Sebenarnya ini adalah catatan ringkas tentang mata kuliah Manhaj al-Muhaddisin fi al-Fiqh di Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng. Kebetulan saat itu membahas tentang seorang makmum yang masih menjumpai rukuk imam ketika shalat berjamaah menurut pendapat Ahli Dzahir atau Dzahiriyyah, dalam hal ini diwakili oleh Ibn Hazm. Beliau berpendapat bahwa seorang makmum sudah dianggap ketinggalan satu rakaat jamaah shalat ketika imam sudah rukuk. Berbeda dengan yang masyhur diketahui oleh masyarakat, bahwa seorang makmum yang masih menjumpai rukuk imam itu dianggap belum ketinggalan rakaat. Sebagaimana salah satu contoh diredaksikan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in:
قال: (و) بإدراك (ركوع محسوب تام) بأن يطمئن قبل ارتفاع الإمام عن أقل الركوع وهو بلوغ راحتيه ركبتيه (يقينا) فلو لم يطمئن فيه قبل ارتفاع الإمام منه أو شك في حصول الطمأنينة فلا يدرك الركعة
“Dan (rakaat bisa di dapatkan) dengan menemukan ruku’ yang sempurna. Dengan gambaran makmum dapat thuma’ninah sebelum imam mengangkat tubuhnya pada batas minimal ruku’ yaitu sampainya kedua telapak tangannya pada dua lutut. Ruku’ dari makmum ini di lakukan olehnya dengan yakin. Jika makmum tidak thuma’ninah dalam ruku’nya sebelum imam mengangkat tubuhnya dari ruku’ atau makmum ragu atas thuma’ninah yang ia lakukan maka ia tidak mendapatkan rakaat”
Mengapa Ibn Hazm berbeda pendapat dengan ulama’ yang kita ikuti? Untuk mengetahui alasannya kita perlu menapaki alur berpikirnya. Baginya bahwa setiap perintah dari Nabi Saw. itu ada dua kemungkinan saja: wajib atau haram hingga ada dalil lain yang membawanya kepada hukum sunnah, makruh, atau mubah. Berbeda dengan beberapa ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah, bahwa setiap perintah Nabi Saw. itu di ambang waqf (statis) hingga ada dalil yang membawanya kepada hukum wajib, haram, sunnah, atau mubah. Ini yang disebutkan oleh Ibn Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam:
قال أبو محمد الذي يفهم من الأمر أن الآمر أراد أن يكون ما أمر وألزم المأمور ذلك الأمر وقال بعض الحنفيين وبعض المالكيين وبعض الشافعيين إن أوامر القرآن والسنن ونواهيهما على الوقف حتى يقوم دليل على حملها إما على وجوب في العمل أو في التحريم وإما على ندب وإما على إباحة وإما على كراهة وذهب قوم من الطوائف التي ذكرنا وجميع أصحاب الظاهر إلى القول بأن كل ذلك على الوجوب في التحريم أو الفعل حتى يقوم دليل على صرف شيء من ذلك إلى ندب أو كراهة أو إباحة فتصير إليه
Sehingga wajar apabila Ibn Hazm memandang bahwa perintah takbiratul ihram, membaca takbir, mengangkat tangan, dan membaca Al-Fatihah dalam shalat itu wajib. Hal itu semua berdasar apa yang disabdakan oleh Nabi Saw. Mari kita tengok dalam Al-Muhalla bi al-Atsar.
