• Kontributor
  • Daftar
  • Login
Upgrade
Nuskha
Advertisement
  • Home
  • Artikel
    • Kajian Hadis
      • ulumul hadits
      • Sejarah Hadis
    • Artikel Ringan
    • Kajian Fikih
    • Review Literatur
    • biografi
    • tafsir dan ulum al-qur’an
    • Tekno
  • Agenda
  • download
    • Skripsi
    • powerpoint
No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Kajian Hadis
      • ulumul hadits
      • Sejarah Hadis
    • Artikel Ringan
    • Kajian Fikih
    • Review Literatur
    • biografi
    • tafsir dan ulum al-qur’an
    • Tekno
  • Agenda
  • download
    • Skripsi
    • powerpoint
No Result
View All Result
Nuskha
No Result
View All Result
Home Artikel

Kritik Hadis dan Metodologi Tahammul dalam Hadis Nabi SAW

Vigar Ramadhan by Vigar Ramadhan
Juni 23, 2025
in Artikel, Artikel Ringan, Kajian Hadis, ulumul hadits
0
Kritik Hadis dan Metodologi Tahammul dalam Hadis Nabi SAW

Pada artikel kali ini, penulis akan membahas secara ringkas kritik hadis mengenai metode penerimaan dan penyampaian hadis, serta keterangan lafadz atau shigah penyampaiannya. Pembahasan semacam ini tidak bisa dilepaskan dari wilayah ilmu kritik hadis. Menurut Azami, kritik hadis sebenarnya telah dimulai sejak Nabi Saw. masih hidup, meskipun pada saat itu cakupannya masih terbatas dan latar belakangnya pun berbeda dengan praktik kritik hadis yang berkembang setelahnya. Kritik dalam konteks ini mengacu pada upaya menyeleksi hadis antara yang sahih dengan yang dhaif, serta meneliti para perawinya apakah mereka dapat dipercaya dan kuat hafalannya (tsiqah) atau tidak.[1]

Dalam rangka menentukan kesahihan suatu hadis, para ahli hadis menetapkan sejumlah persyaratan. Umumnya, hadis dinilai sahih apabila diriwayatkan melalui sanad yang bersambung hingga Nabi Saw. oleh para perawi yang ‘adil (jujur dan bertakwa), dhabit (kuat ingatan), serta tidak mengandung ‘illah (cacat) maupun syadz (kejanggalan). Persyaratan ini bertumpu pada kemungkinan pertemuan antara masing-masing perawi dalam rantai sanad, yakni hidup di zaman yang sama dan memungkinkan bertemu secara langsung. Jika kemungkinan itu terpenuhi, barulah sanad dinilai bersambung. Namun, dalam beberapa pendapat terdapat pengecualian, yaitu jika sanadnya kuat dan dapat dipastikan melalui jalur lain, maka hadis tetap bisa dinilai sebagai bersambung meskipun tidak terjadi pertemuan langsung. Khilaf semacam ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut dan akan lebih tepat dijelaskan dalam artikel tersendiri.

Perlu dicatat pula bahwa rumusan-rumusan ilmiah terkait kritik hadis, termasuk penetapan syarat-syarat tersebut, baru secara sistematis ditulis oleh para ulama setelah generasi sahabat dan tabi’in. Salah satu karya penting yang pertama kali membahas secara eksplisit persyaratan kritik hadis adalah Al-Muhaddis al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i karya al-Ramahurmuzi (w. 360 H). Kitab ini menjadi tonggak awal kodifikasi dalam ilmu hadis, yang kelak dilanjutkan dan diperluas oleh para ulama berikutnya.

Setelah pemaparan awal tentang kritik hadis, pembahasan akan diarahkan pada metode penyebaran hadis atau yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah tahammul. Metode-metode ini menjadi dasar untuk memahami bagaimana hadis diterima dan disampaikan secara ilmiah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terdapat delapan metode yang akan dituliskan secara ringkas, yaitu: Sama’ (mendengarkan), Qiraah (Membacakan), Ijazah (mengizinkan), munawalah (memberikan), Kitabah (menuliskan), I’lam (memberitahukan), Wasiyah (mewasiatkan), Wijadah (menemukan atau mendapati). Setiap metode ini akan penulis bahas dengan ringkas dari hasil pembacaannya pada ilmu Mustalah al-Hadis.

