Dalam bulan Ramadhan, perubahan pola aktivitas harian menjadi fenomena yang umum terjadi di kalangan umat Muslim. Perbedaan jadwal ibadah dan pola makan berdampak pada pola tidur serta tingkat aktivitas seseorang. Bagi kalangan santri atau individu yang memiliki kegiatan keagamaan intensif di malam hari, perubahan ini semakin terasa. Kegiatan ibadah seperti tarawih, tadarus, dan qiyamul lail sering kali menyebabkan mereka lebih aktif pada malam hari. Selain itu, waktu sahur yang berlangsung pada dini hari turut berkontribusi pada kurangnya waktu tidur di malam hari. Akibatnya, banyak yang memilih untuk tidur setelah subuh, yang secara tidak langsung membalik jam biologis mereka.
Problem baru yang menjadi banyak obrolan banyak orang muncul, mengenai orang yang berpuasa tetapi waktu pagi sampai siang bahkan sorenya dibuang begitu saja dengan tidur dan bersantai. Uniknya, mereka yang kerap menjadi pelaku memberikan pembelaan yang epic, yakni sebuah hadis Nabi saw. yang mengatakan tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah. Dari situ mereka menvalidasi apa yang dilakukannya. Lucunya, banyak dari yang memakai alasan seperti itu tapi tidak mengetahui validitas atas hadis yang dipakainya itu.
Karena keresahan ini, penulis berinisiatif melakukan pencarian mengenai hadis itu. Dengan software seperti Makhtabah Syamilah, Khadim Haramain, dan Jawamiul Kalim, penulis menemukan hadis itu di tujuh sumber,1 dan yang penulis akan bahas di sini hanya satu hadis yang bersumber dari kitab Syu’abu al-Iman karya Al-Baihaqi:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، نا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُ إِمْلاءً، نا أَحْمَدُ بْنُ مِهْرَانَ بْنِ خَالِدٍ الأَصْبَهَانِيُّ، نا الْفَضْلُ بْنُ جُبَيْرٍ، ناوَسُكُوتُهُ تَسْبِيحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ، وَعَمَلُهُ مُتَقَ سُلَيْمَانُ بْنُ عَمْرٍو.ح وَأَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ الصَّفَّارُ، نا أَحْمَدُ بْنُ الْهَيْثَمِ الشَّعْرَانِيُّ، نا شُرَيْحُ بْنُ يُونُسَ، نا سُلَيْمَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: ” نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ، وَسُكُوتُهُ تَسْبِيحٌ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ، وَعَمَلُهُ مُتَقَبَّلٌ “
Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh, telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah as-Shaffar secara dicatat, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mehran bin Khalid al-Ashbahani, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl bin Jubair, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Amr. Dan telah mengabarkan kepada kami Ali bin Ahmad bin Abdan, telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Ubaid ash-Shaffar, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin al-Haytsam asy-Sya’rani, telah menceritakan kepada kami Syuraih bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Amr, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdullah bin Abi Aufa, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:”Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalnya diterima.”2
Hadis inilah yang seringkali dijadikan validasi orang yang berpuasa namun waktunya dihabiskan dengan tidur. Padahal, hadis ini sendiri menjadi bahasan penting oleh para ulama. Sebab, kualitas hadis ini patut dipertanyakan, banyak ulama yang menilai hadis ini sangatlah lemah kualitasnya, bahkan dicap sebagai hadis maudhu (palsu).
Karena keterbatasan data dari sumber aslinya, penulis menukil beberapa penilaian ulama dari buku Ahmad Sarwat, Lc., MA., yang berjudul Ramadhan Antara Syariat dan Tradisi, di sana disebutkan bahwa Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Syu’ab al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jami’ ash-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadis ini dhaif (lemah). Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddis yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadis ini bukan hanya dhaif teteapi sudah sampai derajat hadis maudhu (palsu).
Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadis nabawi. Hal tersebut dikarenakan di dalam jalur periwayatan hadis tersebut terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadis. Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, beliau menyatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadis.
Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga semakin menguatkan kepalsuan hadis ini. Beliau juga mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadis. Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma’in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemalsu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah “manusia paling pendusta di muka bumi ini!”.
Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh yang satu ini. Beliau mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu hadisnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta. Saking tercelanya perawi hadis ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr.
Imam Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, “Sulaiman bin Amr an-Nakha’i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadis.” Keterangan ini bisa kita dapati di dalam kitab Al-Majruhin min al-muhadditsin wa adh-dhu’ afa wa al-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanu al-I’tidal.3
Dari data ini, bisa kita lihat bahwa hadis yang menyatakan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah termasuk dalam kategori hadis yang lemah. Namun, status kelemahannya tidak serta-merta menjadikan hadis ini terlarang untuk diamalkan atau diabaikan sepenuhnya. Namun persoalan utama bukan hanya terletak pada kualitas hadis itu sendiri, tetapi juga pada cara sebagian orang memahami dan menerapkannya. Hadis ini sering kali disalahgunakan sebagai justifikasi untuk menghabiskan waktu puasa dengan tidur berlebihan, sehingga mengabaikan kesempatan meningkatkan ibadah selama bulan Ramadhan. Padahal, bulan Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk memperbanyak amalan, bukan sekadar waktu untuk beristirahat.
