Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an dan menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan. Namun, dalam realitas sosial, hadis tidak hanya berfungsi sebagai teks normatif, tetapi juga berkembang menjadi bagian dari budaya, tradisi, dan praktik sosial umat Islam. Fenomena ini kemudian melahirkan kajian Living Hadis, yang berusaha menjelaskan bagaimana hadis dihidupkan dalam praktik sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi (Qudsy, t.t.).
Konsep Living Hadis ini semakin populer dalam studi Islam kontemporer, khususnya di Indonesia. Kajian ini lahir sebagai respons terhadap pendekatan tekstualis yang menafsirkan hadis secara kaku, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya. Sebaliknya, Living Hadis menawarkan cara pandang yang lebih fleksibel, dengan memperhatikan bagaimana hadis diterapkan dalam berbagai tradisi masyarakat. (Iffah, t.t.)
Artikel ini akan menelusuri secara singkat mengenai genealogi Living Hadis, dari asal-usul konsep ini, perkembangannya dalam kajian akademik, hingga contoh konkret penerapannya dalam kehidupan umat Muslim.
Asal-usul dan Sejarah Konsep Living Hadis
Secara historis, hadis telah berkembang melalui tiga fase utama:
1. Hadis dalam Tradisi Islam Klasik
Pada masa awal Islam, hadis berkembang sebagai bagian dari transmisi lisan atau verbal. Para sahabat Nabi Muhammad saw. menyampaikan hadis secara langsung kepada generasi berikutnya, baik melalui hafalan maupun tulisan. Pada masa ini, hadis dianggap sebagai pedoman hukum dan norma sosial, tetapi penerapannya sering kali disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat (Qudsy, t.t.).
2. Hadis dalam Pendekatan Tekstualis
Ketika Islam memasuki era kodifikasi hadis (abad ke-8 hingga ke-10 M), muncul pendekatan tekstualis yang lebih ketat. Hadis mulai dikompilasi dalam kitab-kitab hadis utama seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan banyak lainnya. Sejak saat itu, pemahaman hadis lebih banyak berfokus pada keabsahan sanad (periwayatan) dan kesahihan matn (isi), dibandingkan dengan bagaimana hadis diterapkan dalam kehidupan sosial (Qudsy, t.t.).
3. Munculnya Pendekatan Sosiologis dalam Studi Hadis
Pada abad ke-20, para akademisi mulai mempertanyakan apakah hadis harus selalu dipahami secara literal, atau bisa dipahami secara lebih fleksibel sesuai dengan konteks sosial. Hal ini mendorong munculnya pendekatan sosiologis dan antropologis dalam studi hadis, yang kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang bernama Living Hadis (Saifuddin Zuhri – living hadis, t.t.).
Di Indonesia, kajian Living Hadis mulai berkembang sejak tahun 2005, terutama di lingkungan akademik seperti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Para peneliti melihat bahwa hadis tidak hanya digunakan dalam fatwa atau hukum Islam, tetapi juga menjadi bagian dari praktik sosial dan budaya masyarakat (Iffah, t.t.).
Perkembangan dan konsep Living Hadis sendiri dalam perkembangannya, dibedakan ke dalam tiga bentuk utama:
Tradisi Lisan, hadis yang diwariskan dan digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Contohnya adalah bacaan doa qunut dalam salat Subuh yang diamalkan oleh ormas Nahdhatul Ulama (NU).
Tradisi Tulisan, hadis yang ditulis dan ditempatkan di tempat umum, seperti hadis tentang kebersihan yang sering dijumpai di toilet masjid dan sekolah.
Tradisi Praktik, hadis yang dihidupkan dalam bentuk ritual dan budaya, seperti tradisi tahlilan dan salawatan (Qudsy, t.t.).
Konsep Living Hadis tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga dapat diamati dalam praktik nyata di masyarakat Muslim. Berikut adalah beberapa contoh yang memperlihatkan bagaimana hadis “hidup” dalam kehidupan sehari-hari yang diambil penulis dari hasil pembacaannya:
1. Tradisi Aqiqah di Masyarakat Muslim Indonesia
Hadis tentang aqiqah berbunyi:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ، وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud No. 2838, Tirmidzi No. 1522, An-Nasa’i No. 4215, Ibnu Majah No. 3165).
Namun, dalam praktiknya, di beberapa komunitas Muslim Indonesia, aqiqah tidak selalu dilakukan dengan menyembelih kambing, tetapi terkadang digantikan dengan ayam atau bentuk sedekah lain sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat (Iffah, t.t.).
2. Infak Beras di Masjid Jogokaryan
Masjid Jogokaryan di Yogyakarta mengembangkan sistem infak beras, di mana jamaah dianjurkan menyumbangkan beras untuk membantu mereka yang kurang mampu. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam hadis, praktik ini merupakan bentuk implementasi dari hadis-hadis tentang sedekah dan kepedulian sosial (Qudsy, t.t.)
Dari dua dari banyaknya contoh di atas penulis ingin memberi tahu bahwa pendekatan Living Hadis telah memberikan kontribusi besar dalam studi Islam modern, di antaranya memperluas pemahaman hadis. Sebab, dengan studi living hadis ini sudah membuka ruang pemahaman bahwa hadis tidak hanya berupa teks statis, tetapi juga mengalami perkembangan sesuai dengan realitas sosial (Qudsy, t.t.). Menjembatani perbedaan pendekatan hadis ini, dengan living hadis, keilmuan hadis terbantu menjembatani perbedaan antara pendekatan tekstualis yang cenderung literal dengan pendekatan kontekstual yang lebih fleksibel (Iffah, t.t.). Yang dalam waktu bersamaan juga membantu Islam beradaptasi dengan zaman, dengan pendekatan living hadis, Islam tetap relevan di tengah perubahan zaman, tanpa kehilangan esensi ajaran Nabi Muhammad saw. (Saifuddin Zuhri – living hadis, t.t.).
Pada kesimpulannya, genealogi Living Hadis menunjukkan bahwa hadis tidak hanya dipahami sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai bagian dari praktik sosial yang terus berkembang. Studi ini membuktikan bahwa hadis tidak mati dalam kitab-kitab klasik, tetapi tetap hidup dalam budaya, tradisi, dan perilaku umat Islam. Dengan memahami Living Hadis, kita dapat menerapkan ajaran Nabi saw. dengan cara yang lebih kontekstual, tanpa menghilangkan esensi pesan hadis dan agama Islam itu sendiri.
Jurnal rujukan dalam artikel:
Iffah, F. (t.t.). LIVING HADIS DALAM KONSEP PEMAHAMAN HADIS.
Qudsy, S. Z. (t.t.). LIVING HADIS: GENEALOGI, TEORI, DAN APLIKASI.
Saifuddin Zuhri—Living hadis. (t.t.).
Penulis: Mahasantri semester 4
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.