Pertama, sama’ atau sima min lafdzi asy-syaikh. Yaitu cara penyebaran hadis di mana murid mendengarkan kata-kata dari gurunya. Dalam hal itu, baik berupa pengajaran biasa atau pun guru sekedar mendiktekan hadisnya kepada muridnya, dan pengajaran itu mungkin berdasarkan hafalan atau guru berpegang kepada sebuah kitab hadis. Pada dunia pesantren, mungkin bisa diterjemah bebas menjadi arti dari istilah bandongan (Kegiatan dimana guru membacakan teks kitab lalu murid mendengarkan sembari memaknai kitabnya sesuai apa yang dibaca oleh gurunya). Tingkatan sama’ ini menurut mayoritas ulama hadis merupakan bagian tertinggi dari metode menerima hadis.[2]

Kedua, qiraah atau qiraah ala syaikh, yaitu cara penyebaran dan penyampaian hadis di mana murid-murid membacakan kitab atau hafalan hadisnya kepada gurunya. Cara ini juga disebut ‘ardh (memperlihatkan). Terjemah bebas dalam dunia pesantren bisa disebut sorogan (Kegiatan dimana murid membacakan kitab beserta maknanya kepada gurunya. Biasanya makna yang dibaca pun hasil dari pemaknaan gurunya.) Hukum meriwayatkan hadis dengan metode ini merupakan riwayat yang benar tanpa ada perselisihan dalam semua gambaran yang telah disebutkan, kecuali yang disebutkan dari pendapat sebagian orang yang tidak dianggap pendapatnya dari kalangan ekstrimis. Tingkatannya diperselisihkan menjadi tiga pendapat: 1) Setingkat dengan As-sima’: pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik, Al-Bukhari, dan mayoritas ulama Hijaz dan Kufah. 2) Lebih rendah dari As-sima diriwayatkan dari mayoritas ulama kalangan timur, dan ini merupakan pendapat yang benar. 3) Lebih tinggi dari As-sima diriwayatkan dari Abu Hanifal Dzi’b, dan riwayat dari Imam Malik.[3]

Ketiga, ijazah, yaitu cara penyebaran dan penyampaian hadis di mana guru mengizinkan muridnya untuk mengajarkan suatu kitab hadis. Terdapat dua hukum dalam metode ini: 1) Menurut pendapat yang benar, yang diikuti oleh pendapat mayoritas ulama hadits, serta ada ketetapan dalam mengamalkannya, bolehnya meriwayatkan serta mengamalkan dengannya. Sekelompok ulama ada yang menyatakan tidak sah meriwayatkan dan beramal dengannya, dan ini adalah salah satu dari dua riwayat yang diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i. 2) Pendapat yang kedua, perselisahan dalam membolehkan meriwayatkan dan beramal dengannya lebih banyak. Namun, bagaimanapun keadaannya, menerima serta meriwayatkan hadits dengan cara ini merupakan cara menerima hadits yang rapuh yang tidak seharusnya memudahkan riwayat dengannya.[4]

Keempat, munawalah, yaitu cara penyebaran dan penyampaian hadis di mana guru memberikan kitabnya kepada muridnya. Terdapat dua hukum dalam metode ini: 1) Meriwayatkan munawalah yang disertai dengan ijazah dibolehkan, dan ia lebih rendah tingkatannya dari sima’ dan qiraah. 2) Adapun meriwayatkan munawalah yang terlepas dari ijazah tidak dibolehkan menurut pendapat yang benar.[5]

Kelima, kitabah, yaitu cara penyebaran dan penyampaian hadis di mana guru menuliskan hadisnya kepada muridnya baik yang hadir maupun tidak. Terdapat dua hukum juga dalam metode ini: 1) Yang disertai dengan ijazah: meriwayatkan dengannya sah hukumnya. Dilihat dari keabsahan dan kekuatan riwayat, ia seperti munawalah yang disertai dengan ijazah. 2) Adapun yang terlepas dari ijazah, sebagian kelompok menolak meriwayatkan dengannya, dan yang lain membolehkannya. Menurut para ahli hadis, yang benar adalah boleh meriwayatkan dengannya, sebab ia menunjukkan kesamaan degan makna ijazah.[6]

