Manusia dengan segala kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya telah terbukti menjadi puncak piramida kehidupan dunia ini. Pembaharuan demi pembaharuan yang diciptakannya silih berganti dengan sangat cepat. Laju teknologi pun tak terbendung berbanding lurus dengan kemajuan zaman. Tak terbantahkan bahwa hal ini membawa banyak manfaat dan kemudahan bagi peradaban manusia, tapi apakah hal itu sebanding dengan kerusakan yang didatangkannya? Apakah segala teknologi yang katanya membawa perbaikan bagi seluruh penduduk bumi ini benar-benar berlaku demikian atau hal itu hanyalah sebuah proyeksi kerakusan manusia?
Kita dihadapkan pada pertanyaan serius yang tidak akan selesai hanya dengan kata-kata maupun tulisan belaka. Manusia selama ini terkungkung dalam pemikiran bahwa dialah makhluk berkuasa yang semua keinginannya mengalahkan eksistensi selainnya. Alam sebagai eksistensi di luar manusia dianggap tidak memiliki nilai intrinsik yang membuatnya berharga kecuali nilai yang disematkan oleh manusia itu sendiri. Alam dipandang layaknya pelacur guna memuaskan syahwat eksploitatif manusia, yang dinikmati tanpa adanya rasa kewajiban dan tanggung jawab terhadapnya.
Antroposentrisme adalah istilah yang merujuk pada pandangan semacam itu. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi dari alam dan oleh karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut.1 Hal ini bermula setelah zaman renaisans, yang ditandai dengan kebangkitan industrialisasi di Barat. Pada waktu itu, manusia menemukan kesadaran baru bahwa mereka adalah makhluk yang sangat penting di dunia ini dan bahwa mereka adalah makhluk berbeda yang menduduki posisi tertinggi di alam ini. Kesadaran ini dilandasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan setelah zaman renaisans yang berlanjut hingga saat ini. Cara pandang antroposentris ini muncul sebagai respons terhadap kesadaran manusia di abad tengah, yang dianggap terlalu geosentris dan membelenggu kebebasan manusia.2
Berseberangan dengan pemikiran di atas, Islam datang dengan teori etika yang holistik serta tidak mendikotomikan antara manusia dengan alam. Manusia dan alam adalah satu kesatuan, sama-sama makhluk Tuhan yang fana. Walaupun memang manusia lebih unggul dibandingkan seluruh eksistensi lain (Al-Isra’ 17:70) dan segala sesuatu yang ada di semesta ini ditundukkan bagi manusia (Al-Jatsiyah 45:13), (Luqman 31:20). Namun jika kita menelisik lebih dalam, kita akan menjumpai bahwa posisi yang disematkan oleh Tuhan kepada manusia sebenarnya adalah sebagai khalifah.
Al-Baghawi dalam kitabnya Ma’alim at-Tanzil mengatakan:
3.وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ فِي أَرْضِهِ لإقامة أحكامه وتنفيذ قضاياه.
“Pendapat yang benar mengenai makna khalifah ini adalah: yang menjadi wakil Allah SWT di bumi-Nya untuk menegakkan hukum-hukum-Nya serta melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya.”
Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap alam raya ini. Ia akan bertindak sebagai wakil Allah di bumi. Jika Allah adalah sang pencipta bumi dan jagat raya ini maka manusia sebagai wakil Allah haruslah memelihara ciptaan-Nya tersebut. Untuk membantu tugas kekhalifahan ini, Allah menyerahkan seluruh potensi bumi dan jagat raya ini kepada manusia untuk mereka gunakan dalam rangka memakmurkan kehidupannya. Itulah anugerah dan rahmat Allah kepada manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Jatsiyah 45:13.4
Dalam istilah modern, gaya pandang semacam ini disebut dengan istilah ekosentrisme, yang berasal dari dua kata yaitu “Oikos” yang merupakan bahasa Yunani yang memiliki makna habitat (tempat tinggal) atau rumah (tempat tinggal). Sedangkan “Centrum” yang berarti pusat atau garis tengah. Maka, ekosentrisme dapat didefinisikan sebagai etika lingkungan hidup yang berpusat pada keseluruhan ekologis yang ada di bumi. Ekologis di sini mencakup biotik (makhluk hidup) dan abiotik (benda mati). Ekosentrisme memandang kehidupan yang ada di bumi sebagai sesuatu yang saling terikat, menopang satu sama lain, saling membutuhkan untuk keberlangsungan ekosistemnya.5
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa ajaran Islam mengambil posisi yang moderat. Ia menekankan bahwa manusia hanyalah setetes air dari samudera kehidupan yang telah diciptakan Tuhan, dan tidak menafikan manusia sebagai makhluk yang mempunyai otoritas untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di semesta ini guna memakmurkan kehidupan. Manusia dimudahkan dalam memanfaatkan segala sesuatu yang ada di bumi ini, oleh karena itu ia akan dimintai pertanggung jawaban atas bagaimana dia memperlakukan alam ini. sebagaimana firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (Al-Mulk 67:15).
