Dalam beberapa abad terakhir, manusia telah melaju terlalu cepat. Sejak mesin uap pertama kali menggerakkan pabrik-pabrik di Inggris abad ke-18, bumi tak pernah lagi benar-benar tenang. Revolusi industri yang dipandang sebagai kemajuan besar, seperti ditunjukkan oleh Yuval Noah Harari dalam Sapiens, justru menjadi titik awal eksploitasi sistematis terhadap alam. Manusia tak lagi sekadar mengambil secukupnya dari bumi, tapi mengurasnya, menyiksanya, dan melupakannya. Dalam kerangka produksi massal dan konsumsi tanpa batas, pepohonan kehilangan makna, air kehilangan sakralitas, dan hewan dianggap mesin biologis.1
Namun, krisis ini bukan hanya ekologis, ia juga sosial. Ketika alam dikomodifikasi, hubungan antar manusia pun ikut terdegradasi. Ketimpangan, konflik, dan hilangnya rasa empati menjadi wajah lain dari peradaban modern. Fritjof Capra dalam Jaring Kehidupan mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan dan kehancuran sosial sejatinya bersumber dari satu hal: rusaknya keterhubungan. Manusia tak lagi melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan kehidupan, melainkan penguasa tunggal atasnya.2
Di tengah keterputusan ini, Islam datang tidak hanya sebagai agama, tapi sebagai cara hidup yang menyatukan langit-bumi, ruh-materi, serta manusia-alam. Dan inilah yang tercermin dalam hadis-hadis Nabi saw. Melalui hadis-hadisnya, kita mendapati nilai-nilai ekologis dan sosial yang saling terhubung. Dari perintah menanam pohon, menyayangi hewan, hingga larangan menyia-nyiakan air semuanya menandakan bahwa ekologi dalam Islam tak bisa dipisahkan dari etika sosial.3
Sebagaimana ditegaskan oleh Hussein Nasr dalam Manusia dan Alam Semesta dalam Islam, krisis lingkungan modern hanya bisa disembuhkan jika manusia kembali melihat alam sebagai ciptaan Ilahi, bukan sekadar objek eksploitasi.4 Inilah yang dalam konteks keindonesiaan sering kali diungkapkan oleh Gus Dur: bahwa agama bukan sekadar doktrin, tapi jalan menuju kasih sayang universal. Maka, dalam tulisan ini, kita akan menelusuri kembali ajaran-ajaran Nabi saw. yang bersifat eko-sosiologis yaitu ajaran yang memulihkan hubungan manusia dengan alam dan dengan sesama.5
Di tengah sistem kapitalisme tanah air saat ini, kita terbiasa menganggap lahan sebagai aset. Ia bisa diperjualbelikan, ditimbun, bahkan dikuasai tanpa dimanfaatkan, selama “sertifikatnya sah”. Akibatnya, banyak tanah produktif terbengkalai atau disewakan semata-mata untuk mencari keuntungan, bukan demi kehidupan. Di saat yang sama, orang-orang yang butuh lahan untuk bercocok tanam atau menghidupi keluarganya justru tidak punya akses.
Namun Nabi saw. membawa prinsip yang jauh lebih adil dan berorientasi kehidupan.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانُوا يَزْرَعُونَهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا ، أَوْ لِيَمْنَحْهَا ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
“Dari Jabir ra. berkata, Dahulu ada beberapa orang yang memiliki beberapa tanah lebih, lalu mereka berkata, lebih baik kami sewa-kan dengan hasilnya sepertiga, seperempat atau separuh. Tiba-tiba Nabi saw. bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya ditanami atau diberikan kepada kawannya. Jika tidak diberikan, tahan saja.” (HR. Bukhari: 2340)6
Sekilas -sebagai korelasi dari inti pembahasan kita- hadis ini menunjukkan sikap Nabi saw. terhadap praktik penimbunan tanah. Beliau tidak menyukai sikap “punya tapi tak menanam”. Bahkan lebih lanjut, Nabi saw. mendorong pemilik tanah untuk memberdayakan orang lain, dengan cara meminjamkan, bukan menyewakan, demi menjaga kelangsungan hidup dan penghijauan. Tanah bukan untuk ditimbun atau disandera oleh segelintir orang. Ia harus ditanami, ditumbuhkan, dan dimanfaatkan secara sosial. Inilah prinsip ekologis sekaligus sosial. Nabi saw. tidak sekadar menekankan kebermanfaatan tanah, tapi juga tanggung jawab kolektif atas keberlanjutannya.