Keenam, i’lam, yaitu cara penyebaran dan penyampaian hadis di mana guru memberitahukan muridnya bahwa suatu hadis atau kitab hadis pernah didengarnya dari salah seorang gurunya. Hukum meriwayatkan dengan metode ini, para ahli berselisih mengenai hukum meriwayatkannya, yang terbagi menjadi dua pendapat: 1) Boleh: Ini pendapat kebanyakan pakar hadis, fikih serta usul fikih. 2) Tidak boleh: Ini pendapat sebagian ahli hadis dan ulama lainnya, dan ini adalah pendapat yang benar, sebab seorang guru mungkin telah memberitahukan bahwa hadis ini adalah yang ia riwayatkan, akan tetapi tidak dibolehkan diriwayatkan karena terdapat kecacatan di dalamnya, namun jika guru tersebut mengizinkan untuk meriwayatkannya, maka boleh untuk meriwayatkannya.[7]

Ketujuh, wasiyah, yaitu cara penyebaran dan penyampain hadis di mana guru berwasiat atau berpesan agar kitabnya diberikan kepada muridnya. Terdapat dua hukum juga dalam metode ini: 1) Boleh, ini pendapat sebagian ulama salaf, dan ini adalah pendapat yang salah, sebab ia mewasiatkan kitab, bukan mewasiatkan untuk meriwayatkannya. 2) Tidak boleh, dan ini pendapat yang benar.[8]

Kedelapan, wijadah, yaitu cara penyebaran hadis di mana murid menemukan catatan atau kitab hadis milik seseorang yang belum pernah ia riwayatkan. Hukum meriwayatkan dengan metode ini: Meriwayatkan hadis dengan wijadah termasuk bagian dari status periwayatan yang munqathi’, akan tetapi ada sedikit gambaran bersambung padanya.[9] Untuk lebih detail dan lengkapnya bisa lihat: As-Suyuti, Tadrid al-Rawi, hlm. 418-497. [versi website turats].

Dari delapan metode ini, dua di antaranya ditolak dalam ilmu hadis, yaitu metode wasiyah dan wijadah. Artinya hadis diriwayatkan dengan kedua metode ini tidak sahih karena sanadnya tidak bersambung (munqathi’). Tiga metode yang lain yaitu sima’, qiraah, dan munawalah dinilai kuat dalam periwayatan hadis sebab murid dan guru benar-benar bertemu. Sedang tiga metode lainnya yaitu ijazah, kitabah, dan i’lam diterima juga oleh ahli-ahli hadis sehingga hadis yang diriwayatkan dengan ketiga metode ini dinilai sahih, karena sanadnya dianggap bersambung. Meskipun ketiga metode yang akhir ini memungkinkan seorang murid (rawi kedua) tidak pernah bertemu dengan gurunya (rawi pertama).

Editor: Vigar Ramadhan D.M.D.


[1] Muhammad Mustafa Azami, Manhaj al-Naqd Inda Muhaddisin, hlm. 3-5.
[2] Mahmud ath-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadis, 189.
[3] Ibid. hlm. 190.
[4] Ibid. hlm. 192.
[5] Ibid. hlm. 193.
[6] Ibid. hlm. 194.
[7] Ibid. hlm. 195.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm. 196.

Tags: hadisperiwayatantahammul
Previous Post

Kitab-Kitab Hadis pada Masa Awal Islam: Bukti Historis Awal Kodifikasi Hadis

Next Post

Fiqih Hadis: Ketika Imam Shalat Duduk dan Tidak Mampu Berdiri, Apakah Makmum Juga Harus Shalat Duduk atau Tetap Berdiri?

Vigar Ramadhan

Vigar Ramadhan

Saya Vigar, anak lelaki yang berasal dari keluarga baik-baik. Seorang manusia jelata yang bercita-cita menjadi rakyat biasa. Yang kadang baca, kadang nulis, seringnya ngopi.

