Hadis ghorib merupakan hadis yang di salah satu tobaqotnya terdapat satu rowi saja atau ada satu hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rowi saja atau ada seorang rowi yang meriwayatkan suatu hadis yang mana di dalam hadis itu terdapat tambahan pada matan atau sanadnya yang mana hal itu tidak ditemukan pada perowi lain.
Dalam ilmu mustolah hadis, hadis ghorib masuk ke dalam bab definisi hadis menurut jumlah rowinya. Secara umum hadis ghorib merupakan bagian dari hadis ahad yang mana merupakan hadis yang jumlah rowi dalam salah satu tabaqotnya kurang dari 10 rowi. sehingga jika ada suatu hadis yang di salah satu tabaqotnya hanya terdapat satu rowi saja maka hadis itu dinamakan hadis ghorib.
Memang, hadis ghorib tidak bisa diterima secara mutlak, ada beberapa syarat yang harus ada sehingga hadis ghorib ini diterima, tetapi bukan berarti hadis ghorib ditolak secara mutlak atau dianggap sebagai hadis palsu. Terkait hal itu, maka teori yang digunakan Juynboll dalam menilai keabsahan suatu hadis perlu dikritisi.
Dalam mustolah hadis, suatu hadis dinilai shohih ketika memenuhi lima syarat yaitu ittisholus sanad, ‘adalatur ruwat, dhobtur ruwat, ‘adamul ‘illat dan ‘adamul syudzudz. Dari kelima syarat ini dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dinilai shohih jika sanad dan matannya terbukti benar yakni terdapat kelima syarat-syarat itu. Memang, para ulama mewanti-wanti agar tidak langsung mengambil hadis ghorib. Imam Syuyuti dalam Alfiyahnya menyebutkan :
وَالغَالبُ الضَعفُ على الغَريب ِ# و قُسّمَ الفَردُ إلى غَريبِ
Potongan bait pertama menjelaskan bahwa umumnya hadis ghorib itu dhoif sedangkan hadis ghorib yang shohih itu jarang, sebagaimana dijelaskan Syekh Mahfudz al-Termasi dalam kitab Manhaj Dzawin Nadhornya. Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata : Janganlah kamu menulis hadis-hadis ghorib karena hadis ghorib itu adalah hadis munkar yang kebanyakan diriwayatkan oleh al-dhu’afa (rowi-rowi yang lemah).
Tetapi bukan berarti semua hadis ghorib itu dhoif karena jika hadis ghorib itu memenuhi kelima syarat hadis shohih maka hadis ghorib tersebut juga dianggap shohih. Kalaupun hadis ghorib itu dhoif maka tidak bisa dikatakan sebagai hadis palsu karena keduanya memiliki terminologi yang berbeda.
Teori Common Link dalam Menguji Keautentikan Hadis
Teori common link merupakan teori yang ditemukan oleh Joseph Schacht yang kemudian disempurnakan oleh G.H.A Juynboll. Common link merupakan istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari seorang yang otoritatif lalu ia menyandarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau lebih muridnya (Idri, 2017).
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak garis periwayatan yang menyebar maka semakin besar juga periwayatan itu memiliki klaim kesejarahan, sehingga model periwayatan seperti ini dapat dibuktikan secara histori. Juynboll berasumsi bahwa kualitas suatu hadis ditentukan dari kuantitas perawi yang meriwayatkan hadis itu.
Secara histori, semakin banyak perawi yang meriwayatkan hadis di setiap tobaqotnya maka hadis tersebut mampu dibuktikan kebenarannya. Maka dari asumsi ini, Juynboll mencoba mengatakan bahwa model periwayatan perorangan di tiap tobaqot itu menimbulkan keraguan.
Gambarannya adalah semisal ada hadis diriwayatkan oleh satu sahabat kepada satu tabi’in kemudian satu tabi’in ini meriwayatkan kepada satu muridnya (tabi’ tabi’in) yang kemudian satu muridnya ini meriwayatkan hadis kepada 2 muridnya atau lebih (partial common link) dan seterusnya sampai kepada mukhorrij hadis.
Nah, common link dalam periwayatan di atas merupakan bentuk dari rawi yang meriwayatkan hadis kepada dua muridnya atau lebih, sedangkan dua murid atau lebih ini diistilahkan oleh Juynboll sebagai partial common link. Adapun sanad dari common link sampai Nabi Muhammad Saw. dinamakan single strand.
Juynboll mencoba menjelaskan bahwa keautentikan sebuah hadis hanya bisa dinilai secara histori pada common link sehingga para rowi di jalur single strand dianggap sebagai buatan common link. Hal ini merupakan bentuk elaborasi dari teori projecting back yang digagas oleh Joseph Schacht bahwa para ulama abad kedua hijriah membuat suatu hadis untuk mendukung pendapatnya.
Menurutnya, untuk meningkatkan legitimasi suatu hadis, para ulama abad kedua hijriah menyandarkan perkataannya kepada tokoh-tokoh otoritatif yang hidup di masa sebelumnya sebagaimana orang-orang Irak yang menyandarkan pendapatnya kepada Ibrahim al Nakha’i. Pendapat itu kemudian disandarkan kepada sahabat dan Nabi Muhammad Saw. sehingga pendapatnya tersebut memiliki nilai legal yang kuat.
Kritik terhadap Teori Common Link
Teori ini menuai banyak kritik baik dari ulama hadis maupun dari orientalis sendiri. Kritik atas teori ini juga disampaikan oleh Prof. Idri dalam bukunya Hadis dan Orientalis. Syekh M. M Azami juga ikut mengkritik teori ini yang beliau sampaikan dalam bukunya yaitu Studies In Early Hadith Literature.
Setidaknya ada empat hal yang bisa kita simpulkan dari teori di atas. Pertama, Juynboll secara tidak langsung menolak dan menganggap palsu hadis ghorib ahad. Kedua, Juynboll tidak mengakui teori jarh wa ta’dil yang dirumuskan oleh para ulama hadis. Ketiga, Juynboll secara tidak langsung juga tidak mengakui ke’adalahan sahabat dalam periwayatan hadis, padahal dalam ilmu jarh wa ta’dil para sahabat itu semuanya ‘udul, artinya bahwa hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tidak mungkin sebuah ucapan dusta. Keempat, Juynboll menganggap bahwa common link adalah pemalsu hadis.
Dengan demikian, teori common link tidak dapat dijadikan landasan untuk mengukur keautentikan sebuah hadis. Karena pada faktanya Nabi Muhammad Saw. menyampaikan hadis dan sunnah baik melalui perkataan, perbuatan dan ketetapannya kepada para sahabat baik secara perorangan maupun kelompok.
Fakta ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa umat Islam harus ikut dan taat kepada Rasulnya. Jika hadis merupakan buatan para ulama tentu hal ini bertentangan dengan banyak hal termasuk Al-Qur’an dan hadis-hadis lain.
Penulis merupakan mahasantri semester delapan angkatan Ats-Tsurraya
Editor: Alfiya Hanafiyah