Di era sekarang, menebang pohon sering kali dianggap urusan biasa, sebuah bagian dari “pembangunan”. Bahkan hutan-hutan tropis pun digunduli atas nama kemajuan ekonomi, alih-alih memikirkan nasib alam ke depannya. Dalam pandangan Islam, menebang pohon sembarangan adalah tindakan yang bisa menyeret manusia ke jurang murka Ilahi.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ حُبْشِيٍّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ سُئِلَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ ، فَقَالَ : هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ ، يَعْنِي مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلَاةٍ ، يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ وَالْبَهَائِمُ ، عَبَثًا وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ
“Dari Abdullah bin Hubsyi, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa menebang pohon sidrah, maka Allah akan menundukkan kepalanya ke dalam neraka.’ Kemudian Abu Dawud ditanya tentang makna hadits ini, maka ia menjawab:
“Hadits ini adalah ringkasan. Maksudnya adalah barangsiapa yang menebang pohon sidrah yang berada di padang pasir yang biasa digunakan untuk berteduh oleh para musafir dan binatang secara sia-sia dan zalim tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah akan menundukkan kepalanya ke dalam neraka.” (HR. Abu Dawud: 5239)7
Kata sidrah dari segi pendekatan bahasa berbentuk nakirah (umum/tidak tertentu). Oleh sebab itu, kata sidrah ini mencakup setiap pohon bidara di manapun berada.8 Berarti, penyebutan kata sidrah bukan dimaksudkan pohon jenis sidrah saja, tetapi mencakup jenis pepohonan secara keseluruhan. Gaya bahasa ini dikenal dalam ilmu Balaghah dengan istilah dzikr al-juz’ wa iradah al-kull (menyebut bagian, tetapi yang dimaksudkan adalah keseluruhan). Hal ini berarti bahwa hadis ini secara tekstual menyebut jenis pohon (bidara), tetapi yang dimaksudkan hadis (menurut ilmu bahasa) adalah seluruh jenis tanaman apapun. Terlebih lagi bahwa pelarangan penebangan jenis pohon tersebut memiliki tujuan untuk memproteksi pencemaran udara dan dampak pemanasan yang menyengat. Maka, jika satu pohon saja diperlakukan dengan penuh kehormatan dalam Islam, bagaimana mungkin kita merelakan jutaan hektar hutan hilang setiap tahunnya?. Kiranya, hadis ini bisa menegaskan bahwa ekologi bukan sekadar urusan duniawi, tapi bisa menjadi urusan akhirat.
Konservasi alam adalah gagasan yang baru populer di abad ke-20. Namun Islam telah mempraktikkannya sejak abad ke-7, melalui konsep hima kawasan yang dilindungi. Nabi saw. tidak hanya menyampaikan prinsip, tapi membuat kebijakan nyata dengan menetapkan kawasan konservasi alam untuk menjaga sumber air, padang rumput, dan habitat satwa.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ الصَّعْبَ بْنَ جَثَّامَةَ قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا حِمَى إِلَّا لِلهِ وَلِرَسُولِهِ وَقَالَ : بَلَغَنَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمَى النَّقِيعَ ، وَأَنَّ عُمَرَ حَمَى السَّرَفَ وَالرَّبَذَةَ .
“Dari Ibnu ‘Abbas r.a. sesungguhnya Sha’ba bin Jutsamah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tidak ada wilayah larangan (ḥimā) kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.’” Yahya (perawi) berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Nabi ﷺ menetapkan al-Naqī‘ sebagai wilayah larangan, dan Umar juga telah menetapkan al-Saraf dan al-Rabadzah sebagai wilayah larangan (konservasi).” (HR. Bukhari: 2370)9
Konservasi bukan sekadar program pemerintah modern, tapi juga bagian dari warisan kenabian. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, semangat hima (konservasi) bisa menjadi dasar moral untuk memperjuangkan ruang-ruang hijau, hutan adat, dan kawasan lindung.
