Kawin Kontrak atau dalam islam menyebutnya Nikah Mut’ah. Secara terminologis, dapat didefinisikan sebagai pernikahan yang dibentuk untuk jangka waktu yang disepakati oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan
Nikah Mut’ah, sering disebut sebagai pernikahan sementara atau sekarang lebih di kenal Kawin Kontrak, merupakan fenomena unik dalam tradisi pernikahan Islam. Bentuk pernikahan ini melibatkan komitmen dengan batas waktu tertentu.
Nikah Mut’ah ditandai dengan sifatnya yang sementara, dimana durasi pernikahan secara jelas ditentukan. Berbeda dengan pernikahan pada umumnya yang bertujuan sampai akhir hayat, serta merupakan perjanjian pribadi secara lisan antara seorang pria dan seorang wanita, tanpa memandang status pernikahan mereka, baik itu seorang gadis, seorang janda cerai, atau seorang janda yang ditinggal mati.
Ciri Khas Kawin Kontrak/Nikah Mut’ah
Bentuk Pernikahan Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah, sebagai bentuk pernikahan yang unik, secara eksplisit ditetapkannya jangka waktu hubungan pernikahan dan mahar yang ditentukan, tidak adanya wali dan saksi, status anak-anak dari Nikah Mut’ah yang setara dengan pernikahan permanen, tidak adanya hak warisan kecuali ditetapkan dalam akad, tidak adanya talak sebelum kontrak pernikahan berakhir, pelaksanaan ‘iddah dua kali, dan tidak ada nafkah ‘iddah.
Dalam segi tujuan, pernikahan permanen bertujuan melahirkan keturunan, ibadah, dan membangun keluarga Sakinah, Mawaddah Warrahmah, tujuan utama. Sedangkan Nikah Mut’ah hanya bertujuan untuk kenikmatan seksual (istimta’).
Kewajiban Antar Pasangan yang Minim
Berbeda dengan pernikahan permanen, Nikah Mut’ah tidak banyak kewajiban timbal balik antar pasangan. Pria tidak berkewajiban menyediakan nafaqah (kebutuhan sehari-hari) untuk istrinya, dan wanita memiliki tanggung jawab yang lebih sedikit, terutama terkait ketaatan pada suami.
Peran Kepala Keluarga dan Pewarisan
Dalam pernikahan permanen, istri harus menerima suami sebagai kepala rumah tangga. Sebaliknya, Nikah Mut’ah memungkinkan fleksibilitas dalam peran, dengan pengaturan berdasarkan keputusan bersama. Selain itu, tidak ada pembagian hak warisan dalam pernikahan ini, tidak seperti hak warisan dalam pernikahan umumnya.
Sejarah Singkat Kawin Kontrak/Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah muncul dalam corak adat Arab Jahiliyah, Nabi Muhammad pernah memperkenalkannya selama masa konflik periode Madinah. Namun, berbagai hadis menunjukkan larangan terhadap pernikahan Mut’ah, Adapun informasi hadis-hadis tentang larangan kawin mut’ah menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak mutawatir menurut golongan yang menghalalkan, amkan, sebagai terlihat nanti dalam uraian selanjutnya, Riwayat-riwayat itu sebagian menyatakan nikah mut’ah diharamkan pada Perang Khaibar, sebagian riwayat pada masa penaklukkan Mekkah. ada yang menyebut ketika perang Tabuk. Al-Nawawi menyebut bahwa nikah mut’ah itu dihalalkan sebelum Perang Khaibar, kemudian pada peperangan ini diharamkan, lalu dihalalkan pada waktu penaklukan Mekkah yang dikenal dengan “tahun Autas” dan sesudah tiga hari diharamkan dalam waktu tak terbatas
Perbedaan Pendapat Ulama dan Dasar Hukumnya
Diskusi mengenai Nikah Mut’ah berkisar pada dua aliran utama, masing-masing menyajikan seperangkat dalil atau bukti.
Aliran Pertama: Dasar Hukum Pelarangan
Perspektif ini mengutip beberapa dalil, seperti
Al-Mukminun (23): 5-7.
