Orientalisme berasal dari kata orient yang secara geografis berarti dunia timur, sedangkan isme berarti aliran, ilmu, paham, keyakinan, dan sistem. Dengan demikian orientalisme bisa diartikan sebagai kajian orang-orang barat terhadap dunia timur berdasarkan logika antologis dan epistimologisnya.
Secara historis, kontak antara Timur dan Barat sebenarnya telah terjalin sejak ribuan tahun silam yang ditandai dengan perbenturan kepentingan dan permusuhan. Hal ini bermula pada masa keemasan Islam, yang mana perkembangan intelektual di kalangan umat Islam pada saat itu berkembang dengan pesat, ditandai dengan didirikannya berbagai perguruan tinggi Islam seperti Nizamiyyah, Al-Azhar, Cordova, dan Kairwan. Dengan demikian para Orientalis dengan dukungan para penjajah telah berhasil melakukan sebuah bentuk eksplorasi, dengan memalsukan dan memutarbalikkan ajaran-ajaran Islam. Tidak hanya bidang keagamaan, sosial, budaya, dan karya ilmiah, tetapi pada beragam corak seni, sastra, ataupun tulisan-tulisan hasil penelitian.
Kemunculan orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, Perang Salib. Perang yang hampir dua abad lamanya, menjadikan bangsa barat khususnya kelompok intelektual menaruh perhatian terhadap Islam, karena mendapatkan kemajuan dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, perang Salib juga mengakibatkan bangsa Barat menaruh dendam terhadap dunia Islam.
Kedua, persentuhan Barat dengan perguruan tinggi Islam. Persentuhan tokoh-tokoh dari barat dengan perguruan tinggi Islam di Timur merupakan salah satu faktor yang mendorong orientalisme. Seperti perguruan tinggi Kairwan di kota Fez (Afrika Barat). Perguruan tinggi ini dibangun pada 859 M oleh putri seorang saudagar di kota Fez, pada masa Daulah Idrisiyah. Pada 918 M, perguruan tinggi ini diberikan kepada pemerintah, dan sejak itu menjadi perguruan tinggi resmi. Perguruan tinggi Kairwan ini bukan hanya menarik mahasiswa dari Afrika dan dunia Islam di sebrang tetapi juga dari Eropa.
Ketiga, penerjemahan manuskrip arab ke dalam bahasa latin. Hal ini dimulai sejak abad ke-13 hingga zaman Renaissance di Eropa pada ‘abad ke-14 banyak manuskrip yang diterjemahkan terutama dalam bidang filsafat. Akan tetapi, walaupun dunia Islam telah mewariskan ilmu pengetahuan dan filsafat kepada dunia barat pada permulaan zaman pencerahan (Renaissance), akan tetapi mereka tetap saja berpandangan negatif terhadap Islam. Mereka mengatakan bahwa kejahatan nabi Muhammad adalah mengembangkan agama palsu. Bahkan hingga hari ini pun, Kristen yang mempunyai pandangan teramat naif masih memandang Nabi Muhammad sebagai nabi palsu.
Keempat, orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Asia Timur, Afrika Utara, dan Asia Tenggara, untuk memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa tersebut demi mengukuhkan kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka. Faktor kolonialisme ini yang menyebabkan para orientalis begitu bersemangat mengkaji Islam. Seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje ketika belajar Islam hingga ke Mekkah.
Kelima, kepentingan misionarisme, para orientalis mengkaji negara Timur dengan tujuan mencari kelemahan ideologi dan agama yang dianut oleh negara timur kemudian mereka mendakwahkan agama mereka yakni kristen. Mereka juga melakukan penelitian dan pengkajian hadis untuk melemahkan agama Islam.
Keenam, studi-studi orientalisme tentang Islam telah berkembang, karena orientalisme merupakan misi lembaga akademis Barat kuno yang didirikan oleh penguasa Barat. Studi-studi ini menghasilkan sejumlah kesimpulan yang menggambarkan masyarakat muslim dalam bentuk yang tidak bersih dari aspek negatif. Materi ilmiah yang disajikan menggambarkan bangsa Arab dan agama Islam dalam citra yang sangat bias dan merugikan kaum muslim.
