Sahur adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. yang sangat dianjurkan bagi orang yang hendak berpuasa. Sahur bukan sekadar makan dan minum di waktu dini hari, terlepas dari itu ia memiliki makna spiritual yang dalam serta mengandung keberkahan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam suatu hadis muttafaq alaih,
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةٌ
“Bersahurlah, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.”[1]
Makna dari keberkahan ini mencakup keberkahan fisik agar tubuh kuat dalam menjalani puasa dan keberkahan istimewanya waktu sahur sebagai waktu dikabulkannya doa dan dibukanya pintu ampunan karena di waktu tertentu Allah Swt. menurunkan rahmat-Nya.[2]
Beralih dari sahur, dalam kerangka puasa khususnya waktu sahur, ada yang namanya waktu imsak, di sini para ulama sepakat bahwa waktu pelaksanaan sahur berlangsung hingga terbitnya fajar (waktu subuh), yang juga menjadi awal waktu imsak.
Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 187:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Makna kata imsak sendiri secara bahasa berarti menahan, adapun penggunaan kata imsak dalam konteks puasa mengandung makna menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa atau batas waktu memulai puasa dimulai dari terbitnya fajar shadiq (waktu subuh) sampai terbenamnya matahari (waktu maghrib).[3]
Di beberapa negara mayoritas muslim terutama Indonesia menerapkan waktu imsakiyah biasanya 10 menit sebelum adzan subuh berkumandang. Namun istilah imsakiyah ini tentu berbeda dengan pengertian kata imsak secara bahasa karena sejatinya pada waktu imsakiyah seseorang tetap dibolehkan untuk makan dan minum.
Pemberlakuan waktu imsakiyah ini bukanlah sesuatu yang tidak berdasar karena sebenarnya praktek ini merupakan bagian dari ibadah yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw. Dalam hadis shahih riwayat Muslim dari Anas Ra, dari Zaid bin Tsabit r.a., ia berkata
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ. ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ
قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آية
“Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., dan sesudah itu kami beranjak untuk menunaikan salat.” saya bertanya, “Kira-kira berapa lama jarak antara makan sahur dan salat.” Ia menjawab, “Kira-kira selama pembacaan lima puluh ayat.”[4]
Hadis di atas menjelaskan tentang jarak waktu di mana Rasulullah Saw. menyudahi makan sahurnya sampai terbitnya fajar shadiq atau waktu subuh, di waktu tersebut beliau gunakan untuk melaksanakan salat malam dengan durasi pembacaan sekitar 50 ayat Al-Qur’an. Kebiasaan orang arab ketika menjelaskan tentang durasi waktu tertentu mereka akan memperkirakannya dengan durasi suatu pekerjaan, dalam hadis tersebut sahabat Zaid bin Tsabit mengkalkulasi waktu dengan durasi bacaan 50 ayat dengan durasi bacaan normal, yakni tidak terlalu cepat tidak pula lambat.[5]
Jika dikonversi ke hitungan menit, maka durasi ini bisa bervariatif, semisal dalam 1 halaman terdapat 15 ayat membutuhkan waktu 3 menit, maka jika 50 ayat akan memakan waktu 10 menit.
Menurut syekh Abu Bakar Syata, pelaksanaan makan sahur sebagaimana dalam hadis tersebut merupakan waktu diperolehnya kesunnahan untuk mengakhirkan makan sahur agar orang yang berpuasa terhindar dari keraguan apakah ia telah memasuki waktu terbitnya fajar atau belum.[6]
Hal berdasarkan hadis riwayat sayyidina Hasan bin Ali, Rasulullah saw bersabda
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ.
“Tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu, dan kerjakanlah sesuatu yang tidak membuatmu ragu.”[7]
Kesimpulannya, waktu imsak (berhenti makan dan minum) beberapa menit sebelum adzan subuh bukanlah suatu kewajiban, akan tetapi hal ini merupakan bentuk kehati-hatian (ihtiyath) agar orang yang masih makan dan minum ketika sahur tidak terlewat sampai waktu subuh.
[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 1923, 3/29, Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, no. 1095, 3/130
[2] Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ala Muslim, 7/206
[3] Ahmad Mukhtar Umar, Mu’jamu al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, 3/2099
[4] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim no. 1097, 2/771
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/138
[6] Abu Bakar Syata, I’anatu al-Thalibin 2/277
[7] al-Nasa’i, As-Sunan al-Kubra no. 5201, 5/117
Penulis: Mahasantri M2 (Marhalah Tsaniyah) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.