Dalam konteks ini, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din memberikan pandangan yang relevan terkait adab berpuasa yang mungkin bisa menjawab persoalan yang sedang dibahas ini:
بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه ويستديم في كل ليلة قدرًا من الضعف حتى يخف عليه تهجده وأوراده فعسى الشيطان أن لا يحوم على قلبه فينظر إلى ملكوت السماء
“Di antara adab puasa adalah tidak terlalu banyak tidur di siang hari agar ia merasakan lapar dan dahaga, serta merasakan lemahnya kekuatan tubuhnya. Dengan demikian, hatinya akan menjadi lebih jernih dan terus mengalami kelemahan yang cukup setiap malam, sehingga ibadah tahajud dan wiridnya menjadi lebih ringan. Dengan kondisi ini, diharapkan setan tidak akan berputar di sekitar hatinya, sehingga ia dapat menyaksikan keagungan kerajaan langit.”4
Meskipun Imam Al-Ghazali tidak menganjurkan tidur berlebihan di siang hari saat berpuasa, ada perspektif lain yang perlu diperhatikan. Jika tidur tersebut tidak dilakukan secara berlebihan dan justru menjauhkan seseorang dari maksiat atau dosa, maka hal ini dapat memiliki nilai tersendiri. Pemahaman ini senada dengan pandangan Ibn Rajab al-Hanbali dalam karyanya:
قال أبو العالية: الصائم في عبادة ما لم يغتب أحدا وإن كان نائما على فراشه فكانت حفصة تقول: يا حبذا عبادة وأنا نائمة على فراشي
“Abu al-‘Aliyah berkata: “Orang yang berpuasa tetap dalam keadaan beribadah selama ia tidak menggunjing orang lain, meskipun ia sedang tidur di atas tempat tidurnya.” Karena itu, Hafshah r.a. berkata: “Alangkah baiknya ibadah ini, sementara aku tetap bisa beristirahat di atas tempat tidurku.”5
Pendapat ini diperkuat oleh ulama lain yang menekankan bahwa tidur dapat bernilai ibadah apabila menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas ibadah seseorang. Dengan kata lain, tidur dalam konteks ini bukanlah tidur yang berlebihan, melainkan sebatas istirahat yang diperlukan agar tubuh kembali bertenaga untuk melanjutkan ibadah. Hal ini senada dengan pendapat Al-Bulaqi dalam karyanya:
وهذا في صائم لم يخرق صومه بنحو غيبة فالنوم وإن كان عين الغفلة لكن كل ما يستعان به على العبادة يصير عبادة (هب) عن عبد الله بن أبي أوفى قال الشيخ وهو حديث ضعيف
“Dan ini berlaku bagi orang yang berpuasa yang tidak merusak puasanya dengan perbuatan seperti ghibah. Maka, meskipun tidur itu sendiri merupakan bentuk kelalaian, segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana untuk beribadah menjadi ibadah. Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (hib), dari Abdullah bin Abi Awfa, dan disebut sebagai hadis lemah (dhaif) oleh para ulama hadis.”6
Dengan demikian, tidur bagi orang yang berpuasa hanya bernilai ibadah apabila puasanya tidak dicederai oleh perbuatan yang mengurangi pahalanya, seperti ghibah. Meskipun secara hakikat, tidur merupakan keadaan lalai (ghaflah), namun jika ia berfungsi sebagai sarana yang mendukung ibadah, maka ia dapat dihitung sebagai ibadah. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun hadis mengenai tidurnya orang yang berpuasa ini berstatus lemah (dhaif), maknanya dapat dipahami sebagai motivasi dalam menjalankan ibadah puasa. Akan tetapi, hadis ini tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam menetapkan ketentuan syariat.
Pada kesimpulannya, hadis tentang tidurnya orang berpuasa sebagai ibadah memiliki kualitas yang lemah, bahkan dianggap palsu oleh sebagian besar ulama hadis. Meskipun demikian, maknanya dapat dipahami dalam konteks motivasi beribadah, bukan sebagai justifikasi untuk menghabiskan bermalas-malasan. Islam menganjurkan keseimbangan dalam ibadah dan aktivitas harian, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dan Ibn Rajab al-Hanbali, yang menekankan bahwa tidur dapat bernilai ibadah jika menjadi sarana untuk menjaga energi guna meningkatkan ibadah. Oleh karena itu, tidur saat berpuasa tidaklah dilarang, tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk bermalas-malasan dan menyia-nyiakan kesempatan memperbanyak amal di bulan Ramadan.
Sekian maturnuwun…
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah
- 7 sumber: Musnad Abdullah bin Abi Aufa karya Yahya bin Muhammad bin Shaid. Mu’jam as-Safar Li al-salafi karya Abu Thahir al-Salafi. Al-Majalis al-Asyrah Li al-khalal karya Hasan bin Muhammad al-Khalal. Ahadis Muntakhobah karya Ahmad bin Nashr al-Khaujani. Syu’abu al-Iman karya Al-Baihaqi. Al-Wasith fi Tafsir Al-Qur’an al-Majid karya Al-Wahidi. Al-Targhib fi Fadhaili al-A’mal karya Ibnu Syahin. ↩︎
- Al-Baihaqi, Syu’abu al-Iman Lilbaihaqi, no. 3640, hal. 1343 [Dar al-Kutub al-Alamiyah, Beirut]. ↩︎
- Ahmad Sarwat, Lc., MA., Ramadhan Antara Syariat dan Tradisi, [Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing] 2020. ↩︎
- Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz 1/235. [Website Turats: https://app.turath.io/]. ↩︎
- Ibn Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma‘arif fīma li-Mawasim al-‘Am min al-Waza’if, juz 1/157. [Website Turats: https://app.turath.io/]. ↩︎
- Ali bin Ahmad bin Muhammad al-‘Azizi al-Bulaqi al-Syafi’i, As-Siraj al-Munir fī Sharḥ al-Jami‘ ash-Shaghir, juz 4/356. [Website Turats: https://app.turath.io/]. ↩︎