Ketujuh, faktor penyebab ketertarikan Eropa pada kehidupan kaum Muslimin dan Timur, menurut Lathifah Ibrahim Khadar, adalah tulisan para pengelana dan petualang yang berisikan khayalan dan fiksi. Dari cerita-cerita kepahlawanan tersebut, keinginan mereka bergeser untuk menjadi penjajah dan perintis. Mereka banyak melibatkan penduduk pribumi, sehingga hasil penemuan pribumi disandarkan kepada orang Eropa bahkan penemu yang sebenarnya dihapus. Demam Penjelajahan dan Perintisan tidak berhenti pada mereka saja akan tetapi menjadi bagian penyempurna bagi kristenisasi di seluruh dunia non-Kristen.
Kedelapan, banyak tulisan orang Kristen Yunani dan Kristen Arab yang hidup dalam pemerintahan Arab Islam. Sebagaimana Yohanes menulis bukunya Dialexis, dengan tujuan menjadikan sarana perdebatan antara kaum Kristen dan Islam. Didalam buku tersebut banyak serangan sengit terhadap Rosulullah Saw. mereka menuduh Nabi mengada-adakan wahyu untuk memuaskan keinginan dunia.
Kesembilan, faktor lain yang memberi masukkan pada pemikiran Barat tentang Islam dan Nabi adalah surat yang dinisbahkan kepada ‘Abd Maliki ibn Ishaq Al-Kindi (yang tidak diketahui asal-usulnya), Surat tersebut kemudian diterjemahkan oleh Petrus dan Toledo dalam bahasa latin. Surat ini merupakan kumpulan terjemahan biara Kluni supaya rahib dapat mempelajari cara-cara menghadapi kaum Muslimin. Dari mereka itulah kemudian menjalan menjadi wabah kebencian dalam pemikiran Eropa terhadap Islam dan Kaum Muslimin.
Demikian faktor yang melatarbelakangi orientalis mengkaji Timur. Secara garis besar tujuan mereka adalah untuk kepentingan penjajahan, untuk kepentingan agama mereka, dan untuk kepentingan Ilmu Pengetahuan. Sebagaimana motif utama mereka dalam menjalankan misi adalah agama. Dalam perkembangannya, kajian terhadap Islam semakin beragam tidak hanya diwarnai dengan kebencian tetapi ada sebagian orientalis yang bersikap netral dalam mengkaji Islam.
Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap Islam bersifat umum. Namun, dalam fase-fase berikutnya kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir beberapa kajian tentang Islam seperti Al-Qur’an, Hadis, hukum, sejarah, dll. Diantara orientalis yang aktif mengkaji Islam adalah Ignaz Goldziher seorang Yahudi kelahiran Hongaria, melalui karyanya Muhammadanisce Studien yang berisi pandangannya tentang hadist.
Akan tetapi, dalam menanggapi kajian orientalis, umat Islam memiliki sikap yang beragam. Sebagian dari mereka ada yang beranggapan bahwa orientalis merupakan musuh Islam, mereka bersikap ekstrem bahkan menolak semua karya tulis orientalis.
Mereka juga berargumen bahwa orientalis bersumber dari ide-ide kristenisasi yang bertujuan merusak pertahanan Islam, karena pada faktanya banyak karya orientalis yang bertolak belakamg dengan Islam sebagaimana Hamilton Alexander Roskeen Gibb dalam karyanya Mohamedanism berpendapat bahwa Al-Qur’an hanya karangan Muhammad.
Begitu juga dengan umat Islam yang bersifat toleran terbagi menjadi dua kelompok, satu kelompok bersikap toleran sehingga menganggap semua karya tulis orientalis objektif, sangat ilmiah, dan dapat dipercaya.
Berbeda dengan kelompok yang lain, mereka bersifat kritis dan selektif. Mereka juga mengakui bahwa berkat penerjamahan karya-karya Islam klasik, cukup banyak informasi dan analisis objektif tentang Islam. Seperti Reynold Nicholson dan Arthur J.Arberry berhasil menerjemahkan karya Islam sehingga terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh pembaca Eropa.
Dengan begitu, dalam upaya menyikapi kajian orientalisme, khususnya kritik dan kajian orientalis terhadap hadist nabi, kita perlu bersikap kritis ilmiah, berpikir konstruktif dan positif, berpijak pada konsep dasar Al-Qur’an dalam mengkaji keautentikan hadist, serta menggunakan cara berpikir yang seimbang dan proporsional ketika hendak membuktikan kebenaran atas pendapat para orientalis.
Penulis merupakan anggota Kajian Hadist
Editor: Alfiya Hanafiyah