Pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah, terjadi tragedi besar yang sangat menyedihkan dimana cucu kesayangan Rasulullah Saw., Sayyidina Husain bin Ali berserta keluarga dan para pengikutnya dibunuh secara sadis di sebuah daerah bernama Karbala. Kisah yang sangat menyayat hati ini terekam dalam banyak buku sejarah para ulama seperti Tarikh al-Thabari karya imam Abu Ja`far al-Thabari, al-Bidayah wa al-Nihayah karya imam Ibnu Katsir dan banyak lagi yang lainnya.
Banyak tokoh yang dianggap terlibat dan bertanggung jawab secara moral atas tragedi ini, salah satunya adalah Umar bin Sa`ad, putra dari Sa‘ad bin Abi Waqqas, satu dari sepuluh sahabat Nabi Saw. yang dijamin masuk surga. Meskipun berasal dari keluarga yang mulia, ironisnya ia justru terlibat dalam pembunuhan cucu Nabi karena posisinya sebagai panglima pasukan dalam tragedi Karbala. Namun, sebelum menilai sosoknya secara sepihak, penting untuk menelaah beberapa fakta yang sering kali diabaikan oleh banyak orang.
Pertama, Umar bin Sa’ad merupakan seorang tabi’in yang dikenal jujur dan memiliki keberanian dalam berjihad. Para ulama seperti al-‘Ajili menyebutkan bahwa ia adalah orang tsiqah dan meriwayatkan hadis dari ayahnya, serta banyak orang yang meriwayatkan darinya.[1] Dalam Mizan al-I’tidal, Imam al-Dzahabi menyebutkan bahwa Umar bin Sa’ad secara pribadi tidak dituduh sebagai pembohong atau penjahat, meskipun beliau mengakui bahwa Umar terlibat dalam pembunuhan Sayyidina Husain.[2] Bahkan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Taqrib al-Tahdzib menyebutnya sebagai shaduq, dan Imam an-Nasa’i juga meriwayatkan hadis darinya.[3]
Namun sebagian ulama seperti Yahya bin Ma‘in menyatakan bahwa Umar bin Sa’ad tidak dapat dikatakan sebagai tsiqah karena keterlibatannya dalam tragedi Karbala. Diriwayatkan bahwa ketika ia ditanya tentang status kepercayaan Umar, Ibnu Ma‘in berkata:
كيف يكون من قتل الحسين بن على رضي الله عنه ثقة
“Bagaimana mungkin dianggap tsiqah orang yang membunuh Husain bin Ali r.a.?”[4]
Namun, penulis menanggapi pernyataan ini dengan beberapa poin. Definisi “tsiqah” adalah gabungan antara ‘adalah (keadilan pribadi dan moral) dan dhabt (ketelitian dalam meriwayatkan). Penolakan Ibnu Ma‘in dipahami lebih kepada sisi ‘adalah, bukan karena cacat dalam dhabt. Disamping itu, Ibnu Ma‘in dikenal sangat ketat dalam menilai seorang perawi.
Kedua, penting untuk dipahami bahwa keterlibatan Umar bin Sa’ad dalam pertempuran melawan Sayyidina Husain bukanlah karena kemauan pribadi, melainkan karena tekanan politik dan ancaman langsung dari penguasa saat itu yaitu Ubaidillah bin Ziyad, yang menjabat sebagai gubernur Kufah. Dalam Ṭabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, disebutkan bahwa Umar bin Sa’ad sebenarnya telah diangkat sebagai gubernur wilayah Ray dan Hamadan. Ketika Sayyidina Husain datang ke Irak, Ubaidillah bin Ziyad memerintahkannya untuk memimpin pasukan menghadapi rombongan Sayyidina Husain dengan ultimatum: jika ia menolak, maka ia akan dipecat dari jabatannya, rumahnya akan dihancurkan dan kepalanya akan dipenggal. Akhirnya, Umar bin Sa’ad terpaksa menerima perintah itu karena tekanan dan ancaman, dan terlibat dalam pertempuran yang menewaskan Sayyidina Husain.[5]
Fakta Ketiga, Ubaidillah bin Ziyad adalah pihak yang sangat bernafsu membunuh Sayyidina Husain. Dalam riwayat dari Imam Ibnu Asakir disebutkan bahwa ketika berita kedatangan Sayyidina Husain sampai ke Basrah, Ubaidillah segera berangkat ke Kufah secara rahasia, lalu memobilisasi pasukan dan memerintahkan Umar bin Sa’ad untuk berangkat. Namun, karena Umar terlihat ragu-ragu dalam menjalankan perintah membunuh Sayyidina Husain, Ubaidillah bin Ziyad mengutus Shimar bin Dzil-Jawsyan untuk memastikan perintah dijalankan atau mengambil alih kepemimpinan dan membunuh Sayyidina Husain sendiri jika Umar tidak bersedia.[6] Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab utama pembunuhan itu berada di tangan Ubaidillah, bukan Umar.
Fakta Keempat, Dalam riwayat lain yang dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah, disebutkan bahwa ketika pasukan Umar bin Sa’d yang berjumlah 4000 orang datang menemui Sayyidina Husain di Karbala, Sayyidina Husain menawarkan tiga opsi damai:
- Ia bersedia pergi ke salah satu perbatasan Islam dan berjihad di sana.
