Imam Bukhari yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Ju’fi al-Bukhari merupakan ulama hadis yang paling kredibel. Karyanya dalam ilmu riwayat hadis berupa kumpulan hadis dengan berbagai macam tema dan keilmuan yang pada akhirnya menjadi salah satu kitab babon dalam hadis.
Imam Ibnu Shalah mengatakan bahwa kitab yang paling autentik sesudah al-Qur’an adalahSshahih Bukhari dan Shahih Muslim. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa kitab Shahih Bukhari lebih autentik dari pada Shahih Muslim.
Setiap karya akademik memiliki latar belakang penulisannya masing-masing, demikian pula kitab Shahih Bukhari. Ibnu Hajar al-‘Asqalani memetakan dan merangkum latar belakang penulisan Shahih Bukhari pada dua macam.
Pertama, latar belakang akademik. Sosok Imam Bukhari diminta oleh Ishaq bin Rahawaih, salah satu guru Imam Bukhari untuk menulis kitab kumpulan hadis shahih. Sebab, pada era tersebut, kitab hadis masih bercampur dengan ilmu lain dan terkadang juga tercampur antara hadis shahih, hasan, dan dha’if.
Kedua, dorongan moral. Dorongan moral ini muncul ketika Imam Bukhari bermimpi berjumpa dengan Rasulullah Saw. yang kemudian disimpulkan oleh para ahli mimpi bahwa yang dialami oleh Imam Bukhari merupakan isyarat kepada dirinya yang suatu saat akan menghapus kebohongan-kebohongan (hadis dha’if) yang disandarkan kepada Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Salam
Metode Imam Bukhari dalam menerima hadis berikut metode penulisan yang diterapkannya mempengaruhi nilai kitab Shahih Bukhari itu sendiri. Di kalangan ulama hadis, Imam Bukhari dikenal sebagai sosok yang sangat berhati-hati dalam menilai suatu riwayat yang ia terima.
Untuk memastikan keshahihan suatu hadis, terdapat lima syarat hadis shahih yang disepakati oleh ulama’. Yaitu; bersambungnya sanad (ittishal al-Sanad), rawi yang jujur dan taqwa (‘adalah al-Ruwah), kualitas ingatan rawi yang tinggi (dhabt al-Ruwah), tidak ada cacat (‘illah), dan tidak adanya kejanggalan (syadz).
Dari lima syarat hadis shahih di atas, yang menjadi nilai lebih Imam Bukhari ialah tentang bersambungnya sanad. Baginya, sanad bisa disebut sebagai sanad yang bersambung apabila antara rawi satu dan dua, dua dan tiga, dan seterusnya mengalami pertemuan walaupun hanya satu kali.
Berbeda dengan para ulama’ hadis yang lain, termasuk dalam hal ini Imam Muslim yang mengatakan bahwa guru dan murid yang satu zaman dan memungkinkan untuk bertemu sudah bisa dikatakan bersambung sanadnya meskipun pada mereka tidak pernah bertemu.
Kendati demikian, Shahih Bukhari tidak lantas bisa lepas dari kritikan. Pasalnya, dalam kitab kumpulan hadis tersebut dinilai bahwa sebagian hadisnya bermasalah. Salah satu kritik terhadap Shahih Bukhari datang dari al-Daruqutni yang menulis kitab al-Istadrakat wa al-Tatabbu’.
Di dalamnya ada sekitar 200 hadis dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang ia kritik. Akan tetapi, kritik tersebut direspon oleh al-Nawawi ketika mensyarahi Shahih Muslim dengan mengatakan bahwa bermasalahnya hadis dalam Shahih Bukhari itu karena menyalahi kriteria yang ditetapkan oleh Imam Bukhari. Namun, apabila kriteria hadis shahih dikembalikan pada kriteria umum sebagaimana yang disepakati para ahli hadis, maka kualitas hadis dalam Shahih Bukhari tidak ada yang bermasalah.
Penulis merupakan mahasantri semester 7
Editor: Alfiya Hanafiyah