Pertama, Takbiratul Ihram itu fardhu dalam shalat. Sehingga shalat itu tidak sah tanpa melakukan hal tersebut. Hadis apa yang dibawakan oleh Ibn Hazm? Adalah hadis tentang ajaran Nabi Saw. kepada orang badui yang tiga kali salah dalam shalat. Hingga Nabi Saw. di akhir peristiwa bersabda, “Kalau kamu shalat, maka bertakbirlah.” Perintah bertakbir ini dianggap oleh Ibn Hazm sebagai kewajiban seseorang yang hendak shalat untuk takbiratul ihram. Sehingga orang yang shalat tidak sesuai dengan perintah Nabi Saw., maka dinilai belum shalat. Pendapat ini juga menentang pendapat Abu Hanifah yang memperbolehkan takbiratul ihram hanya dengan dzikir Asma Allah. Adapun istidlal Ibn Hazm yakni hadis Nabi Saw. yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, juz 1/158, no. 793:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ ، فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ”. فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ”. ثَلَاثًا ، فَقَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ ، فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي. قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Kedua, kewajiban membaca kalimat Takbir saat takbiratul ihram. Entah kalimat takbir itu berupa Allahuakbar, Allahulakbar, Al-Akbar Allah, Al-Kabir Allah, Allah Al-Kabir, Al-Rahman Al-Akbar, atau segala macam nama-nama Allah yang menyebutkan takbir. Istidlal yang dilakukan oleh Ibn Hazm juga sama dengan kewajiban takbiratul ihram, yakni perintah Nabi Saw. untuk takbir “fakabbir” dan semua contoh tersebut masih tergolong takbir.
مَسْأَلَةٌ: وَيُجْزِئُ فِي التَّكْبِيرِ: اللَّهُ أَكْبَرُ، وَاَللَّهُ الْأَكْبَرُ، وَالْأَكْبَرُ اللَّهُ، وَالْكَبِيرُ اللَّهُ، وَاَللَّهُ الْكَبِيرُ، وَالرَّحْمَنُ أَكْبَرُ – وَأَيُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى ذَكَرْنَا بِالتَّكْبِيرِ. وَلَا يُجْزِئُ غَيْرُ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ” فَكَبِّرْ “. وَكُلُّ هَذَا تَكْبِيرٌ
Ketiga, kewajiban mengangkat tangan saat takbiratul ihram. Beliau mendasarinya pada hadis-hadis berikut:
«صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Ibnu Hibban: Kitab Shahih Ibnu Hibban, juz 4/541, no. 1662)
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ »
“Bahwa Rasulullah SAW ketika takbir itu mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan telinga” (HR. Imam Muslim: Kitab Shahih Muslim, juz 2/7, no. 391)
«رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ»
“Bahwa Abdullah ibn Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah ketika memulai shalat mengangkat tangannya hingga sejajar dengan pundaknya” (HR. Abu Dawud: Kitab Sunan Abi Dawud, juz 1/262, no. 721)
Saat Ibn Hazm ditentang dengan pertanyaan mengapa kewajiban itu tidak diharuskan pada setiap pergerakan turun (khafdin) atau naik (raf’in)? Jawaban beliau, “Ya betul, bahwa Rasulullah mengangkat tangannya setiap pergerakan naik turun. Di lain waktu Rasulullah juga tidak mengangkat tangannya.” Dengan dalil:
أَلَا أُرِيكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَرَفَعَ يَدَيْهِ فِي أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ ثُمَّ لَمْ يَعُدْ
Bahwa Nabi Saw. itu menangkat tangan ketika takbir pertama, kemudian tidak mengulangi angkat tangan itu lagi. Di sini nampak jelas logika ushul Ibn Hazm sebagaimana disebutkan di awal tadi. Bahwa perintah utamanya adalah mengangkat tangan saat takbir, dan bersifat wajib. Apakah di setiap takbir? Ternyata tidak lantaran ada dalil lain yang menerangkan bahwa Nabi Saw. hanya mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, kemudian tidak mengulanginya. Sehingga mengangkat tangan selain takbiratul ihram itu mubah, bukan fardhu.