Related Posts

Fiqih Hadis: Ketika Imam Shalat Duduk dan Tidak Mampu Berdiri, Apakah Makmum Juga Harus Shalat Duduk atau Tetap Berdiri?
Artikel Ringan

Fiqih Hadis: Ketika Imam Shalat Duduk dan Tidak Mampu Berdiri, Apakah Makmum Juga Harus Shalat Duduk atau Tetap Berdiri?

by Rasyid Irfan
Juni 25, 2025
Kitab-Kitab Hadis pada Masa Awal Islam:  Bukti Historis Awal Kodifikasi Hadis
Artikel

Kitab-Kitab Hadis pada Masa Awal Islam: Bukti Historis Awal Kodifikasi Hadis

by Vigar Ramadhan
Juni 22, 2025
Daging dalam Timbangan Hadis dan Medis: Sehat Jika Bijak, Bahaya Jika Berlebihan
Artikel Ringan

Daging dalam Timbangan Hadis dan Medis: Sehat Jika Bijak, Bahaya Jika Berlebihan

by Ridwan GG
Mei 25, 2025
Hermeneutik Hadis dan Sejarah: Mencari Keseimbangan antara Teks Agama dan Fakta Historis
Artikel Ringan

Hermeneutik Hadis dan Sejarah: Mencari Keseimbangan antara Teks Agama dan Fakta Historis

by Ridwan GG
Mei 22, 2025
Ingkar Sunnah Modern: Narasi yang Dipersoalkan dan Tokoh-Tokohnya (Bagian II)
Artikel Ringan

Ingkar Sunnah Modern: Narasi yang Dipersoalkan dan Tokoh-Tokohnya (Bagian II)

by Vigar Ramadhan
Mei 20, 2025
Next Post
Fiqih Hadis: Ketika Imam Shalat Duduk dan Tidak Mampu Berdiri, Apakah Makmum Juga Harus Shalat Duduk atau Tetap Berdiri?

Fiqih Hadis: Ketika Imam Shalat Duduk dan Tidak Mampu Berdiri, Apakah Makmum Juga Harus Shalat Duduk atau Tetap Berdiri?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

register akun perpus maha

Premium Content

Benarkah KH. Hasyim Asy’ari Seorang Plagiator? Statement dan Sanggahan

Benarkah KH. Hasyim Asy’ari Seorang Plagiator? Statement dan Sanggahan

November 11, 2024

Hadis Mu’an’an, Termasuk Muttashil atau Munqothi’ ?

Agustus 29, 2023
Peringatan 1 Abad NU, ini Pesan Hadratussyaikh

Peringatan 1 Abad NU, ini Pesan Hadratussyaikh

Agustus 29, 2023

Browse by Category

  • Artikel
  • Artikel Ringan
  • Berita
  • biografi
  • Feminisme
  • Fikih Ibadah
  • Hadis Tematik
  • Hasyimian
  • Kajian Fikih
  • Kajian Hadis
  • Library Management System
  • Opini
  • Orientalis
  • powerpoint
  • Resensi
  • Review Literatur
  • Sejarah Hadis
  • tafsir dan ulum al-qur'an
  • Tasawuf dan Tarekat
  • Tekno
  • ulumul hadits
  • Uncategorized

Browse by Tags

ahli fiqih Alam artikel bumi dermawan dirasat asanid fikih hadis hadist Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari Hasyim Asy'ari ilmu hadis jurnal Kajianhadis kajian hadis kajianhadist kitab kritik hadis lingkungan ma'hadaly ma'had aly ma'hadalyhasyimasy'ari mahad aly mahad aly hasyim asyari Mahasantri masyayikh Tebuireng medsos Metodelogi Muhaddis musthalah hadits Nabi Nabi Muhammad OJS orientalis Puasa qur'an Ramadhan sahih bukhari muslim sanad sejarah Syamsul Maarif takhrij Tarawih Tasawuf Tebuireng
Nuskha

© 2023 Nuskha - powered by Perpustakaan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Pesantren Tebuireng.

Navigate Site

  • Account
  • Game Hadis
  • Koleksi Kitab Digital
  • Kontributor
  • Logout
  • My Profile
  • NUSKHA
  • Password Reset
  • Pendaftaran Akun Penulis
  • Perpus MAHA

Follow Us

No Result
View All Result
  • Home
  • Kajian Hadis
  • Kajian Fikih
  • Berita
  • Mulai menulis

© 2023 Nuskha - powered by Perpustakaan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Pesantren Tebuireng.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?