Puasa merupakan ibadah yang tidak hanya diwajibkan bagi umat Islam, tetapi juga telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.”
Ayat ini -pendeknya- menunjukkan bahwa praktik puasa telah ada sejak masa nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Dalam ajaran agama sebelumnya, puasa juga menjadi bentuk ketaatan, pensucian diri, dan pendekatan kepada Tuhan, dan masing-masing umat itu memiliki tata cara dan aturan tersendiri dalam menjalankan ibadah ini.
Salah satu bentuk puasa yang dikenal dalam sejarah adalah puasa yang dilakukan oleh Nabi Daud a.s. Puasa ini memiliki pola yang khas, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka secara bergantian. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sesungguhnya Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash radhiallahu’anhu’anhuma mengabarkannya bahwa Rasulullah pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihissalam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihissalam. Nabi Daud ‘alaihissalam tidur hingga pertengahan malam lalu salat pada sepertiganya kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihissalam puasa sehari dan berbuka sehari”. (HR. Bukhari)[1]
Selain itu, pada masa Nabi Musa a.s., puasa juga menjadi bagian dari ibadah yang dijalankan oleh umatnya. Sebelum datangnya Islam, orang-orang Yahudi terbiasa berpuasa pada tanggal 10 Muharram, yang dikenal sebagai puasa Asyura. Praktik ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari tersebut dan kemudian memerintahkan umat Islam untuk berpuasa Asyura. Namun, setelah puasa Ramadhan diwajibkan, puasa Asyura menjadi sunnah, bukan kewajiban.[2]
Puasa juga telah disyariatkan pada masa Nabi Nuh a.s. Menurut beberapa riwayat, Nabi Nuh dan para pengikutnya berpuasa sebagai bentuk syukur setelah diselamatkan dari banjir besar yang menenggelamkan dunia saat itu. Puasa ini diyakini sebagai salah satu bentuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan. Puasa dalam konteks ini tidak hanya menjadi simbol pengorbanan, tetapi juga refleksi atas pentingnya ketahanan spiritual dalam menghadapi ujian hidup.[3]
Di sisi lain, dalam tradisi Nasrani (Kristen), puasa juga memiliki tempat yang penting. Mereka menjalankan berbagai bentuk puasa, salah satunya adalah puasa normal, yaitu tidak makan sama sekali tetapi diperbolehkan untuk minum. Ada pula bentuk puasa sebagian, yang berarti menghindari makanan dan minuman tertentu selama kurun waktu yang ditentukan. Tradisi ini masih berlangsung hingga kini dalam berbagai denominasi Kristen, terutama saat perayaan Prapaskah atau Lent, di mana umat Kristiani berpuasa dan menahan diri dari berbagai kenikmatan duniawi sebagai bentuk refleksi spiritual.[4]
Dari paparan di atas, sekiranya kita sedikit tahu bahwa puasa bukan ada dan datang dari Nabi Muhammad Saw. saja, melainkan sejak nabi-nabi terdahulu sudah ada sebuah pengamalan atau ibadah berbentuk puasa. Namun, meskipun berbagai umat terdahulu telah menjalankan puasa dengan aturan yang berbeda-beda, Islam membawa penyempurnaan dalam bentuk puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi umat Muslim sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Berbeda dengan puasa sebelumnya, puasa Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri.
Salah satu perbedaan utama antara puasa yang dijalankan oleh umat terdahulu dengan puasa dalam Islam adalah adanya konsep sahur. Dalam Islam, sahur dianjurkan sebagai bagian dari persiapan puasa, sebagaimana tertera dalam hadis Nabi,
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
Dari Anas radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sahurlah kalian, karena sahur itu mengandung keberkahan.” (HR. Muslim)[5]
Dari sinilah sahur menjadi pembeda utama yang mempermudah kita dalam menjalankan puasa, sementara dalam banyak tradisi puasa terdahulu, praktik sahur tidak dijadikan bagian penting dari ibadah puasa, bahkan puasa yang terdahulu, dalam puasa Mutlak Nabi Musa a.s. yang dilakukan selama 40 hari 40 malam tanpa makan minum. Atau puasa Ester yaitu 3 hari 3 malam tidak makan dan minum, ini adalah puasa umat Kristiani yang dijelaskan dalam Al-Kitab perjanjian lama maupun baru. Lalu, dengan adanya sahur, selain untuk tambahan energi ketika puasa dan kemudahan untuk umat Muslim, juga menjadi pembeda yang sentral antara umat Islam dengan umat terdahulu. Selain kemudahan dari keistimewaan sahur, buka juga menjadi pembeda antara puasa yang tanpa buka selama berhari-hari, bahkan dalam suatu hadis, Nabi memerintah umatnya untuk segera berbuka ketika waktunya tiba,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Dari Sahl bin Sa’id radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah bersabda: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”(HR. Muslim)[6]
Dari berbagai uraian di atas, jelas bahwa ibadah puasa telah menjadi bagian integral dari praktik keagamaan berbagai umat sebelum Islam. Meskipun tata cara dan waktunya berbeda-beda, esensi dari puasa sebagai bentuk ketaatan, pengendalian diri, dan pendekatan diri kepada Tuhan tetap menjadi tujuan utama. Ringkasnya -bagi penulis-, puasa bukanlah praktik yang baru lahir dalam Islam, tetapi telah menjadi bagian dari sejarah panjang ibadah manusia kepada Tuhan. Sampai pada Islam hadir lalu menyempurnakan praktik ini dengan aturan yang lebih sistematis. Dengan memahami akar sejarah puasa, kita dapat lebih menghayati ibadah ini bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai warisan spiritual yang menghubungkan kita dengan generasi terdahulu.
Ibarat sungai yang mengalir melewati berbagai zaman dan peradaban, puasa telah membawa nilai-nilai spiritual yang tetap relevan di setiap masa. Dari Nabi Nuh hingga Nabi Musa, dari Nabi Daud hingga umat Nasrani, setiap nabi memiliki -bolehkan saya menyebutnya- ciri khasnya masing-masing, tentu dengan bentuk dan aturan yang berbeda-beda dan esensi yang sama. Dan ketika Islam datang, sungai ini menemukan hulunya dalam bentuk yang lebih sempurna: puasa Ramadhan. Keistimewaan seperti sahur dan berbuka menjadi arus segar yang membedakan puasa umat Islam dari puasa terdahulu, juga memberikan keseimbangan antara spiritualitas dan kemudahan bagi umatnya.
Sekian, maturnuwun…
[1] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, [Software Khadim Haramain, no. 1063].
[2] Patoni, dalam artikel Nu Online, mengutip perkataan Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib, sumber: https://www.nu.or.id/nasional/sejarah-puasa-asyura-10-muharram-lZnVJ.
[3] Taufiq El-Jaquene, Ferry. Tradisi Puasa Para Nabi “Menyingkap Hikmah dan Kedahsyatan Laku Prihatin Para Nabi Dari Nabi Adam Hingga Nabi Muhammad”. Yogyakarta: 2018.
[4] Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. PUASA ORANG-ORANG SEBELUM ISLAM, IAIN Metro Lampung.
Sumber: https://www.metrouniv.ac.id/artikel/puasa-orang-orang-sebelum-islam/.
[5] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, [Software Khadim Haramain, no. 1835].
[6] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, [Software Khadim Haramain, no. 1838].
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.