Keempat, baginya membaca Al-Fatihah itu wajib bagi imam, makmum, atau sendirian, entah itu shalat fardhu atau sunnah, lelaki atau perempuan, semuanya sama. Dengan dalil berikut:
أَنَّ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ»
“Sungguh Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:“Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Surat Al-Fatihah).” (HR. Imam Muslim: Kitab Shahih Muslim, juz 2/9, no. 394)
Kelima, bahwa bagi Ibn Hazm makmum yang baru datang melihat imam sudah rukuk, maka boleh ikut rukuk tapi tetapi meng-qadha’ rakaat yang tertinggal. Karena ia tidak menjumpai qiyam dan qiraah. Dalil apa yang dipakai? Berikut dalilnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «ائْتُوا الصَّلَاةَ وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةَ، فَصَلُّوا مَا أَدْرَكْتُمْ، وَاقْضُوا مَا سَبَقَكُمْ» . وَصَحَّ عَنْهُ أَيْضًا – عَلَيْهِ السَّلَامُ -: «مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Datanglah ke salat dengan tenang dan penuh ketenangan. Apa yang kalian dapati (dari salat berjamaah), maka kerjakanlah; dan yang tertinggal dari kalian, maka sempurnakanlah.” Dan juga telah sahih dari beliau ﷺ: “Apa yang kalian dapati (dari salat imam), maka kerjakanlah; dan apa yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Imam Bukhari: Kitab Shahih Bukhari, juz 1/129, no. 631)
Ketika dipahami dengan indrawi yang sehat—kata Ibn Hazm—maka menghasilkan kesimpulan; 1) seseorang yang menjumpai imam pada awal rakaat kedua, maka ia telah ketinggalan satu rakaat semuanya. 2) barang siapa yang menjumpai sujud pertama imam, maka ia telah kehilangan waqf (berdiri), rukuk, rafa’ (iktidal), sujud, dan duduk di antara dua sujud, 3) barang siapa yang menjumpai duduk di antara dua sujud, maka ia kehilangan waqf, rukuk, rafa’, dan sujud. 4) barang siapa yang menjumpai rafa’, makai a kehilangan waqf dan rukuk. 5) barang siapa yang menjumpai sujud, maka ia kehilangan waqfah dan rukuk. 6) barang siapa yang menjumpai rukuk, maka ia kehilangan waqfah dan membaca Al-Fatihah yang keduanya adalah fardhu.
وَبِيَقِينٍ يَدْرِي كُلُّ ذِي حِسٍّ سَلِيمٍ -: أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ فِي أَوَّلِ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْأُولَى كُلُّهَا. وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ الْأُولَى: فَقَدْ فَاتَتْهُ وَقْفَةٌ، وَرُكُوعٌ، وَرَفْعٌ، وَسَجْدَةٌ، وَجُلُوسٌ، وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الْجَلْسَةَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: فَقَدْ فَاتَهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ، وَالرَّفْعُ، وَسَجْدَةُ. وَأَنَّ مِنْ أَدْرَكَ الرَّفْعَ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ. وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ السَّجْدَتَيْنِ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ. وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ، وَقِرَاءَةُ أُمِّ الْقُرْآنِ؛ وَكِلَاهُمَا فَرْضٌ، لَا تُتِمُّ الصَّلَاةُ إلَّا بِهِ وَهُوَ مَأْمُورٌ بِنَصِّ كَلَامِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِقَضَاءِ مَا سَبَقَهُ وَإِتْمَامِ مَا فَاتَهُ؛ فَلَا يَجُوزُ تَخْصِيصُ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بِغَيْرِ نَصٍّ آخَرَ؛ وَلَا سَبِيلَ إلَى وُجُودِهِ
Sehingga yang dimaksud idrak al-makmum saat shalat jamaah menurut Ibn Hazm adalah membaca saat imam masih berdiri dan membaca Al-Fatihah. Setelah keduanya bukan termasuk idrak. Lalu, mengapa Ibn Hazm tidak mengambil dalil hadis Abu Bakrah?
حَدِيثُ أَبِي بَكْرَةَ: «أَنَّهُ جَاءَ وَالْقَوْمُ رُكُوعٌ، فَرَكَعَ ثُمَّ مَشَى إلَى الصَّفِّ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَاتَهُ قَالَ: أَيُّكُمْ الَّذِي رَكَعَ ثُمَّ جَاءَ إلَى الصَّفِّ؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ: أَنَا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ» وَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي بَكْرَةَ فَلَا حُجَّةَ لَهُمْ فِيهِ أَصْلًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ: أَنَّهُ اجْتَزَأَ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ، وَأَنَّهُ لَمْ يَقْضِهَا – فَسَقَطَ تَعَلُّقُهُمْ بِهِ جُمْلَةً، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Karena baginya, hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, sebab di situ tidak ada keterangan Rasulullah Saw. bahwa aktivitas Abu Bakrah itu dianggap menjumpai rakaat, pun ia juga tidak meng-qadha’-nya.
Wallahualam…










