin Munabbih.