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”
Poin utama di sini adalah membatasi hubungan seksual yang halal hanya kepada istri atau budak yang Di luar ini sebagai nikah mut’ah tidak boleh, karena tidak berfungsi sebagai istri.
Al-Hadis:
“Telah bersabda Rasulullah saw. Sungguh aku telah bolehkan kepada mu nikah mut’ah dengan para wanita, dan sungguh Allah telah mengharamkan yang demikian itu sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang ada punya wanita, maka hendaklah ikuti jalan-Nya, dan jangan mengambil dari mahar yang telah kamu berikan padanya“
Hadist diatas menunjukkan awalnya diperbolehkan lalu haramkannya oleh Rasulullah saw. Menurut aliran ini, pembolehan awal atas Nikah Mut’ah telah dihapuskan, menegaskan ketetapan hukum yang melarangnya.
Kabar Sahabi juga menjadi bukti bahwa Rasulullah saw. mengharamkan Nikah Mut’ah. Mereka menyimpulkan bahwa pernikahan sementara ini semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan nafsu syahwat, menyerupai perilaku zina.
Selain itu, pandangan aliran ini menekankan bahwa Nikah Mut’ah berpotensi membahayakan perempuan, menggambarkannya sebagai suatu bentuk pernikahan yang merugikan anak-anak. Dalam perspektif ini, pernikahan dalam Islam diidealkan sebagai kondisi hubungan suami istri yang stabil, menempatkan dasar keluarga yang kokoh, dan menolak gagasan perceraian.
Aliran Kedua: Dasar Hukum Penghalalan
Aliran kedua melihat Nikah Mut’ah dari perspektif yang berbeda. Mereka merujuk pada beberapa dalil untuk mendukung pandangan mereka, diantaranya :
Al-Quran surat Al-Nisa (4): 24
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”.
Ayat tersebut dijadikan landasan, yang menghalalkan mencari istri-istri dengan harta untuk dikawini, dengan memberikan mahar secara sepenuhnya. Mereka menafsirkan bahwa ayat ini melibatkan pernikahan baik untuk jangka waktu tertentu (mut’ah) maupun permanen.
Khabar Sahabi
seperti riwayat Jabir bin Abdullah, menjadi argumen bagi aliran kedua. Jabir menyatakan bahwa pada masa Rasulullah saw, beberapa sahabat melaksanakan Nikah Mut’ah. Meskipun terdapat pandangan yang menyatakan larangan atas Mut’ah pada periode tertentu, aliran ini berpendapat bahwa pandangan ini bersifat zanni (bersifat dugaan atau tidak pasti).
Kritik atas aliran kedua mencuat terutama terkait interpretasi ayat Al-Nisa (4): 24. Aliran pertama menegaskan bahwa ayat ini tidak menyelesaikan isu Mut’ah, melainkan berkaitan dengan pernikahan yang tidak disertai saksi atau pernikahan sir. Namun, aliran kedua berpendapat bahwa ayat ini mencakup seluruh hukum nikah, termasuk Nikah Mut’ah.
Kritik juga dilontarkan terhadap khabar sahabi yang mengizinkan Mut’ah pada masa Rasulullah saw. Aliran pertama berpendapat bahwa khabar tersebut sudah mansukh (dibatalkan) oleh dalil-dalil yang melarang Mut’ah secara permanen.
Keseluruhan, perdebatan antara dua aliran ini mencerminkan kompleksitas dan keragaman dalam penafsiran hukum Islam terkait Nikah Mut’ah. Pemahaman dan interpretasi ayat-ayat serta hadis memainkan peran kunci dalam membentuk pandangan masing-masing aliran.
Penutup
Nikah Mut’ah, dengan segala kontroversinya, tetap menjadi topik yang memicu perdebatan dan diskusi di kalangan umat Islam. Dalam konteks perkawinan, pertentangan pandangan antara yang menghalalkan dan melarang mencerminkan keberagaman dalam penafsiran dan pemahaman ajaran Islam. Dengan terus menjelajahi dalil-dalil dan meresapi sejarahnya, masyarakat Islam dapat memperkaya pemahaman mereka tentang Nikah Mut’ah dan meresponsnya sesuai dengan nilai dan prinsip keagamaan yang mereka anut.