- Ia kembali ke Madinah.
- Ia menyerahkan diri langsung kepada Khalifah Yazid di Damaskus.
Umar bin Sa’ad menerima tawaran ini dan mengirim surat kepada Ubaidillah bin Ziyad, namun tawaran tersebut ditolak dan Ubaidillah bersikeras bahwa Sayyidina Husain hanya boleh menyerahkan diri kepadanya di Kufah. Karena Sayyidina Husain menolak menyerahkan diri kepada seorang tiran seperti Ubaidillah, akhirnya terjadi pertempuran.[7] Fakta ini menunjukkan bahwa Umar bin Sa’d sebenarnya berusaha mencari jalan damai dan tidak menghendaki darah Sayyidina Husain ditumpahkan.
Fakta Kelima: Meski Umar bin Sa’ad menjabat sebagai panglima pasukan, berbagai riwayat menegaskan bahwa ia tidak terlibat langsung dalam pembunuhan Sayyidina Husain. Ia hanya memimpin pasukan dan tidak turun tangan sendiri. Ini diperkuat oleh pernyataan al-‘Ajili dan Ibn Hajar yang menyebutkan bahwa Umar adalah pemimpin pasukan, bukan pelaku langsung. Bahkan dalam kitab Taqrib al-Tahdzib, disebutkan bahwa banyak orang memusuhinya bukan karena dusta atau keburukan pribadinya, melainkan karena posisinya sebagai panglima pasukan yang menyebabkan terbunuhnya cucu Nabi Saw.
Fakta Keenam: Penyesalan Umar bin Sa’ad atas keterlibatannya. Pada akhirnya, Umar bin Sa’ad sendiri menyesali keterlibatannya. Dalam Siyar A‘lam al-Nubala’, Imam al-Dzahabi menceritakan bahwa setelah kembali dari Karbala, Umar berkata:
ما رجع إلى أهله بشر مما رجعت به، أطعت ابن زياد، وعصيت الله، وقطعت الرحم
“Tidak ada yang kembali ke keluarganya dengan membawa keburukan seperti yang aku bawa. Aku taat kepada Ibnu Ziyad, durhaka kepada Allah, dan memutuskan tali silaturrahmi.”[8]
Pernyataan ini menggambarkan penyesalan mendalam dari Umar bin Sa’ad atas keputusannya memimpin pasukan ke Karbala. Ia menyadari bahwa demi kekuasaan dan jabatan, ia telah menuruti perintah tiran dan mengabaikan kebenaran serta hubungan darah dengan keluarga Rasulullah Saw.
Melalui kajian ini, penulis tidak bermaksud untuk membela Umar bin Sa`ad atau memperbaiki citranya, akan tetapi penulis hanya ingin memberikan penjelasan dari sudut pandang lain dan fakta yang mungkin tidak banyak diketahui. Dalam ilmu jarh wa ta`dil, ulama mengajarkan kita untuk menilai seorang perawi secara objektif dalam kaitannya dengan periwayatan hadis, begitu pun terhadap sosok Umar bin Sa`ad,
Terkait dengan para tokoh utama dalam peristiwa Karbala, balasan benar-benar datang sepadan dengan perbuatan, dan hal ini terjadi secara nyata pada Ubaidillah bin Ziyad. Dialah yang paling keras bersikeras untuk membunuh Sayyidina Husain dan memaksa Umar bin Sa’ad untuk melaksanakan perintah kejam itu. Akibat perbuatannya, ia pun dibunuh oleh pasukan Mukhtār al-Tsaqafi, dan kepalanya dipenggal. Dalam riwayat shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, disebutkan bahwa ketika kepala Ubaidillah bin Ziyad diletakkan di masjid Kufah, seekor ular datang lalu masuk ke dalam lubang hidungnya, dan ini terjadi berulang kali.[9] Ini merupakan isyarat hukuman Allah Swt. yang mengerikan karena keterlibatannya dalam pembunuhan cucu Rasulullah Saw.
Editor: Vigar Ramadhan Dano Muhamad Daeng
Referensi:
[1] Abul Husain Ahmad bin Abdullah al-`Ujaili, Ma`rifat al-Tsiqat min Rijal Ahli al-`Ilm (Madinah: Maktabah al-Dar, 1985) 2/166.
[2] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Mizan al-`I`tidal fi Naqd al-Rijal (Beirut: Dar al-Ma`rifah, 1963) 3/198.
[3] Abul Fadhl bin Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib (Suriah: Dar al-Rusyd, 1986) 412.
[4] Abu Muhammad bin Abi Hatim, Al-Jarh wa al-Ta`dil (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-`Arabi, 1952) 6/111.
[5] Muhammad bin Sa`ad al-Bashri, al-Thabaqat al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1990) 5/128.
[6] Abul Qasim Ibnu Asakir, Tarikh Damaskus (Damaskus, Dar al-Fikr, 1995) 45/49.
[7] Abul Fadhl bin Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1994) 2/70.
[8] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’ (Mu`assasah al-Risalah, 1985) 3/300.
[9] Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Kairo: Maktabah Musthafa al-Halbi, 1975) 5/660.










