Saat Ramadan seperti ini, biasanya dituturkan kisah perbedaan penentuan awal puasa antara Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dengan Kiai Maksum Aly Maskumambang. Meski kedua punya hubungan guru-murid, dan mertua-menantu, nyatanya keduanya tetap mengemban amanah ilmu yang didalami masing-masing. Kiai Hasyim dengan ilmu fikihnya, Kiai Maksum dengan ilmu hisabnya. Mengapa Kiai Hasyim memakai ilmu fikih? Karena mayoritas 4 madzhab menggunakan rukyah daripada hisab.
Di Tebuireng sendiri, kisah ini banyak diceritakan. Seringkali Kiai Maksum lebih dulu puasa Ramadan, sedangkan Kiai Hasyim Asy’ari baru berpuasa selang satu hari berikutnya. Mengetahui hal itu, Kiai Hasyim lantas memanggil Kiai Maksum Aly, lalu mengizinkannya lebih dahulu berpuasa, karena beliau memiliki landasan hukumnya sendiri. Namun yang seringkali luput dari riwayat cerita ini adalah soal Kiai Hasyim Asy’ari yang melarang Kiai Maksum Aly untuk menfatwakannya kepada khalayak umum. “Silahkan mulai Poso, tapi Ojo disiar-siarno (ajak-ajak)..!”, pesan Kiai Hasyim. Saya dapat cerita di atas dari Kiai A. Musta’in Syafi’i dan Kiai A. Syakir Ridlwan.
Kira-kira, apa motif hukum Kiai Hasyim yang melarang Kiai Maksum Aly untuk menfatwakan pendapatnya?. Hanya sekedar menerka, mungkin kira-kira begini. Biarlah kaum muslimin yang awam mengikuti putusan resmi NU, supaya perbedaan putusan fatwa awal Ramadan ini tidak ditangkap oleh kaum awam sebagai hukum yang simpang siur, yang membingungkan masyarakat, dan berpotensi memecah belah jamaah.
Meski begitu, ternyata ditemukan ada santri Tebuireng yang mengikuti pendapat Kiai Maksum Aly. Santri tersebut adalah Haji Shufri, santri kepercayaan Kiai Hasyim dalam urusan diplomasi. Saya mendapat cerita ini dari Gus Ghofar yang dibilangi langsung oleh Prof. Dr. Moh. Ali Haidar, anak dari H. Shufri. Saat diketahui jika ia mulai berpuasa, Kiai Hasyim Asy’ari pun bertanya, “mengapa kok sudah berpuasa Ramadan?”. Jawab santai H. Shufri, “saya ikut pendapat Kiai Maksum Aly Yai…!”. Mendengar itu, apa respon Kiai Hasyim? Marah?, tentu tidak. Kiai Hasyim hanya berpesan, seperti pesan beliau kepada Kiai Maksum Aly, silahkan puasa, asal jangan ngajak-ngajak yang lain.
Memang dalam kalangan ulama fikih, ada hukum-hukum yang yuftaa bih (difatwakan), dan ada hukum-hukum yang laa yuftaa bih (tidak difatwakan), melainkan hukum tersebut hanya diamalkan secara pribadi-pribadi, berdasarkan logika hukumnya sendiri. Dalam hal ini, pendapat rukyah Kiai Hasyim dipandang masyhur di kalangan umat Islam Indonesia kala itu, sedangkan pendapat hisab Kiai Maksum dipandang yang menyendiri (syadz) sehingga tidak boleh difatwakan oleh Kiai Hasyim. Syaikh al-Dusuqy dalam hasyiyah ‘alaa al-Syarh al-Kabir li al-Syaikh al-Dardiir, dan Syaikh al-Hathaby dalam Mawahib al-Jaliil li Syarh Mukhtashar Khalil mengatakan:
الفتوى إنما تكون بالقول المشهور أو الراجح من المذهب، وأما القول الشاذ والمرجح أي الضعيف فلا يفتى بهما، وهو كذلك؛ فلا يجوز الإفتاء بواحد منهما
“Sebuah fatwa ditetapkan dengan mengambil pendapat yang masyhur atau rajih (menurut jumhur) dari sebuah madzhab. Adapun pendapat yang syadz dan marjuh dan dhaif maka keduanya tidak difatwakan, dan fatwa pun begitu, tidak boleh fatwa diambilkan dari salah satu dari keduanya”.
Syaikh al-Hathaby dalam Mawahib al-Jaliil li Syarh Mukhtashar Khalil
Jika pendapat Kiai Maksum Aly dipandang Syadz, mengapa Kiai Hasyim Asy’ari masih memperbolehkan Kiai Maksum Aly mengamalkannya?. Tentu hal ini dikarenakan Kiai Maksum sendiri memiliki landasan dasar/dalil atas pendapatnya. Terlebih Kiai Maksum Aly memang seorang ahli falak yang kesohor di masanya. Sehingga perbedaan pendapat antara kedua kiai besar ini tidak perlu saling menggugurkan. Prof. Dr. Abdullah Sya’ban Aly dalam kitabnya Ikhtilaf al-Ulama fii Fahm al-Sunnah mengutip Imam Syufyan al-Tsauri berkata:
ما اختلف فيه الفقهاء ، فلا أنهى أحداً من إخواني أن يأخذوا به.
“Suatu perkara yang masih diperselisihkan para ahli fikih, maka aku tidak akan melarang salah seorang dari teman-temanku untuk mengambil pendapat itu”
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.”
Imam Syufyan al-Tsauri
Perkenan Kiai Hasyim Asy’ari kepada Kiai Maksum Aly menjadi tanda kematangan pemahaman beliau atas perkara-perkara keagamaan. Meski Kiai Hasyim Asy’ari berposisi sebagai guru Kiai Maksum, mertua Kiai Maksum, dan pimpinan tertinggi Kiai Maksum dalam struktur Nahdlatul Ulama, namun Kiai Hasyim lebih memilih memandang Kiai Maksum sebagai seorang alim ulama yang memiliki pandangan keagamaannya sendiri. Kiai Hasyim tidak egois dan merasa superior, karena itu Kiai Hasyim tidak memaksakan pendapatnya kepada Kiai Maksum untuk diamalkan. Sebagaimana Imam Abu Hanifah yang pernah berkata:
هذا الذي نحن فيه رأي، لا نجبر أحداً عليه، ولا نقول: يجب على أحدٍ قبوله بكراهة، فمن كان عنده شيء أحسن منه فليأت به.
“Keputusan hukum yang kita ambil ini adalah sebuah pendapat, kita tidak akan memaksakannya kepada seseorang, dan kita tidak akan berkata: wajib kepada salah seorang untuk menerimanya dengan rasa enggan, maka barang siapa yang memiliki pendapat yang lebih bagus, hendaklah ia mengambilnya.”
Imam Abu Hanifah
Inilah bentuk keindahan dalam beragama, rahmat dalam perbedaan. Untuk berada dalam level ini, seorang alim tidak akan cukup dengan ilmunya, namun juga diperlukan piranti hikmah dan adab di dalamnya. Untuk itu, mungkin bisa kita mulai dari diri kita masing-masing, teman-teman yang sedang belajar, hendaknya tidak diniati hanya agar menjadi orang yang alim allamah, perlu juga diniati untuk menghilangkan kebodohan, agar selalu merasa bahwa pasti selalu ada yang lebih alim darinya, sebagai bentuk adab dalam mencari ilmu.
Wallahu A’lam