Dalam sejarah peradaban Islam, para muhaddisin (ahli hadis) dan fuqaha (ahli fikih) memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga, mengembangkan, dan menerapkan ajaran Islam. Muhaddisin berfokus pada pengumpulan, perawatan, dan kritik terhadap hadis perkataan, perbuatan, serta ketetapan Nabi Muhammad Saw. yang menjadi sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. Sementara itu, fuqaha bertugas menggali hukum dari Al-Qur’an dan hadis serta menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga kemurnian ajaran Islam, hubungan antara muhaddisin dan fuqaha sering kali diwarnai oleh perbedaan metodologi dan perspektif. Para muhaddisin cenderung sangat ketat dalam menilai keabsahan suatu hadis berdasarkan sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi hadis), sedangkan fuqaha lebih menekankan pada pemahaman kontekstual serta penerapan hukum dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sering kali menimbulkan perselisihan, terutama ketika fuqaha menerima hadis yang dinilai lemah oleh muhaddisin atau ketika muhaddisin tidak sepakat dengan metode istinbat (pengambilan hukum) yang digunakan oleh fuqaha.
Dalam perjalanan sejarahnya, para ulama terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu mazhab Ahlul Hadis di Hijaz dan mazhab Ahlur Ra’yi di Irak. Kedua kelompok ini sering kali terlibat dalam kritik yang cukup tajam terhadap satu sama lain. Ahlur Ra’yi menganggap Ahlul Hadis terlalu banyak mengandalkan periwayatan hadis, yang menurut mereka dapat mengurangi kedalaman pemahaman serta perenungan terhadap hukum Islam. Sementara itu, Ahlul Hadis menilai Ahlur Ra’yi terlalu bergantung pada dugaan (zhan) dalam beragama dan lebih mengutamakan akal dalam menetapkan hukum, yang berpotensi menjauh dari sumber asli ajaran Islam.[1]
Dalam tulisan ini, penulis berupaya membuktikan bahwa pada hakikatnya, baik muhaddisin maupun fuqaha memiliki peran yang saling melengkapi dalam perkembangan ilmu keislaman. Kontribusi masing-masing pihak tidak dapat dipisahkan, karena keduanya berperan dalam menjaga otoritas dan relevansi hukum Islam. Muhaddisin berperan dalam memastikan keautentikan dan kesinambungan sanad dalil yang digunakan dalam hukum Islam, sehingga dapat ditelusuri hingga Rasulullah Saw. Sementara itu, fuqaha bertugas mengolah dalil yang telah dikaji oleh muhaddisin, kemudian menafsirkannya dalam konteks yang lebih luas agar dapat diterapkan secara tepat dalam kehidupan umat. Dengan demikian, hubungan antara kedua disiplin ini bukanlah bentuk pertentangan, melainkan sinergi yang memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Sejak masa Rasulullah Saw., kebohongan atas nama beliau telah mendapat peringatan keras, bahkan diancam dengan azab neraka. Karena itu, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Sikap kehati-hatian ini terus berkembang hingga seluruh sunnah terdokumentasikan pada masa periwayatan melalui berbagai catatan dan kitab. Namun, seiring waktu, muncul ancaman berupa pemalsuan dan penyebaran hadis-hadis palsu. Untuk menghadapinya, para ulama dari kalangan muhaddisin menyusun metode ketat dalam menjaga keaslian hadis. Salah satu cara utama adalah dengan mensyaratkan sanad rantai perawi yang terpercaya pada setiap riwayat. Tidak hanya itu, pada masa setelah periwayatan, setiap salinan kitab juga diperiksa keshahihannya melalui sanadnya.[2]
Upaya ketat dalam menjaga keaslian hadis memiliki dampak yang sangat signifikan dalam memastikan kemurnian sumber hukum Islam. Sebagai fondasi utama dalam memahami ajaran Rasulullah Saw. hadis harus terbebas dari distorsi dan pemalsuan. Dalam hal ini, para ulama dari kalangan muhaddisin berperan sebagai garda terdepan dalam menyeleksi, mengklasifikasi, dan mengautentikasi setiap riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. Dedikasi mereka dalam meneliti sanad dan matan hadis melalui metode ilmiah yang ketat menjadikan upaya pemalsuan hadis hampir mustahil untuk lolos dari pengawasan mereka. Oleh karena itu, jasa para muhaddisin dalam menjaga keaslian sumber ajaran Islam tidak dapat diragukan lagi, karena merekalah yang memastikan bahwa umat Islam tetap berpegang pada ajaran yang otentik dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw.
Meskipun kontribusi para ulama muhaddisin dalam menjaga keaslian sumber hukum Islam tidak diragukan lagi, hal ini tidak berarti bahwa mereka dapat berdiri sendiri dalam pengembangan keilmuan Islam. Kajian lapangan menunjukkan bahwa para muhaddisin terkadang mengalami kesalahan dalam memahami makna suatu hadis yang mereka riwayatkan. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, mengingat fokus utama mereka adalah memastikan keabsahan sanad dan matan hadis agar tetap merujuk kepada sumber aslinya, yakni Rasulullah Saw. Namun, aspek pemahaman isi hadis secara kontekstual dan relevan dengan perkembangan zaman bukanlah bidang utama para muhaddisin. Oleh karena itu, peran para ulama fuqaha menjadi sangat penting dalam menafsirkan dan menjelaskan kandungan hadis agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat.
