Bernama asli Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak, as-Silmi, at-Tirmizi. Beliau lahir tahun 209 H di Tirmiz, Uzbekistan. Seperti halnya para imam ahli hadis lainnya, beliau juga terkenal akan kehafizannya, seorang imam yang terpercaya, dan menjadi hujjah bagi para orang awam.[1]
Imam Tirmizi pergi ke berbagai daerah untuk belajar hadis dari para ahli, ia telah pergi mengembara ke Khurasan, Irak, dan Hijaz, dan ia mengambil banyak riwayat dari banyak ulama di sana.[2] Dalam pengembaraan itu, ia berguru ke banyak ulama terkena, diantaranya: Qutaebah bin Said, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Ghailan, Said bin Abdurrahman, Muhammad bin Basyar, Ali ibnu Hajar, Ahmad bin Mani, Muhammad bin al-Musanna, Sufyan bin Waqi, dan imam terkenal di Bukhara, yakni Muhammad bin Ismail al-Bukhari, imam Bukhari.
Diantara yang paling penting adalah al-Bukhari, karena Imam Tirmizi berguru kepadanya dan belajar darinya ilmu hadis dan fikih.[3] Sedangkan sejarah mencatat, bahwa beliau tidak pernah sama sekali masuk ke kota Baghdad dan meriwayatkan hadis dari sana, dan karena itu al-Katib al-Baghdadi tidak menulis biografi tentangnya dalam “Tarikh Baghdad”.[4]
Para ulama kala itu mengaminkan atas keimaman dan kehebatan Imam Tirmizi dalam hal keilmuan hadis. Sampai banyak dari mereka mengagumi dan memujinya.
Seperti perkataan Ibnu Hibban dalam al-Tsiqat: “Ia (at-Tirmizi) termasuk orang-orang yang menghimpun hadis, menyusun, menghafal, dan mempelajarinya.”[5]
Abu Ya’la al-Khalili juga berkata: “Ia terpercaya dan disepakati bersama, dan cukuplah bukti tentang keterpercayaannya tersebut bahwa imam Bukhari, imam hadits dan imam para ahli hadis mempercayai dan mengambil riwayat darinya.”[6]
Az-Zahabi berkata: “Dia (at-Tirmizi) adalah al-Hafiz, pemilik kitab “al-Jami”, tsiqah (terpercaya) yang disepakati (para ulama).” Gurunya al-Bukhari bersaksi tentangnya, “Aku tidak mendapatkan manfaat darimu lebih besar daripada apa yang aku peroleh darimu.”[7]
Dengan keilmuannya yang luas, khusunya ilmu hadis, beliau menulis dan menyusun banyak karya, diantaranya: al-Jami, al-Asma wa al-kuna, asy-Syamail, at-Tawarikh, al-Ilal, dan az-zuhd. Dan karya monumentalnya adalah al-Jami atau yang kita kenal dengan Sunan at-Tirmizi, inilah yang akan kita bahas setelah ini.
Sunan Tirmizi (al-Jami’)
Kitab ini terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, namun seharusnya disebut “Jami at-Tirmidi”. Sebagian orang juga menyebutnya “Shahih at-Tirmizi”, namun ini merupakan penyebutan yang kurang tepat.
Isi kitab Jami at-Tirmizi mencakup delapan bidang dalam ilmu hadis, yaitu: Hukum, Sirah, Adab, Tafsir, Akidah, Fitnah, Tanda-tanda (akhir zaman), dan Keutamaan. Kitab ini disebut “Jami” (komprehensif) karena mencakup bab-bab tersebut, dan juga terdapat satu bab yang tidak ada dalam enam kitab pokok lainnya, yaitu Bab al-Amtsal (perumpamaan).[8] Dalam kitab ini sendiri, terdapat 3.891 total hadis yang terhimpun di dalamnya.
Kelebihan Kitab Jami’ Tirmizi
Menurut Ibnu al-Atsir, kitab ini adalah kitab terbaik, paling bermanfaat, dan paling sedikit pengulangan. Di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak ada di kitab-kitab lain, seperti penyebutan mazhab-mazhab, bentuk-bentuk dalil, dan penjelasan tentang jenis-jenis hadis (shahih, hasan, dan gharib). Juga terdapat penilaian jarh (kecacatan) dan ta’dil (penguatan) perawi. Di akhir kitab terdapat kitab al-‘Ilal yang berisi berbagai manfaat.
Dalam Jami’ Tirmizi sendiri mencakup ilmu hadis dan ilmu fikih, sehingga mencakup kebaikan yang besar yang tidak luput dari siapa pun yang mempelajarinya.
Di antara tujuan-tujuan imam Tirmizi adalah menjelaskan perbedaan antara tujuan dan objek pembahasan dua kitab Shahih (Bukhari dan Muslim), yang diuraikan dalam bab berharga di akhir kitab, yaitu kitab al-‘Ilal, yang merupakan semacam muqaddimah (pengantar) bagi kitab ini. Dalam bab ini, beliau menyatakan bahwa seluruh hadis dalam kitabnya telah diamalkan oleh para ulama, kecuali dua hadis.[9]
Pada tanggal 13 Rajab 279 H, dunia kehilangan satu orang alim, Imam Tirmizi telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini, beliau wafat pada usia 70 tahun. Semoga Allah merahmatinya, dan menyalurkan rahmatnya kepada kita yang membaca dan mempelajari karyanya.
Wallahu Alam.
[1] Abu Zahw, Hadits Muhadditsun hal. 309-310.
[2] Yasir Syamali, Manahij al-Muhadditsin hal. 177
[3] Abu Zahw, Hadits Muhadditsun hal. 309
[4] Yasir Syamali, Manahij al-Muhadditsin hal. 177
[5] Abu Zahw, Hadits Muhadditsun hal. 310.
[6] Ibid hal. 310
[7] Yasir Syamali, Manahij al-Muhadditsin hal. 177
[8] [8] Yasir Syamali, Manahij al-Muhadditsin hal. 178
[9] Ibid hal. 178-179
Penulis merupakan mahasantri semester 2
Editor: Alfiya Hanafiyah