Abu Mansur al-Maturidi ketika menafsirkan ayat ini antara lain menulis bahwa jika Allah menundukkan bumi untuk manusia, itu agar dia dapat melangkah di permukaan bumi-Nya yang luas, dan memakan dari sebagian rezeki yang Dia anugerahkan, maka tidak mungkin penciptaan ini dilakukan dengan sia-sia atau tanpa tujuan. Pastilah akan tiba saatnya manusia kembali kepada-Nya, untuk ditanya mengenai apa tujuan penciptaan ini baginya; apakah manusia telah memenuhi amanah itu atau tidak. Dan jika telah terbukti bahwa bumi ini tidak diciptakan dengan sia-sia, melainkan sebagai ladang ujian, mau tidak mau manusia akan dibangkitkan kembali kepada-Nya, untuk menyampaikan apa yang telah mereka lakukan dengan ujian yang telah diberikan-Nya.6
Rasulullah SAW sebagai perwujudan dari nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri senantiasa mengajarkan kode etik yang berlaku dalam interaksi antara manusia dengan alam. Sebagian etika itu dapat berupa anjuran yang kuat seperti:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا»
“Jika hari kiamat terjadi, dan di tangan salah seorang dari kalian ada benih pohon, jika dia masih bisa menanamnya sebelum kiamat tiba, maka tanamlah.”7
Lihat betapa Rasulullah sangat menganjurkan menanam pohon dan memelihara tanaman, bahkan jika itu adalah tindakan terakhir yang bisa dilakukan oleh seseorang. Dan sebagian etika itu ada pula yang berupa ancaman:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا مِنْ إِنْسَانٍ يَقْتُلُ عُصْفُورًا فَمَا فَوْقَهَا بِغَيْرِ حَقِّهَا إِلَّا سَأَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ» قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا حَقُّهَا؟ قَالَ: «حَقُّهَا أَنْ يَذْبَحَهَا فَيَأْكُلَهَا وَلَا يَقْطَعَ رَأْسَهَا فَيَرْمِيَ بِهِ»
“Tiada seorang pun yang membunuh seekor burung pipit atau yang lebih besar dari itu tanpa haknya, kecuali Allah ‘Azza wa Jalla akan menanyainya tentang hal itu pada hari kiamat.” Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, apa haknya?” Beliau menjawab: “Haknya adalah bahwa ia harus menyembelihnya dan memakannya, dan jangan memotong kepalanya lalu membuangnya begitu saja.”
“عن عبدِ الله بنِ حُبْشِئيٍّ، قال: قال رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم-: “مَنْ قَطَعَ سِدْرَةَ صَوَّب اللهُ رأسَهُ في النارِ”
“Barang siapa yang menebang pohon bidara (tanpa alasan), Allah akan menundukkan kepalanya ke neraka.”8
Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menyatakan bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan alam, yang penulis tidak bisa tuliskan semua di artikel ini.
Setelah pemaparan di atas, jelaslah bagi kita bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini pada hakikatnya bukan milik kita, kita hanya diberi wewenang untuk memanfaatkan bukan untuk memiliki. Lebih dari itu manusia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap semua yang telah dilakukannya terhadap alam ini. Kita tidak lebih dari sekedar tamu yang datang belakangan di bumi ini, lalu pantaskah seorang tamu merusak tatanan rumah yang dikunjunginya? Tamu yang baik adalah tamu yang mengetahui kapan dia boleh memakan suguhan dan tidak meminta yang muluk-muluk kepada tuan rumah.
Jangan menganggap remeh perkara ini. Bumi ini adalah milik Tuhan semata, kita tidak berhak mengklaim bahwa tanah yang sekarang kita pijak adalah hak kita yang terserah mau kita apakan. Namun, masalah alam ini adalah masalah kita bersama, jika tidak bisa menghentikan masalah ini, maka jangan membuat masalah baru. Mulailah dari diri kita sendiri, berkomitmenlah untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak tanaman, tidak membunuh hewan tanpa tujuan, menghemat sumber daya alam, dll. Berlombalah untuk turut andil menuai peran khalifah Allah di bumi ini, dan ingatlah selalu bahwa segala sesuatu di dunia ini satu adanya. Salam.
Penulis merupakan Mahasantri semester 3 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.
- Amirullah, “Krisis Ekologi: Problematika Sains Modern,” Lentera, Vol. 18, No. 1, (2015): 3 ↩︎
- Diah Qurrotul’ain, Achmad Khudori Soleh, “Krisis Lingkungan (Human-Ekologi) dalam Pandangan Filsafat Mulla Shadra,” Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 5, No. 6, (2024): 254 ↩︎
- Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, 1420 H), jilid 1, 102. ↩︎
- Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tumbuhan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011), 216. ↩︎
- Ari Dhika Hidayatullah, Etika Lingkungan Ekosentrisme Terhadap Sistem Pengelolaan Sampah Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Troketon Pedan, (Skripsi Sarjana, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, 2023): 52 ↩︎
- Abu Mansur Muhammad al-Maturidi, Ta’wilat Ahl as-Sunnah (Tafsir al-Maturidi), (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H-2005), jilid 10, 115. ↩︎
- Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, (Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1989), 168. ↩︎
- Abu Dawud Sulaiman as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar ar-Risalah al-Alamiyyah, 2009), jilid 7, 525. ↩︎