Para ulama sepakat ketika hadis telah mencapai derajat sahih dan hasan, maka hadis menjadi layak untuk diamalkan dan dijadikan hujjah dalam hukum-hukum syariat. Adapun untuk hadis dhaif, jumhur ulama hanya memperbolehkan mengamalkannya dalam hal targhib wa tarhib (motivasi dan ancaman) dan fadhailul a’mal dengan beberapa ketentuan yang sudah ramai dibahas.
Akan tetapi, ada sebagian para imam madzhab yang menggunakan hadis dhaif untuk menetapkan hukum, bahkan Imam Ahmad bin Hanbal lebih mengutamakan hadis dhaif daripada qiyas yang notabene merupakan salah satu sumber hukum yang telah disepakati oleh mayoritas ulama bahkan nyaris seluruhnya.[1]
Dikisahkan oleh Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, beliau bercerita “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menempati suatu desa yang di dalam desa tersebut hanya ada dua orang ulama, yang satu merupakan seorang perawi hadis namun ia tidak bisa membedakan antara hadis sahih dan dhaif, yang satu lagi adalah seorang ahlu ra’yu (ahli qiyas), siapakah diantara mereka berdua yang akan akan dijadikan rujukan?”, lalu Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “perawi hadis itu lebih layak dijadikan rujukan daripada si ahli ra’yu, karena hadis dhaif lebih kuat daripada pendapat berdasarkan ra’yu”.[2]
Kemudian mengenai hadis mursal, para ulama berbeda pendapat yang terbagi menjadi tiga pendapat masyhur. Pertama, jumhur muhadditsin dan sebagian besar dari para fuqoha` berpandangan bahwa hadis mursal masuk dalam kategori dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Kedua, dari Imam as-Syafi`i yang memposisikan hadis mursal sebagai hadis dhaif ringan dan dapat dijadikan hujjah dengan catatan terdapat satu penguat dari empat perkara berikut; hadis tersebut memiliki ketersambungan sanad pada jalur yang lain, dinilai mursal hanya dari satu sisi perawi sedangkan masih banyak jalur periwayatan lain, pernah difatwakan oleh seorang sahabat atau sebagian besar ulama. Ketiga adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang mengatakan bahwa hadis mursal dari perawi tsiqah bisa dijadikan hujjah.[3]
Imam as-Syafi’i terkadang juga berhujjah dengan hadis mursal jika memang tidak ditemukan dalil lain dalam suatu permasalahan, walaupun di sisi lain beliau berpendapat bahwa hadis mursal itu dhaif.[4] Karena mengunggulkan salah satu hadis dengan perantara hadis mursal merupakan tindakan yang diperbolehkan. Sebagai mana dikatakan Imam an-Nawawi berikut,
والترجيح بالمرسل جائز
“Tarjih (menggunggulkan antara dua pandangan) boleh dengan hadis mursal”.[5]
Imam Ibnu Juzay al-Maliki dalam mukadimah tafsirnya ketika menyebutkan 12 metode tarjih pada perbedaan pendapat di antara para mufassir, beliau mengatakan:
فإذا ورد عنه عليه السلام تفسير شيء من القرآن عولنا عليه، ولاسيما إن ورد في الحديث الصحيح
“Jika ada hadis nabi yang menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur’an maka kami akan bersandar padanya, apalagi jika berupa hadis sahih”.[6] Dengan لاسيما bermakna istidrak, ungkapan di atas menandakan bahwa hadis dhaif sah dijadikan landasan untuk mentarjih antara dua pandangan yang berbeda dalam hal tafsir ayat Al-Qur’an.
Penulis merangkum beberapa ketentuan penggunaan hadis dhaif sebagai hujjah dalam hukum syariat perspektif ulama madzhab.
Pertama: Imam Ibn Najjar al-Hanbali dalam kitab Syarh Kawakib al-Munir menyebutkan bahwa hadis dhaif boleh dijadikan hujjah ketika tidak ada nash (dalil) lain yang menyelisihinya. Selaras dengan ungkapan Imam Ahmad bin Hanbal berikut,
“لست أخالف ما ضعف من الحديث إذا لم يكن في الباب ما يدافعه”
“Aku tidak mempermasalahkan hadis dhaif selama tidak ada dalil lain yang bertentangan dengan nya dalam suatu permasalahan”.[7]
Kedua: Umat telah menerima hadis tersebut dan mengamalkannya, bahkan seakan menjadi dalil mutawatir yang bisa menasakh dalil qot’i sekalipun. Oleh karenanya, Imam as-Syafi’i berbeda dalam memandang hadis “لا وصية لوارث”. Walaupun dinilai dhaif oleh para ulama, tetapi umat telah menerimanya dan mengamalkannya sehingga mampu menasakh ayat tentang wasiat.[8]
Ketiga: dalam rangka ihthiyat atau kehati-hatian, seperti ketika ada hadis dhaif yang menghukumi makruh pada sebagian transaksi jual beli, maka yang lebih utama adalah menghindari transaksi tersebut tetapi tidak wajib.[9]
Syekh Abdullah al-Ghumari berkata bahwa larangan penggunaan hadis dhaif sebagai pijakan hukum bukan berarti larangan secara keseluruhan seperti yang dipahami kebanyakan orang. Beliau mempunyai koleksi kitab khusus bernama Al-Mi’yar yang ditulis oleh para huffadz hadis sekitar tahun 800 Hijriyah. Dengan gaya penulisan ala kitab-kitab fiqih serta ditampilkannya beberapa hadis yang dijadikan pijakan oleh para imam 4 madzhab di setiap babnya, juga dilengkapi dengan penjelasan mengenai illat ke-dhaif-an nya.[10]
Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis dhaif memiliki kedudukan yang sangat diperhitungkan oleh para imam dan salafus shalih, sekaligus merubah persepsi mayoritas orang yang cenderung menghindari hadis dhaif bahkan menjadikan hadis dhaif seolah-olah sejajar dengan hadis palsu.
Wallahua’lam
[1] Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Madkhal `ila Madzhabi, hlm. 43
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, l’lam al-Muwaqqi`in ‘an Rabb al-Alamin, hlm. 1/31
[3] Nuruddin Atr, Manhaju an-Naqdi fi `Ulumi al-Hadis, hlm. 371-372
[4] Muhammad bin Abdurrahman As Sakhawi Asy Syafi’i, Fathu al-Mughis bi Syarhi Alfiyah al-Hadis, hlm. 1/142
[5] Imam an-Nawawi, al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab, hlm. 1/61
[6] Imam Ibnu Juzay al-Maliki, At-Tashil li `Ulumi at-Tanzil, hlm. 1/19
[7] Imam Ibn Najjar al-Hanbali, Syarh Kaukabi al-Munir, hlm. 2/573
[8] Imam Ibnu Shalah, An-Nuktu `ala Muqaddimati Ibnu Sholah, hlm. 1/390
[9] Muhammad bin Abdurrahman As Sakhawi Asy Syafi’i, Fathu al-Mughis bi Syarhi Alfiyah al-Hadis, hlm. 1/351
[10] Syaikh Muhammad Awwamah, Atsaru al-Hadis fi Ikhtilafi al-A`immati al-Fuqaha, hlm. 35
Penulis: Mahasantri Marhalah Tsaniyah M2
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.










