Peradaban Islam memiliki sejarah yang sangat panjang—ia tidak muncul begitu saja dari kekosongan—seperti yang dapat kita pelajari dari kitab-kitab ulama terkemuka, sejarawan, dan bukti-bukti sejarah. Di dalamnya terkandung berbagai masalah, fenomena, serta perkembangan yang beragam. Peradaban ini selalu mengalami transformasi di berbagai aspek, baik itu dari sisi kebudayaan, pemikiran, hingga kemajuan dan kemunduran yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti perpecahan, persaingan, maupun perebutan kekuasaan.
Sebagai contoh, masa kejayaan peradaban Islam yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan terjadi pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Pada periode ini, banyak lahir cendekiawan Muslim yang ahli di berbagai bidang ilmu. Misalnya, Al-Kindi, seorang filsuf dan ilmuwan terkemuka yang hidup pada abad ke-9; Al-Farabi, yang sering disebut sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles; dan Ibnu Sina, yang terkenal di bidang kedokteran, filsafat, dan matematika. Salah satu karyanya, “The Canon of Medicine,” menjadi rujukan utama dalam ilmu kedokteran selama berabad-abad. Selain mereka, masih banyak cendekiawan lainnya yang turut menyumbang bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Namun, di balik kemajuan tersebut, peradaban Islam juga tidak luput dari kemunduran. Salah satu titik awal perpecahan di antara kaum Muslimin terjadi saat muncul tuduhan nepotisme yang ditujukan kepada Khalifah Utsman bin Affan. Tuduhan ini, yang dilontarkan oleh kelompok yang tidak menyukai Utsman, menjadi fitnah yang akhirnya mengguncang stabilitas kekuasaan dan memicu perpecahan.
Khalifah Utsman bin Affan (memerintah dari 644 M hingga 656 M) merupakan khalifah ketiga dalam masa Khulafa ar-Rasyidin, dan pemerintahannya merupakan yang terpanjang. Ia memimpin selama dua belas tahun, di mana separuh pertama dari masa kekuasaannya berjalan damai dan sejahtera. Di bawah kepemimpinannya, perekonomian umat Islam berkembang, meskipun situasi politik mulai memanas. Masalah mulai timbul ketika Utsman mengangkat beberapa kerabatnya sebagai pejabat publik. Keputusan ini dianggap kontroversial dan memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa kebijakan tersebut lebih menguntungkan keluarga Utsman.
Namun, penting untuk dipahami bahwa Utsman tidak memilih kerabatnya tanpa alasan. Ia beranggapan bahwa mereka memiliki kredibilitas dan kompetensi yang lebih baik dibandingkan orang lain. Dengan demikian, keputusan Utsman tidak sepenuhnya keliru. Akan tetapi, fitnah dari kaum munafik memperbesar isu tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Fathurrahman Djamil dan rekan-rekannya dalam buku KKN dalam Perspektif Hukum dan Moral Islam, nepotisme tidak selalu tercela. Dalam Islam, yang dilarang adalah menempatkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan atau kompetensi hanya karena hubungan kekeluargaan. Oleh karena itu, yang seharusnya menjadi fokus adalah apakah seseorang yang dipilih memang layak dan mampu, tanpa memandang asal-usul keluarganya.
Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa ini menjadi awal dari perpecahan di antara kaum Muslimin, yang disebabkan oleh isu nepotisme dalam kekuasaan. Seandainya kebijakan ini tidak terjadi, mungkin sejarah akan berbeda. Nabi Muhammad SAW sendiri seolah telah memberikan peringatan tentang perpecahan ini dalam sabdanya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّمِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ؟. قَالَ مَاأَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي (سنن الترمذي، رقم ٢٥٦٥)
“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya kaum Bani Isra’il telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan’. Lalu sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?’ Nabi SAW menjawab, ‘(Golongan itu adalah orang-orang yang berpegang pada) semua perbuatan yang telah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabatku’.” (Sunan al-Tirmidzi, no. 2565)
Semoga kisah ini memberikan kita pelajaran berharga. Persoalan-persoalan yang tampaknya terus menjamur di tengah masyarakat dapat menemukan solusi dari hikmah peristiwa masa lampau. Jangan sampai kita terjebak dalam kesalahan yang sama, yang hanya membawa kehampaan. Sudah saatnya kita memandang masa depan, bukan larut dalam kejayaan masa lalu. Dengan begitu, kita bisa menjalani masa depan dengan hati-hati, menciptakan kehidupan yang harmonis. Kebenaran sejati hanya akan diraih oleh mereka yang bersedia merenung dan memahami. Karena itu, penting bagi kita untuk menjadikan sejarah sebagai cermin, mengambil pelajaran darinya, dan menerapkannya dengan bijak dalam kehidupan saat ini. Hanya dengan cara itulah kita dapat menjaga persatuan dan menghindari perpecahan yang berulang.
Tulisan ini disusun setelah penulis membaca Al-Hadits wa al-Muhadditsun karya Prof. Muhammad Abu Zahw (w. 1983 M).
Wallahu a’lam.
Penulis merupakan mahasantri semester 3 (Angkatan Syalmahat).
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.