Ghibah merupakan kata bahasa arab yang telah populer di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Kata ini berasal dari kata غ-ي-ب yang diartikan sesuatu yang tertutup dari pandangan. Secara istilah ghibah didefinisikan sebagai berbicara buruk tentang seseorang saat mereka tidak ada, baik melalui gosip maupun desas-desus tentang seseorang.
Ghibah diidentikan dengan umpatan, penggunjingan, dan gosip. Sedangkan pengertian ghibah menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam ialah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)
Jika pada masa lampau ghibah itu sebatas membicarakan seseorang secara diam-diam tanpa sepengetahuannya melalui obrolan langsung yang dilakukan oleh beberapa orang, maka masa sekarang ruang lingkup ghibah bergeser semakin luas.
Ghibah sekarang tidak hanya terbatas pada pembicaraan yang keluar dari mulut kita. Tapi juga bisa dihasilkan oleh ketikan jari dalam penggunaan media sosial maupun media elektronik.
Sehingga banyak oknum yang menyalahgunakan media sosial demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Bebasnya kita menuliskan dan berekspresi di media sosial seringkali membuat kita lupa bahwa kita telah melakukan ghibah yang tidak kita sadari.
Selain itu, maraknya acara infotaiment di stasiun televisi yang mengandung dampak negatif juga berpengaruh pada pola perilaku dan pola hidup masyarakat. Contohnya, berita gosip tentang perselingkuhan, perceraian, pertikaian, persaingan, dll.
Meskipun umumnya ghibah dianggap berdosa dan tidak dianjurkan dalam Islam, ada beberapa keadaan dimana ghibah diperbolehkan dan bahkan dianjurkan. Menurut ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, ghibah diperbolehkan ketika terdapat tujuan tertentu, seperti mencari bantuan atau nasihat dari orang lain dalam memecahkan masalah. Hal ini menimbulkan pertanyaan krusial, yaitu ‘Apa yang dimaksud dengan ghibah yang diperbolehkan dalam Islam?’
Untuk mengatasi hal ini, perlu penggalian mendalam terkait ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dan pengecualian yang disebutkan olehnya serta pemahaman mengenai konteks hadis Nabi yang diaplikasikan pada zaman sekarang.
Larangan dan Dosa Ghibah dalam Al-Qur’an dan Hadis
Ghibah merupakan perbuatan buruk yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Allah melarang tiga hal bagi orang yang beriman, yaitu berprasangka, mencari keburukan orang dan menggunjing. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengumpamakan ghibah seperti orang yang makan daging saudaranya yang sudah mati (bangkai).
Hal ini karena orang mati tidak dapat mengetahui kalau dagingnya dimakan orang lain, seperti saat hidup dia tidak tau orang lain sedang menggunjingnya. Dan siapapun pelakunya akan mendapatkan dosa dan hukuman di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan besar kecilnya dosa itu mutlak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam juga menjelaskan larangan ghibah dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلْ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Dari Abu Barzah Al Aslami ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat seorang muslim dan jangan pula mencari-cari kesalahannya. Sebab siapa saja yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Maka siapa saja yang Allah telah mencari-cari kesalahannya, Allah tetap akan menampakkan kesalahannya meskipun ia ada di dalam rumahnya.” (HR. Abi Daud).
Dalam hadist ini Nabi Muhammad mengingatkan kita untuk tidak mengumpat dan mencari-cari kesalahan orang lain. Karena jika kita melakukannya begitu juga Allah akan membuka kesalahan kita.
Ghibah yang diperbolehkan menurut Imam Nawawi
Sebenarnya, sebagian masyarakat telah mengetahui jika ghibah merupakan perbuatan tercela. Namun mereka juga menyadari jika ghibah tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Dan dengan didukung oleh kemajuan teknologi yang saat ini berkembang di masyarakat, membuat mereka lebih mudah melakukam perbuatan tercela itu.
Dalam hal ini, Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Riyad Al-Shalihin bahwasanya ghibah sekalipun dilarang, namun diperbolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan, hal yang membolehkan ghibah karena adanya tujuan yang dibenarkan menurut hukum syar’i, dimana tujuan tidak akan tercapai tanpa melakukannya.
Imam An-Nawawi membagi ghibah yang diperbolehkan menjadi enam, diantaranya:
- Ghibah untuk mengadukan kezhaliman (at-tazhallum)
Diperbolehkan bagi seseorang mengadukan pelaku penganiayaan kepada pihak berwenang. Seperti, pengaduan korban kepada polisi, hakim atau yang lain.