Di ujung semua ini, ada prinsip yang menjadi jantung peradaban Islam: kasih sayang. Ia bukan hanya ajaran etika, tapi juga energi yang menyatukan semua makhluk. Dalam pandangan Nabi saw., menyayangi makhluk di bumi menjadi jembatan agar kita disayangi oleh makhluk di langit.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ ، الرَّحِمُ شِجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللهُ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Allah Yang Maha Pengasih. Sayangilah siapa yang ada di bumi, niscaya Dia yang di langit akan menyayangi kalian. Rahim (hubungan kekerabatan) adalah cabang yang berasal dari (nama) Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih). Maka siapa yang menyambungnya, Allah akan menyambung (rahmat dan hubungan) dengannya. Dan siapa yang memutusnya, Allah akan memutuskan (rahmat dan hubungan) darinya.” (HR. Tirmidzi: 1924)10
Hadis ini tidak menyebut “sayangilah manusia”, tapi “sayangilah siapa saja di bumi”, mencakup manusia, hewan, bahkan tumbuhan. Inilah prinsip utama eko-sosiologi Islam: bahwa rahmat adalah jembatan antara langit dan bumi.
Dalam masyarakat yang mulai kehilangan empati dan ekosistem yang terus menjerit, hadis ini adalah suara yang paling relevan. Ia tidak hanya menyeru untuk menyelamatkan pohon dan bumi, tapi juga menyelamatkan hati kita yang mulai keras, yang mulai tidak merasa bersalah melihat pohon tumbang atau orang lapar.
Manusia modern sibuk membangun masa depan: dari kecerdasan buatan hingga kota masa depan, namun sering lupa pada bumi tempat ia berpijak. Pohon ditebang lebih cepat daripada anak-anak belajar menyebut namanya, dan kasih sayang perlahan tergantikan oleh relasi dingin dan transaksional.
Padahal, jauh sebelum istilah “krisis lingkungan” dikenal, Nabi saw. telah menunjukkan jalan: menanam pohon, meminjamkan tanah, menyayangi hewan, bahkan menyayangi semua yang ada di bumi ini. Semua itu bukan sekadar anjuran, tapi potret dari spiritualitas yang berpijak ke tanah dan menjulang ke langit.
Yuval Noah Harari sedikit mengingatkan: kita makin kuat secara teknologi, tapi makin kehilangan makna. Maka pertanyaannya: apa yang masih kita sayangi?. Apakah kita masih punya ruang untuk mencintai pohon seperti kita mencintai proyek masa depan?.
Dan siapa tahu, amal yang menolong kita kelak bukan prestasi yang dielu-elukan, melainkan satu tindakan sederhana: membiarkan bumi bernapas sedikit lebih lega karena kita memilih untuk tidak merusaknya.
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah
- Yuval Noah Harari, Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia (terj. Indonesia, Sapiens) [PDF] ↩︎
- Fritjof Capra Jaring Kehidupan (terj. Indonesia, The Web of Life) [PDF] ↩︎
- Lihat artikel sebelumnya: https://perpus.tebuireng.ac.id/2025/04/18/menjaga-alam-menghidupkan-hadis-isu-ekologis-dalam-hadis-nabi-muhammad-saw/ ↩︎
- Hussein Nasr, Manusia dan Alam Semesta dalam Islam (terj. dari Man and Nature) [PDF] ↩︎
- Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Islamku, Islam Anda, Islam Kita [PDF] ↩︎
- Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 2340, juz 3/107 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, no. 5239, juz 4/530 [Khadim Haramain] ↩︎
- Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’ammal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, hlm. 168 [Ma‘had al-Alami lil Fikr al-Islami] ↩︎
- Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 2370, juz 3/113 [Khadim Haramain].
Cacatan: Hima adalah wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan terlindungi, yang kita kenal dengan konservasi, biasanya untuk kepentingan umum, seperti penggembalaan hewan milik kaum muslimin atau pelestarian lingkungan. ↩︎ - Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, no. 1924, juz 3/484 [Khadim Haramain]. ↩︎
…