Sebagai contoh kongkret dari tokoh-tokoh utama yang merepresentasikan kedua bidang di atas, dalam sejarah Islam, terdapat beberapa tokoh utama yang secara jelas merepresentasikan perbedaan sekaligus sinergi antara muhaddisin dan fuqaha. Di antara muhaddisin, Imam Al-Bukhari (810-870 M) dan Imam Muslim (821-875 M) adalah dua figur yang sangat berpengaruh dalam menjaga keotentikan hadis. Imam Al-Bukhari terkenal dengan standar ketatnya dalam menerima riwayat, hanya mencatat hadis yang sanadnya bersambung dengan perawi yang memiliki kredibilitas tinggi dalam hal keadilan (‘adalah) dan ketelitian (dabt). Begitu pula Imam Muslim, yang menyusun kitab Shahih Muslim dengan sistematika sanad yang lebih ketat, memastikan bahwa hadis yang dikumpulkan memiliki jalur periwayatan yang kuat dan dapat dipercaya. Fokus utama kedua muhaddisin ini adalah menjaga kemurnian sumber ajaran Islam dengan memastikan bahwa hadis yang mereka riwayatkan benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.
Di sisi lain, fuqaha seperti Imam Abu Hanifah (699-767 M) dan Imam Malik (711-795 M) lebih menitikberatkan pada penerapan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Imam Abu Hanifah, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Hanafi, cenderung menggunakan pendekatan rasional (ra’yu) dalam menetapkan hukum, terutama ketika menemukan hadis yang dhaif atau bertentangan dengan prinsip-prinsip umum syariat. Sebaliknya, Imam Malik mengutamakan tradisi penduduk Madinah sebagai dasar hukumnya, karena ia meyakini bahwa praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah lebih mencerminkan ajaran Islam yang murni. Sementara itu, Imam Asy-Syafi’i (767-820 M) berusaha menjadi jembatan antara kedua pendekatan ini dengan merumuskan metodologi hukum yang lebih sistematis. Dalam kitabnya Ar-Risalah, ia menekankan bahwa hadis memiliki kedudukan fundamental dalam hukum Islam, tetapi tetap harus dipahami dengan kaidah yang jelas agar tidak bertentangan dengan nalar dan prinsip syariat.
Tokoh lain yang mencerminkan persinggungan antara muhaddisin dan fuqaha adalah Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang muhaddis tetapi juga seorang fuqaha yang sangat bergantung pada hadis sebagai dasar hukum Islam. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang lebih fleksibel dalam menerima pemikiran rasional dalam ijtihad, Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum Islam harus semaksimal mungkin bersandar pada teks hadis, bahkan jika hadis tersebut berstatus dhaif dalam pandangan sebagian ulama. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana muhaddisin dan fuqaha memiliki titik temu dan perbedaan yang terus menjadi bahan diskusi dalam tradisi keilmuan Islam.
Dari perbandingan tokoh-tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa muhaddisin dan fuqaha tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan hukum Islam. Muhaddisin berperan sebagai penjaga autentisitas sumber hukum dengan memastikan hadis yang digunakan dalam ijtihad memiliki sanad yang kuat. Sementara itu, fuqaha berperan dalam menafsirkan dan menerapkan hadis dalam konteks yang lebih luas, sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat. Namun, interaksi antara kedua disiplin ini tidak selalu berjalan mulus. Muhaddisin sering kali menolak hadis yang mereka anggap dhaif meskipun fuqaha menggunakannya dalam penetapan hukum. Sebaliknya, fuqaha terkadang menilai pendekatan muhaddisin terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan aspek kontekstual dalam memahami teks-teks keagamaan.
Kesimpulan sementara ini menunjukkan bahwa perbedaan antara muhaddisin dan fuqaha bukanlah sekadar perselisihan metodologi, tetapi merupakan bagian dari dinamika ilmiah dalam Islam yang justru memperkaya khazanah keilmuan. Dalam artikel selanjutnya, penulis akan membahas lebih dalam bagaimana ketegangan dan sinergi antara muhaddisin dan fuqaha berkembang dalam sejarah, serta bagaimana relevansinya dalam era modern, terutama dalam menghadapi tantangan global yang menuntut fleksibilitas hukum Islam tanpa mengabaikan otentisitas sumbernya.
Pembahasan akan dilanjut ke artikel selanjutnya…
[1] Ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawḍat al-Nāẓir wa Jannat al-Manāẓir fī Uṣūl al-Fiqh ʿalā Madhhab al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal. (Beirut: Mu’assasat al-Rayyān li al-Ṭibā‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzī‘, 2002). Juz 1, Hlm 16.
[2] Ḥamzah ‘Abdullāh al-Malībārī, ‘Ulūm al-Ḥadīth fī Ḍaw’ Taṭbīqāt al-Muḥaddiṡīn al-Naqqād, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2003 M), Hlm 174.
Penulis: Mahasantri M2 (Marhalah Tsaniyah) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.