- Ghibah untuk meminta tolong (al-isti’anah)
Meminta bantuan orang lain untuk mengubah kemungkaran atau kejahatan seseorang dengan melaporkannya, dengan maksud untuk membantunya keluar dari maksiat atau kejahatan tersebut. Seperti, melaporkan pelanggar hukum kepada aparat kepolisian.
- Ghibah untuk meminta fatwa (istifta’)
Seseorang boleh memberikan gambaran yang jelas tentang pelaku kepada Ulama untuk dimintai fatwa. Dalam hal ini, seseorang boleh menyebutkan identitas orang tersebut. Akan tetapi, untuk lebih ikhtiyat (berhati-hati) jika penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak perlu.
- Ghibah untuk memperingatkan (tahdzir)
Seseorang diperbolehkan melakukan ghibah dengan tujuan untuk mengingatkan atau memberi nasihat kepada kaum muslimin dari perbuatan buruk. Hal ini dilakukan antara lain oleh para ahli hadits terhadap perawi-perawi yang bermasalah (jarh wa ta’dhil) atau misalnya dalam konteks kekinian adalah travel umrah bermasalah.
- Berbuat ghibah terhadap orang yang telah terangan-terangan berbuat
Boleh menggibahkan pihak yang melakukan kejahatan secara terang-terangan. Seperti, meminum khamr, melakukan kekerasan di antara manusia, melakukan penipuan, memungut pajak dengan cara yang tidak benar dan menimbun perkara yang bathil. Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibahkan pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan aib lain pihak tersebut yang tidak dilakukan secara terang-terangan.
- Untuk menyebut ciri seseorang.
Boleh memanggil seseorang dengan nama julukannya, meskipun itu berupa kekurangan fisik yang ada padanya, dengan niat tidak bermaksud merendakan/melecehkannya. Seperti si rabun, pincang, tuli, buta, juling mata, pesek hidung dan lainnya. Bila memungkinkan dipanggil dengan panggilan yang lebih baik tentu itu lebih utama.
Enam kondisi diatas berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud:
وروينا في صحيحي البخاري ومسلم عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قسم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) قسمة، فقال رجل من الأنصار: والله ما أراد محمد بهذا وجه الله تعالى، فأتيت رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فأخبرته ، فتغير وجهه وقال: رحم الله موسى لقد أوذي بأكثر من هذا فصبر .وفي بعض رواياته: قال ابن مسعود: فقلت لا أرفع إليه بعد هذا حديثا. قلت: احتج به البخاري في إخبار الرجل أخاه بما يقال فيه
“Kami diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud ra. Ia bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam membagikan ghanimah suatu peperangan. Ada salah seorang Ansor kecewa dan berkata: “Demi Allah, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dengan ini sedang tidak mengharapkan ridha Allah.” Aku menemui Rasulullah lalu menceritakan kekecewaan tersebut. Seketika warna wajah Rasulullah berubah karena marah lalu berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya untuk Musa yang disakiti umatnya lebih dari ini, lalu ia bersabar.” Pada sebagian riwayat, Ibnu Mas‘ud ra berkata: “Setelah itu aku tidak membawa cerita kekecewaan seorangpun kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam.” Menurut kami, Imam Bukhari berhujah dengan hadits ini perihal kebolehan seseorang yang menceritakan ucapan orang lain. (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,[Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 293).
Meneladani Petunjuk Nabi dalam Masalah Ghibah
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam adalah panutan yang sempurna bagi semua umat Islam, dan kehidupannya berfungsi sebagai petunjuk dan sandaran bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan dan dilema sehari-hari.
Dalam kasus ghibah, Nabi Muhammad memberikan teladan dan panduan yang jelas tentang cara menangani situasi dimana ghibah atau fitnah tampaknya tak terhindarkan. Beliau tidak terlibat dalam masalah ghibah bahkan beliau menasihati sahabat-sahabatnya untuk menahan diri dari perbuatan tersebut. Sebagaimana, Rasulullah pernah bersabda:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadits ini menekankan pentingnya mengendalikan lidah seseorang dan menahan diri dari berbicara buruk tentang orang lain. Selanjutnya, beliau juga mendorong para sahabatnya untuk memiliki pola pikir positif, dan tidak langsung menarik kesimpulan berdasarkan gosip.
Dengan mengikuti teladan Nabi, umat Islam dapat belajar untuk menangani situasi yang melibatkan ghibah dengan bijak, empati, dan kebenaran. Mencari bimbingan dari ajarannya membantu membina masyarakat yang harmonis dan lurus secara moral.
Penulis merupakan anggota Kajian Hadist
Editor: Alfiya Hanafiyah